CELOTEH BURUNG PIPIT DI TAMAN KOTA

17.24.00





Catatan Pementasan Naskah 'Pinangan'
Teater Kosong IAIN Jember 2017


Pementasan teater, baik teater tradisional maupun modern pasti akan menarik penonton terutama dari kalangan pelajar maupun mahasiswa di tengah hiruk pikuk perkuliahan, tugas, dan kemajuan tekhnologi.

Kali ini saya ingin menulis unek-unek yang ada di kepala saya setelah selesai menikmati sajian pementasan teater berjudul “Pinangan” oleh Teater Kosong IAIN Jember pada tanggal 30 Oktober 2017 kemarin.

Hampir sama dengan penggarapan-penggarapan dari komunitas teater lain yang mementaskan naskah ini, pementasan kali ini hampr tidak ada tawaran lain yang terbarukan, baik dari sisi sudut pandang maupun secara tekhnik garap.




A.   Saduran atau Adaptasi?

Naskah ‘Pinangan’ merupakan karya Anton Chekov yang disadur ke bahasa Indonesia oleh oleh Jim lin Suyatna Anirun. Tentu saja yang namanya naskah saduran sudah melalui proses penyesuaian dengan kondisi dan lingkungan masyarakat Indonesia.

Pada pementasan kali ini, saya berharap mendapatkan sesuatu yang baru dari penggarapan adegan per adegan naskah ini, tetapi harapan kadang tidak berkesesuaian dengan kenyataan. Ada banyak pertanyaan yang menghantui saya ketika melihat pementasan kali ini.

Sebuah naskah teater yang tidak ditulis sendiri oleh sutradara, tentu saja merupakan adaptasi, apalagi jika naskah tersebut merupakan naskah luar yang kemudian disadur ke dalam bahasa Indonesia. Secara kenaskahan saya menganggap naskah ini sudah selesai, tetapi secara penggarapan tentu saja harus diberi pembaruan-pembaruan disesuaikan dengan perkembangan jaman.
 
Pementasan teater merupakan puncak dari berbagai usaha—menafsir, bedah naskah, latihan reading, latihan acting adegan per adegan, pemilihan property, ilustrasi musik, dan tata cahaya.

Hal ini merupakan komponen dasar yang harus sudah dipikirkan oleh sutradara ketika dia ditunjuk untuk mementaskan sebuah naskah. Semua hal dasar ini harus sudah diselesaikan di dalam benak sutradara sehingga dia akan mampu memilih team produksi—asisten sutradara, penata music, penata artistik, penata lampu, make-up, dan perlengkapan yang sesuai dengan imajinasi dan kreatifitasnya.

Lain halnya, ketika semua komponen dasar tersebut dibebankan seluruhnya kepada sutradara maka pementasan tidak akan pernah  maksimal.

Teater Kosong IAIN Jember secara proses buat saya cukup menarik karena berani memilih naskah yang cukup sederhana secara teks, tetapi cukup rumit secara emosional. Naskah ‘Pinangan’ sebagaimana karya Anton Chekov lainnya lebih menitikberatkan pada pencapaian emosional dan batin masing-masing aktor dalam membangun keutuhan cerita.

Sisi psikologis merupakan hal penting yang harus benar-benar diperhatikan dan digarap oleh sutradara dalam proses latihan sebelum dipentaskan.

Pertanyaan saya sederhana saja kepada sutradara dan aktor pada pementasan kali ini.
“Apa muara dari pemilihan naskah dan pementasan naskah Pinangan bagi aktor dan sutradara?”

Saya berharap sutradara dan para aktor mampu memberikan pencerahan kepada saya sebagai seorang penonton. Ternyata tidak ada jawaban, dengan entengnya pertanyaan saya dijawab: “Terserah penonton mau menafsirnya bagaimana?”

Saya benar-benar ingin tertawa mendengar jawaban tersebut, karena proses pementasan tidak selesai walaupun naskah selesai dipentaskan saja. Tetapi ada semacam pertanggungjawaban kepada publik—audience/penonton—dari sutradara, aktor, dan kru yang terlibat.

Kalau memang ‘terserah kepada penonton’ ada baiknya tidak perlu mengadakan diskusi dan sharing setelah selesainya pementasan. Biarkan saja seperti orang nonton film di gedung bisokop, di televise, di laptop/computer, maupun di handphone.

Pertanyaan yang timbul kemudian di benak saya adalah “Seberapa penting sih drama dan teater bagi sutradara, actor, dan team produksi?”

Jawabannya tentu saja ada di dalam benak dan pikiran masing-masing individu—sutradara, aktor, dan team produksi.

Naskah Pinangan memang naskah komedi situasi satu babak yang disadur ke dalam bahasa Indonesia. Naskah ini sudah berpuluh-puluh, bahkan ribuan kali dipentaskan oleh banyak komunitas teater. Anehnya dari setiap pementasan tersebut selalu saja ada hal-hal baru yang mampu diungkap oleh penggarap.

Ada proses adaptasi yang benar-benar dilakukan oleh banyak komunitas dalam mementaskan naskah ini tanpa mengubah alur ceritanya.

Di sadari atau tidak ketika pementasan yang dilaksanakan oleh teman-teman Teater Kosong tetap saja melakukan proses adaptasi tersebut. Jika ada yang bersikukuh bahwa pementasan kali ini hanya “saduran” saja, buat saya terlalu sempit.

Menurut KBBI kata menyadur dan saduran bermakna:

menyadur/me·nya·dur/ ; 2 menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis besar cerita, biasanya dari bahasa lain: pengarang itu suka - cerita dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia;


saduran/sa·dur·an/ ;
2 hasil menggubah; gubahan bebas daripada cerita lain tanpa merusak garis besar cerita:

Jadi ‘menyadur’ atau ‘saduran’ itu pada teks-nya bukan pada pementasannya. Pementasannya tentu saja seperti yang saya tulis di atas merupakan adaptasi dan tafsir dari sutradara terhadap teks.




B.   Menemukan Ruang Renung Baru

Sebuah pementasan teater tentu saja harus memberikan kesempatan kepada penonton untuk menemukan ruang-ruang komtemplasi baru setelah selesai menonton pementasan.

Pertanyaan pentingnya adalah: “Apakah mungkin penonton akan mendapatkan ruang-ruang kontemplasi baru ketika sutradara, aktor, dan team produksi tidak menemukan ruang-ruang tersebut terlebih dahulu?”

Jawaban pertanyaan ini akan sangat beragam dan bisa menjadi perdebatan panjang yang tidak akan pernah berakhir. Satu hal yang harusnya dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam produksi pementasan teater adalah “kebaruan tafsir naskah, penemuan sudut pandang garap baru, pemfokusan tujuan garapan, dan koherensi antara property-ilustrasi-tata cahaya dengan acting para aktor.”


Jika hal-hal tersebut bisa dilakukan maka pementasan teater tidak akan seperti sebuah angin lalu yang tidak meninggalkan kesan apa-apa bagi semua pihak—penggarap dan penonton.


Ketika kemudian berdalih bahwa “seni untuk seni” maka ini hanya sebuah jawaban yang menggelikan yang menunjukkan kemandekan sebuah proses. Seorang penggiat seni—penulis naskah lakon, sutradara, actor, pemusik, penata lampu, dan tata artistic—merupakan orang yang seharusnya terus menerus mencari bentuk-bentuk kreasi dan kreatifitas baru di dalam penggarapan karyanya.
 

Jangan berproses setengah-setengah dalam belajar, karena semuanya masih sama-sama belajar. Ketika menggarap sebuah naskah saduran dan mengadaptasikannya ke dalam sebuah pementasan, maka jangan pernah setengah-setengah. Sebuah proses yang dilakukan setengah-setengah, hasilnya tidak akan pernah menjadi satu.


Satu hal yang saya sangat apresiasi dan saya ucapakan selamat kepada teman-teman Teater Kosong karena keberanian dan kesuksesan mereka melaksanakan pentas teater. Sekali lagi selamat. Mari terus berproses dan belajar karena tugas manusia adalah belajar sejak dari buaian sampai ke liang lahat.


Salam budaya



Jember, 20 November 2017
04.45 wib

You Might Also Like

2 komentar

  1. judulnya terlalu manis untuk kritik yg ditulis hahaha .. kenapa gak menggunakan judul yg lebih "fakta"?

    BalasHapus
  2. "judulnya terlalu manis untuk kritik yg ditulis..."

    masih sungkan untuk memberi judul yang "lebih fakta"

    *lagian kan saya memang manis...
    *hahahahahahahahahahahahaha...

    BalasHapus

Like us on Facebook