NASKAH MONOLOG (II)

19.47.00

ITU SAJA
karya: Rahman El Hakim


Aktor:
Minah, perempuan muda
Setting:
Teras gedung pertunjukan


(Sebuah kursi panjang kecil, beberapa pamflet pementasan, dan botol air mineral)
Apakah salah jadi penari? Di mana salahnya? Apakah jadi penari menyalahi undang-undang? Atau jadi penari adalah dosa yang tak terampuni? Aneh!
Sejak kecil aku memang tidak bercita-cita jadi penari, tapi apa salah jika saat ini aku ingin jadi penari? Kenapa tidak ada yang menjawab? Kenapa tidak ada yang memberikan dukungan? Semuanya malah sinis, apatis, bahkan marah-marah ketika aku bilang aku ingin jadi penari. Aneh!
Pernah suatu ketika ada yang ngajak aku ngobrol tentang tari dan penari. Seseorang yang sangat berharga bagiku. Anggap saja dia kekasihku, biar nggak ribet aku menyebutnya. Dia bertanya tentang motivasiku belajar tari, macam tari yang aku sukai, dan segala tetek bengek tentang tari sampai pada hal yang aku sendiri juga belum pernah berpikir tentang hal itu. Awalnya aku sangat senang, karena aku menganggap dia begitu perhatian, peduli, bahkan mau mengerti dengan keinginanku. Tapi lama-kelamaan aku jadi bosan, jenuh, bahkan marah di dalam hati karena dia perlahan-lahan memojokkan dan menyalahkanku. Aku diam saja mendengarkannya. Bukan meresapi tapi mengumpulkan seluruh keberanian untuk menampar mukanya. Tahu apa dia tentang tari dan penari? Tahu apa dia tentang semua hal yang dia tanyakan itu? Orang yang belum pernah menari kok membahas tentang hal-hal yang hanya diketahui oleh penari itu sendiri? Aneh!
Kau sebut penari tidak mendapat tempat dalam masyarakat? Iya memang benar, lalu kau juga melarangku jadi penari? Kau mengarahkan dan mau memanfaatkan kedekatanmu untuk menghentikanku?
Sekarang, ijinkan aku bertanya padamu: Ketika ada seorang perempuan berjalan dengan banyak laki-laki, apa pendapat masyarakat? Sudah pasti perempuan itu langsung mendapat sertifikat ‘perempuan murahan, gampangan, bahkan dianggap sebagai pelacur’. Coba jika ada seorang laki-laki yang berjalan dengan banyak perempuan, di mana-mana banyak perempuan yang antri untuk berjalan, bertemu, ngobrol, atau bahkan sekedar menyapanya? Apa anggapan masyarakat? Dia seolah-olah telah menjadi dewa, bahkan telah melebihi seorang dewa. Dia dianggap sebagai sosok panutan, bintang cemerlang, bahkan diimpi-impikan untuk dijadikan menantu dan suami.
Ketika ada seorang perempuan sering keluar malam bahkan pulang pagi. Apa celoteh dan gunjingan masyarakat? Apalagi jelas jika perempuan itu diketahui bekerja sebagai penari. Tanpa bertanya, masyakarat mencap dirinya sebagai sampah. Sampah! Kau tahu itu?!
Ah, sebenarnya aku sedikit menyesal menceramahinya dan melontarkan kata-kata itu. Bukan menyesal dengan pernyataanku, tapi menyesal karena aku melibatkan emosi pribadiku dengan sedikit—ingat sedikit—membentaknya.
Anehnya dia diam saja. Dan itu jelas membuatku semakin ingin muntah. Aku jadi terpancing untuk benar-benar marah. Aku tahu, diamnya bukan meresapi ucapanku, tapi dia masih menunggu dan mencari cela untuk menyalahkanku.
Katanya sekarang ini sudah jaman modern, jaman maju, abad millennium, jaman reformasi, jaman di mana kesetaraan gender telah mendapatkan pengakuan dari seluruh dunia. Tapi mana buktinya? Mana?! Semuanya hanya omong kosong. Semuanya hanya retorika, orasi, debat kusir layaknya tayangan sinetron murahan di tv-tv.
Apanya yang reformasi, jika pengakuan itu hanya ada di selembar kertas belaka? Apanya yang abad millennium, jika perempuan tidak pernah benar-benar dihargai, diberi tempat, dan diberi kesempatan sebagaimana adanya dia telah diciptakan Tuhan sebagai penyeimbang dunia.
Tahukah kau, undang-undang perkawinan tidak pernah memberikan porsi seimbang kepada perempuan untuk memiliki hak yang sama. Laki-laki boleh melakukan poligami, tapi perempuan kenapa tidak boleh melakukan poliandri? Ketika perempuan diputuskan secara medis tidak bisa memberikan keturunan, lantas laki-laki berhak untuk kawin lagi? Bagaimana jika laki-laki yang tidak bisa memberikan keturunan, mandul? Apakah perempuan juga punya hak dan boleh menikah lagi? Di mana hukum perkawinan menempatkan perempuan sebenarnya?
Coba lihat semua iklan di koran dan televisi—iklan makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan, sampai obat panu—semuanya memakai perempuan sebagai obyeknya. Kalian kaum laki-laki yang disebut makhluk yang kuat yang seharusnya jadi pembimbing dan penuntun perempuan pada eksistensinya malah menjadikan perempuan sebagai bahan penelitian, bahan jajahan. Kalian perkosa perempuan bukan hanya tubuhnya, tapi kalian telanjangi dari atas kertas, kanvas, kalian perkosa haknya, emosinya, bahkan airmatanya!
Apakah salah jadi penari? Di mana salahnya? Apakah jadi penari menyalahi undang-undang? Atau jadi penari adalah dosa yang tak terampuni?
Pernah aku mendengar cerita bahwa Rumi menemui Tuhannya sambil menari. Dia memuja—katakanlah berdzikir—dengan menari sehingga mencapai derajat tertinggi dengan tariannya? Bukankah seluruh alam semesta ini juga menari sebagai bentuk sujud taqdimnya kepada Sang Maha Segala Nama? Inti atom bergetar dalam tarian ritmis sehingga membentuk wujud nyata dari ketundukpatuhannya kepada yang menciptakannya? Angsa-angsa menari di musim semi untuk menyatakan kebahagiannya dan mensyukuri kehidupan? Ikan paus, lumba-lumba, dan burung-burung juga menari mensyukuri hakikat hidupnya. Lantas kenapa aku—yang jelas-jelas dinamakan manusia—tidak diijinkan jadi penari?
Lalu kau berkata: Jadilah seperti Drupadi yang setia menemani suaminya menjalani hukuman di rimba belantara bertahun-tahun tanpa mengeluh dan menerima semuanya dengan syukur. Atau jadilah seperti Nawang Wulan yang rela menjadi manusia biasa demi cintanya kepada Joko Tarub. Itu ucapanmu dahulu ketika menasehatiku. Aku hanya tertawa mendengarnya. Karena aku tahu apa yang tidak kau ketahui. Aku tahu kisah lengkap tentang Drupadi dan Nawang Wulan, tidak seperti kau yang hanya separuh-separuh saja.
Siapakah Drupadi? Dia adalah perempuan yang tidak masuk nirwana karena dia berselingkuh secara batin dengan lebih memilih memuja Arjuna dibandingkan Yudhistira suaminya. Dia adalah perempuan yang dibiarkan menjadi hina oleh suaminya sendiri. Bukankah harga diri, keluhuran batin, dan kemuliaan Yudhistira tidak lebih dari segala hal yang ada pada seorang pengecut dan pecundang? Dia lebih memilih mempertahankan harga diri dan kekuasaannya dibandingkan dengan istrinya. Dia mempertaruhkan harga diri, kekuasaan, dan istrinya dengan berjudi dengan Duryudana.
Nawang Wulan, ya aku tahu dia adalah bidadari yang baik. Tapi ingatkah kau bahwa Nawang Wulan adalah korban keserakahan seorang Joko Tarub yang telah mencuri dan menyembunyikan selendangnya sehingga Nawang Wulan tidak bisa kembali ke kahyangan? Lantas ketika dia tahu dan menemukan kembali selendangnya, dia dianggap tidak setia karena meninggalkan Joko Tarub dan anaknya dengan kembali ke Kahyangan. Coba lihat, bukankah Nawang Wulan tidak pernah berada dalam posisi yang benar? Dan kau memintaku meniru Nawang Wulan? Tidak! Sekali lagi tidak!
Aku bukan Drupadi, Nawang Wulan, atau siapa pun. Aku adalah aku dengan segala keinginan, harapan, cita-cita, kelemahan, dan segala macamnya. Aku adalah perempuan biasa yang ingin menikmati setiap detik setiap saat kehidupanku sehingga aku benar-benar menjadi aku. Aku adalah perempuan biasa yang ingin jadi penari.
Aku bukan perempuan yang tegar, tangguh, dan kuat meghadapi segala hal. Bukan perempuan yang tahan berlama-lama dalam balutan blazer, make-up, dan harus selalu tersenyum pada siapapun. Aku bukan perempuan yang harus selalu kelihatan sempurna di balik meja, bedak, lipstick, parfum, dan aneka rupa ritual topeng lainnya.
Aku ini perempuan yang tangannya kasar karena harus mencuci baju, mencuci piring, mengepel lantai, menyapu halaman, bahkan kadang membelah kayu bakar. Aku adalah perempuan yang berkutat dengan lumpur, ladang, tikus, kecoak, dan kutu. Aku adalah perempuan biasa yang sering memanjat pohon mangga, blimbing, rambutan, dan sesekali juga membetulkan genteng yang bocor.
Aku ini perempuan biasa. Ya, aku perempuan biasa yang ingin jadi penari. Itu saja.
(lampu meredup kemudian fade out)

Sepertinya Selesai


Bondowoso, 1 Februari 2016
03.39 wib
karena dunia adalah padang rumput
yang dipenuhi aneka macam bunga
surga, airmata, dan cinta

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook