Catatan Buku Antologi Puisi
Khotbah Renungan Tak Utuh Jarak dan Jagung
karya Muhammad Lefand
oleh: Rahman El Hakim
Memahami
sajak puisi Muhammad Lefand yang terkumpul dalam buku antologi “KHOTBAH RENUNGAN TAK UTUH JARAK DAN JAGUNG” serupa dengan memahami keegoisan yang besarnya yang
seluas semesta pikiran perempuan yang sedang menstruasi. Kenapa? Seorang
perempuan yang sedang menstruasi secara psikologis menuntut dipahami, tapi
dengan cara yang rumit berputar-putar.
Sajak-sajak
pada buku antologi ini betapa tidak pernah selesai dimaknai walau sudah dibaca
berkali-kali. Ada dua sisi yang saling bertarung secara seimbang, terang-gelap,
yang berusaha saling menguasai, saling mendominasi, dan memberikan warna dalam
benak pembaca ketika membaca sajak-sajak dalam antologi ini.
Budi
Darma menulis sebuah kolom untuk harian Kompas pada tanggal 18 September 2000, menjelaskan bahwa sastra tidak bisa lepas dari agenda Kekuasaan, oleh
karenanya ia merupakan kias jaman. Berkaitan dengan hal itu, sering terjadi
pencekalan terhadap karya sastra. Bahkan ada cekal yang kadang tidak masuk akal
karena ketakutan para pemegang status quo.
Pada
fase menstruasi, seorang perempuan bisa sangat meledak-ledak, kritis, dan luar
biasa peka dengan sekeliling, sehingga sekeliling—saudara, teman, suami,
pacar—akan menjadi sasaran dari perasan-perasaan tersebut. Begitu juga beberapa
sajak Muhammad Lefand yang menunjukkan kekritisannya terhadap situasi dan
kondisi yang terjadi di sekelilingnya—masyarakat.
Ke-kritis-an
dan kepekaan ini menjadikan beberapa sajak dalam buku ini terkesan liar, nakal,
dan berani untuk menegur, bahkan melakukan perlawanan serta pemberontakan
terhadap ‘kekuasaan’ yang dianggapnya menjadi sumber dan penyebab keterpurukan
yang terjadi di dalam masyarakat—Indonesia.
Di sisi lain, ada pandangan
dan pemikiran yang menyatakan puisi adalah penamsilan atau simbolisasi dari
gagasan-gagasan yang ada dalam jiwa, pikiran, dan pengalaman batin penyair.
Sebab itu, konteks estetika puisi-puisi ciptaan penyair bisa dikatakan sebangun
dengan kehidupan pemikiran dan pandangan hidup kerokhanian penyairnya.
Muhammad Lefand,
jelas-jelas menunjukkan pandangan hidup kerokhaniannya di (hamper) semua
sajaknya. Cultur budaya Madura yang identik dengan pesantren menjadi ciri khas
tersendiri di dalam sajak-sajaknya. Cerdasnya adalah dia tidak menulis sajak
yang bersifat menggurui atau bahkan berlagak menjadi sosok suci, tetapi dia
menggiring para pembaca untuk benar-benar menghayati apa yang dirasakannya
dengan perenungan dan bersama-sama menemukan keeping-kepingan kesadaran sebagai
bagian dari kehidupan—beragama, bersosial, berbangsa, dan bernegara.
Pada akhirnya kita akan
sampai bahwa sajak-sajak dalam buku antologi ini merupakan sebuah rekam
jejak—fisik dan batin—seorang Muhammad Lefand dengan berbekal ke-Madura-annya,
berbekal kesantriannya, keegoisan, dan ketaqdimannya kepada kata, sajak itu
sendiri menuju semesta, menuju Ia Sang Maha Segala Nama.
Salam
Bondowoso, 17
September 2016
04.45 wib