Langit
mulai dihiasi mendung, angin berembus semakin kencang. Dingin. Aku mulai
menyalakan sebatang kretek untuk mengusir kejengkelan yang perlahan tumbuh di
kepalaku.
Ke mana anak-anak ini? Dekorasi masih belum selesai,
mereka malah belum muncul juga. Ingin aku memaki mereka jika sudah muncul. Aku
sudah hampir satu jam lamanya menunggu dan mereka belum muncul juga. Mau
melanjutkan nyetting panggung, perkakas dan kawat untuk trek keber malah nggak
jelas ditaruh di mana. Ruang serba guna PKM semrawut oleh barang-barang
persiapan pentas besok malam. Tidak ada sebatang hidungpun yang menjaganya.
Jancuk…!
“Sudah
tadi, El? Maaf, aku baru datang ngambil perlengkapan di Gesek. Aku kira
anak-anak masih di sini…”
Suara
berat Udheng menyerbu gendang telingaku. Lamunan yang berisi caci maki buyar
seperti asap kretek di tanganku. Aku hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
Hujan
akhirnya tumpah dengan derasnya, aku beranjak masuk ke ruangan PKM. Kulihat
Udheng sedang mencari-cari sesuatu. Aku yakin dia juga mencari perkakas untuk
melanjutkan nyetting panggung. Waktunya makin mendesak.
“Nyari
perkakas? Aku sudah sejam nyari, hampr gila, nggak ketemu. Jancuk ancene!”
Udheng
menghentikan usahanya, dan berbalik menatapku.
“Opo’o kon? Tumben misuh?”
“Harusnya
setting panggung ini sudah selesai kemarin. Mosok
nyetting PKM ae telung dino ra mari-mari! Wes ngono, awa’e dewe isih kudu turun
tangan! Bah! Kapan mereka mau benar-benar belajar?”
“Hahahaha…”
Udheng
malah tertawa keras mendegar makianku.
“Ayo
nggolek kopi…”
***
“Ada
banyak hal yang kita lupakan dalam proses kita selama ini. Kita hanya mengedepankan
diskusi dan segala macamnya, tetapi lupa mewariskan tentang bagaimana melakukan
proses itu sendiri.”
Aku
mendengarkan saja omongannya tanpa berusaha menyela. Kusesap kopi yang masih
mengepul degan separuh kejengkelan yang masih bergemuruh di dadaku.
“Jancuk…!”
Lidahku
mati rasa terkena kopi panas. Udheng melirikku dan melanjutkan perkataannya.
“Aku
tahu kenapa kau ingin merubah semua itu, tapi kalau kau muring-muring, opo yo dadi?”
“Aku
tahu! Semua itu harus disampaikan dengan perlahan dan pada waktu yang pas. Tapi
iki wes darurat, wes mendesak! Sesuk wes
acara, setting sik durung mari! Mosok kate dijarno?”
Udheng
menghela nafas panjang. Terdiam dan merenung. Kebisuan meraja di antara kami.
Kebisuan yang serupa tali gaib dan mencekik leher kami berdua.
“Ayo
balek nang PKM. Aku kate ngumpulno
arek-arek!”
***
“Maaf,
Mas… ini acaranya kapan ya? Gratis atau ada tiket masuknya?”
Aku
tergagap mendengar pertanyaan itu. Keasyikanku menata instalasi reranting,
serbuk gergajian, dan dedaunan jadi berantakan. Sial! Aku menoleh, dan hampir
saja menumpahkan sebuk gergajian ke muka oval itu.
Tuhanku…!
Ingin
aku berteriak sekuat yang aku mampu. Wajah itu, wajah yang mengingatkan aku
pada wajah yang sepuluh tahun lalu aku pendam di ruang rahasia batinku. Wajah
oval dengan dekik di pipi yang segar merona. Tuhanku…!
“Mas…?”
Suara
bernada heran itu mengembalikanku ke alam nyata. Jelas aku salah tingkah dan
aku yakin cewek di depanku sekarang setengah tersenyum setengah ingin tertawa
melihat sikapku.
“Mbok ya dijawab to? Jo mung di delok raine
tok! Engkok blayu lho, ngiro awakmu kesurupan utowo edan…”
Udheng
tiba-tiba nyletuk dari balik keber. Dia menepuk punggungku dengan senyum
menggoda dan wajah tanpa dosa. Jancuk…! Aku benar-benar salah tingkah.
Kerongkonganku tercekat tak mampu bersuara.
“Acaranya
besok malam, Mbak. Tiketnya… cukup Mbak-nya senyum saja sama temen saya ini.”
“Jancuk…! Cangkemmu, Cok…!”
“Hahahaha…
lha awakmu ra wani ngomong e? Aku ae wes
sing wakili. Hahaha…”
Kulihat
cewek itu hanya tersenyum mendengar ocehan kami. Sepertinya dia merasa aneh
dengan percakapan kami yang ngelantur.
“Gratis
berarti, Mas? Atau… tiketnya memang seperti itu?
“Nah, ndang dijawab. Aku ra melu-melu wes….”
Bukannya
meladeni guyonan itu, Udheng malah ngluyur pergi ke dalam ruang PKM. Aku jadi
makin salah tingkah dan glagapan dibuatnya.
“Eeee…
acaranya memang memang masih besok malam, dan gratis kok…”
Aku
tak mampu melanjutkan kalimatku. Wajah oval itu memperhatikanku dan aku
kehilangan konsentrasi. Pikiranku jadi ‘blank’, kosong melompong.
“Ooo…”
Jawaban
disertai senyum setengah tertawa itu makin membuatku gugup.
“Iyya…
kalau mau bayar tiket dengan senyuman juga boleh.”
Entah
keberanian dari mana sehingga aku memberanikan diri membalas senyum setengah
tertawa itu. Kulihat wajah oval itu terbelalak. Aku jadi makin berani untuk
menggodanya. Aku tidak perduli akan dianggap kurang ajar. Biar saja! Siapa
suruh dia membuatku gugup dan salah tingkah?
“Tapi…
bayar tiket senyumnya sama aku saja. Gimana?”
Wajah
oval itu makin membelalak, pipinya merona, dan tiba-tiba tertawa lepas.
Tuhanku…!
“Hahaha…
apa anak teater itu memang pandai acting ya?”
“Maksudnya?”
“Tadi
Mas-nya salah tingkah, gugup, dan diem. Eh, tiba-tiba malah berani ngomong
seperti itu”
Aku
tidak menyahut. Aku malah tertawa menyembunyikan perasaanku yang berkecamuk di
dalam dada. Andai saja kau tahu apa yang
aku rasakan sekarang ketika pertama kali melihat wajahmu, aku tidak yakin kamu
akan mau ngobrol denganku. Andai kamu tahu apa yang ada di pikiranku sekarang,
aku yakin kamu akan menganggap aku laki-laki kurang ajar. Ah…
“Ya,
nggak tentu. Kalau di atas pentas memang harus beracting. Ketika menghadap
dosen yang lumayan killer, ya harus bias acting. Nah, kalau sama orang cantik
itu yang susah…”
“Kok
susah?”
“Iya,
susah banget. Mau acting pasti langsung ketahuan. Nggak acting jadinya ya kayak
tadi itu, gugup dan salah tingkah. Susah kan?”
“Hahaha…
iya wes sak kareppe sampeyan. Makasih
ya, Mas. Mungkin besok saya nonton pementasannya.”
Tanpa
menunggu jawabanku, wajah oval dengan dekik di pipinya berjalan ke motornya.
Pergi. Aku melongo. Ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatiku. Perih!
***
“Kon ra ngerti jenenge? Ngobrol sak mono
suwine, lali ra takok jenenge? Lha
terus ngomong opo ae? Jan…”
Udheng
geleng-geleng kepala mendengar ceritaku bahwa aku lupa menanyakan nama pemilik
wajah oval dengan dekik di pipinya itu. Aku tidak menjawabnya. Mau menjawab
bagaimana? Kenyataannya memang begitu kok!
“Yo wes, dungo ae. Mugo-mugo cewek kuwi sido
nontok acarane awa’e dewe. Awakmu lak wes suwi ra tau dungo! Hahaha…”
Aku
tidak tahu harus bagaimana menjawab semua ucapan Udheng. Aku benar-benar
menjadi makhluk paling goblok saat ini. Diam salah, jawab malah akan tambah
diejek oleh bajingan jelek satu ini.
“Kalau
dia benar-benar datang, aku mau baca sajak. Aku mau nembak dia malam ini dari
atas panggung.”
“Serius?
Beneran?”
“Iya…”
“Wani tenanan yo? Taruhane opo?”
“Taruhan
apanya?”
“Ya
untuk memastikan kamu benar-benar berani nembak dia lah…”
“Kalau
aku nggak berani, aku yang nanggung konsumsinya anak-anak panitia. Tapi kalau
aku berani piye?”
“Kopi,
Diplomat sak pres. Deal?”
“Deeal…!”
***
“Piye? Keto’e cewek kuwi ra teko. Acara kate
dimulai, paling limang menit ngkas…”
Aku
tak mengacuhkan omongannya Udheng. Mataku terlalu fokus pada gerbang PKM. Aku
yakin wajah oval dengan dekik di pipinya itu akan datang. Entah apa yang
membuatku memiliki keyakinan itu. Sebenarnya aku juga gelisah, bolak-balik
kulirik jam tanganku.
“Sudah
mulai acaranya, Mas?”
Deg!
Suara ini yang aku tunggu sejak tadi. Suara dari wajah oval dengan dekik di
pipinya. Lampu yang temaram menyembunyikan rona merah dan kegembiraanku melihat
kehadirannya.
“Belumlah…
kan nunggu penonton spesial?”
“Maksudnya?”
“Ya
penonton spesial lah…”
Aku
tidak melanjutkan omonganku, takut keceplosan dan efeknya malah tidak
mengenakkan.
“Ayo
masuk. Jangan lupa isi daftar hadir dulu…”
“Sini,
Mbak… isi nama, fakultas, dan dari UKM mana, tanda tangan, kalau perlu sekalian
nomer HP sama pin BBm. Iya kan, Bang?”
Aku
mendelik sama Bletok yang ngoceh seenaknya. Aku nggak nyangka dia akan ngomong
seperti itu. Aku tahu dia berniat baik, bantuin aku, tapi bukan begitu caranya.
Jangan-jangan aku disangka memanfaatkan situasi.
“Wes, jo dirungukno omongane. Isi sak ene’e
ae…”
“Ciiieeee…
Abang? Tumben baik banget? Jangan-jangan…”
Kulihat
wajah oval dengan dekik dipipinya itu hanya tersenyum mendengar ocehan Bletok.
Selesai mengisi daftar hadir, dia sudah mau beranjak masuk ke ruangan, suara
Bletok mencegahnya.
“Lho,
Mbak… nomer HP-nya mana? Kan tadi saya minta ngisi yang lengkap? Kalau nggak
diisi, ya berarti nggak usah dikasih stiker pementasan.”
Aku
mendelik, ingin kuremas mulutnya yang usil itu.
“Beneran
harus lengkap dengan nomer HP dan pin BBm? Lainnya nggak ada kok?”
“Lho
mbak ini spesial, khusus gitu…”
Wajah
oval dengan dekik di pipinya itu mengerutkan kening, heran. Sedetik kemudian
dia benar-benar menuliskan nomer HP dan pin BBm-nya di kolom keterangan. Bletok
aku lihat senyam senyum menjengkelkan. Dia memberikan stiker pementasan dan
cepat-cepat menyembunyikan daftar hadir itu dari hadapanku.
“Selamat
menikmati pertunjukan kami…”
Aku
berjalan di depannya, menjadi penunjuk jalan. Lampu sudah dipadamkan dan
bersisa lampu fokus di panggung. Pemandangan gelap dan sunyi. Aku membawanya ke
tempat yang sudah aku siapkan sore harinya. Tepat di tengah belakang penonton,
jadi pemandangan dari arah itu menjadi lengkap dan luas.
“Mbak…
saya tinggal dulu ya. Saya mau membantu teman-teman mempersiapkan property.
Silahkan dinikmati pementasan kami…”
“Oke,
Mas…”
***
Suara
jimbe diselingi suara gitar akustik mengalun perlahan. Lighting perlahan
menyala menyinari para aktor yang memainkan peran masing-masing di atas
panggung.
“Rek… aku jaluk waktune sepuluh menit yo. Aku
kate moco sajak.”
“Lho,
Mas… kan nggak ada di susunan acara?”
“Ya,
setelah pementasan naskah pertama, sebelum naskah kedua. Anggaplah selingan
sambil mempersiapkan property naskah kedua…”
“Oke,
Mas… sampeyan sampaikan saja sama Gasing dan Selang yang jadi MC.”
Aku
segera mencari dua orang MC dengan meraba-raba. Di belakang panggung hampir
tiada penerangan apapun. Gelap gulita.
“Rek…
sebelum naskah kedua, aku jaluk waktu sepuluh menit gae moco sajak…”
Gasing
dan Selang saling berpandangan sebentar. Mereka kebingungan karena di susunan
acara tidak tercantum pembacaan sajak. Aku tersenyum pada mereka untuk
meyakinkan mereka.
“Aku
wes ngomong sama ketua panitia. Tenang saja aku nggak kira ngerusuh…”
Mereka
mengangguk walau menyimpan seribu pertanyaan di dalam benaknya. Tidak biasanya
aku membuat sesuatu di luar susunan acara yang sudah disepakati. Mereka pasti
bertanya-tanya ada apa denganku? Aku cuek saja. Aku harus benar-benar
memberanikan diri kali ini.
Ruang
serba guna PKM bergemuruh oleh tepuk tangan penonton. Ada juga suitan dan
celoteh di sela tepuk tangan itu.
“Terima
kasih. Sekarang, sambil menunggu persiapan pementasan naskah kedua, ijinkan
saya membacakan sajak…”
Beberapa
penonton kulihat berbisik-bisik dan berteriak mendengar ucapanku.
“Lek… wes tuwek, wes wayahe dadi penonton…”
Kulihat
Krisna dari DKK setengah berteriak mengomentariku sambil tertawa. Aku tersenyum
melambaikan tangan. Aku mengambil nafas dan berkonstrasi sebelum memulai
membaca sajak yang aku tulis khusus kepada pemilik wajah oval dengan dekik di
pipinya.
“Sebuah
sajak yang saya khususkan kepada seseorang yang malam ini hadir menonton
pementasan ini. Seseorang yang kemarin membuat saya salah tingkah, gugup, dan
merasa menjadi makhluk paling bodoh sedunia…”
Aku
menghela nafas sebentar, mataku melihat ke arah paling belakang penonton.
Tempat pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya berada.
SESEORANG YANG KUPANGGIL
siapakah kau yang tancapkan gelisah
yang hunjamkan khayal dan resah
ataukah ini hanya ingatan sejenak
berenang menyusuri sekian ratus jarak
siapakah engkau yang tetaskan rindu
di ritmis nyanyian hujan
juga di embus angin
malam ini
lantas ke mana kunyalakan harapan
atau kutunggu saja sampai kau
datang bawa pelita
semesta
O…
Aku
terdiam meresapi kata perkata yang aku ucapkan dari untaian sajak yang aku
baca. Aku tidak peduli reaksi penonton akan seperti apa. Aku hanya ingin
menyampaikan perasaanku kepada pemilik wajah itu. Aku tidak peduli apakah
sajakku itu layak dan pantas disebut sajak. Aku juga tidak perduli apakah
suaraku jelek atau tidak menarik. Aku hanya ingin benar-benar menyampaikan
perasaanku kepada pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya. Aku ingin dia tahu
bahwa hatiku telah terpaut kepadanya.
“Suuuuiiiittt…
suuuiiiittt…”
Kesenyapan
berganti tepuk tangan dan gemuruh suitan penonton.
“Lek… kon nembak arek yo? Sing ndi are’e?”
Krisna
tiba-tiba berdiri dan melihat ke seluruh ruangan. Penonton lainpun mulai
menduga-duga siapa orangnya yang menjadi tujuan sajakku. Aku tersenyum melihat
reaksi penonton yang di luar dugaan. Mataku melihat lurus ke arah penonton
paling belakang. Berharap dapat melihat reaksi pemilik wajah oval dengan wajah
dekik di pipinya itu. Sayang penerangan yang terbatas tak mampu memberikan
jawaban dari pertanyaanku.
“Terima
kasih… terima kasih… selanjutnya kita nikmati pementasan naskah kedua…”
“Hooooiii, Lek… are’e sing ndi?”
Kembali
Krisna berteriak dari sela-sela penonton. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan
sambil berjalan ke belakang panggung.
“Piye
perjanjian masih berlaku kan?”
“Masihlah.
Tenang ae, wes temui are’e. aku pengen dengar kelanjutannya seperti apa?
Sepertinya menarik…”
Udheng
menepuk bahuku, menyuruhku menemui pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya.
Aku mengacungkan jempol mengiyakan sambil berjalan kea rah penonton paling
belakang.
“Sajaknya
bagus. Mas sering nulis sajak ya?”
Pemilik
wajah oval itu langsung menyambutku
dengan pertanyaan begitu aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum—senyum paling
manis menurutku—dan mengangguk.
Apakah dia nggak tahu kalau sajak yang aku baca tadi
aku khususkan untuknya?
Aku
melirik wajahnya. Pandangan matanya terlihat fokus pada pementasan. Tak ada
tanda-tanda seperti yang aku harapkan. Ah, mungkinkah? Seribu duga prasangka
berkelebat di benakku.
“Kenapa,
Mas?”
Aku
terkejut, juga malu. Apakah aku memang sudah tidak bias menyembunyikan
perasaanku?
“Ah,
nggak. Nggak apa-apa kok.”
Wajah
oval dengan dekik di pipinya itu tersenyum mendengar jawabanku. Aku berusaha
mengalihkan kegelisahanku dengan bertanya namanya. Kulihat keningnya berkerut.
“Maaf,
Mas… sepertinya tadi dibacakan tata tertib menonton pementasan ya?”
Jancuk!
Aku misuh dalam hati. Ini namanya senjata makan tuan. Aku yang tahu tata tertib
pementasan sekarang ditegur dengan tata tertib itu. Aku benar-benar mati kutu.
Aku berdiri dan melangkah keluar. Aku benar-benar malu dengan sikapku.
Tuhanku…!
***
“Marah
ya, Mas? Maaf ya kalau omonganku menyinggung, Mas…”
Suara
itu tiba-tiba terdengar di sampingku. Mungkin pementasan sudah selesai, dan
sekarang sedang persiapan apresiasi. Entah sudah berapa lama aku duduk sendiri
di tempat parkir depan gedung PKM, yang kutahu ada enam tujuh punting kretek
menggeletak di bawah kakiku.
“Tidak!
Tidak apa-apa. Aku yang seharusnya minta maaf karena telah menyalahi tata
tertib menonton pementasan, dan mengganggu keasyikanmu menonton pementasan.”
Pemilik
wajah oval dengan dekik di pipinya itu menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Aku
menggeser dudukku, memberinya tempat untuk duduk.
“Tahu
dari siapa kalau aku ada di sini? “
Dia
hanya tersenyum sebagai jawaban pertanyaanku.
“Namanya
aneh ya? Unik juga. El. Baru sekarang ini aku tahu ada nama yang aneh dan
unik.”
Aku
menoleh, menatap wajahnya. Dia tahu namaku, dan sampai saat ini aku belum tahu
namanya. Harusnya tadi aku bertanya sama Bletok nama dan keterangan lainnya
tentang dia. Ah, benar-benar aku ini kehilangan logikaku.
“Aku
tanya sama mbak yang jaga pintu masuk tadi. Dia yang ngasih tahu kalau Mas ada
di sini, juga ngasih tahu nama Mas…”
“Terus…?”
“Ya,
aku ke sini. Penasaran, dan juga mau minta maaf karena sikapku tadi…”
Aku
diam saja menghisap kretek yang hampir habis dalam-dalam. Mengembuskan asapnya
menjadi bulatan-bulatan asap yang segera buyar diterpa angin. Pikiranku
dipenuhi banyak hal. Berkecamuk!
“Boleh
aku menciummu?”
Entah
setan dari mana yang menuntun mulutku mengucapkan kalimat itu. Aku sendiri
tidak menyadari mulutku akan mengeluarkan kalimat itu.
Plaaakk!!!
Tamparan
itu mendarat di pipiku. Tanpa sepatah katapun dia bergegas meninggalkanku.
Terburu-buru dia menaiki dan menyalakan motornya. Pergi membawa kemarahan
kepadaku.
Aku
terpaku merenungkan kebodohan yang telah aku lakukan. Tidak! Aku aku tidak
marah kepadanya. Aku tahu, aku telah menyinggung dan melukai perasaannya. Aku
juga tahu, aku telah melemparkan diriku ke jurang kehinaan yang tak termaafkan.
Tuhanku…!
***
“Apapun
yang terjadi sekarang, perjanjian kita masih berlaku. Aku sudah siapkan hadiah
taruhan kita, karena aku tahu kau pasti melakukannya…”
Udheng
menyerahkan satu press Diplomat, menaruhnya di sampingku.
“Suwun…”
“Ini,
Bang…”
Bletok
memberikan kopi yang diwadahi gelas plastic dan lembaran kertas.
“Ini
apa?”
“Daftar
hadir penonton. Aku rasa Abang pasti membutuhkannya. Barusan aku ambil dan bawa
ke sini.”
Aku
mengamati lembaran kertas itu. Mengambil dan menaruhnya di sampingku, dekat
satu press Diplomat.
“Aku
ambek Bletok neng jero yo. Kate barengi arek-arek apresiasi sekalian evaluasi.”
Aku
hanya mengangguk. Mataku menatap ke kejauhan, entah langit atau sesuatu yang
tidak jelas. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya aku meminta
maaf pada pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya? Ah…
Goblok!
Kenapa aku nggak tanya sama Bletok? Bletok? Sebentar… bukankah tadi dia
menyerahkan lembaran daftar hadir penonton? Buru-buru aku mengambil lembar
hadir yang tergeletak di sampingku. Mataku jelalatan membaca satu persatu
nama-nama penonton yang hadir. Nah, ini dia. Dapat!
“Nu…”
Blep…!
“Aaaaaa…”
Seluruh
kampus tiba-tiba gelap gulita. Listrk padam.
Jancuk!
Giliran sudah ketemu, eh malah mati listrik. Di dalam ruang PKM terdengar
gaduh. Pasti anak-anak panitia kebingungan dengan kejadian ini. Aku meraba-raba
saku celana mencari HP-ku. Plak! HP-ku ka nada di tas kecil yang biasa aku
cangklong. Tadi sebelum baca sajak, aku menaruhnya di belakang panggung dan
belum sempat aku ambil.
“Aaaaaaaarrrrggggg…!”
Aku
berteriak sekuatnya melepaskan kejengkelan, marah, dan semua yang bercampur
aduk di kepalaku.
***
Tok!
Tok! Tok!
Huh…!
Siapa sih? Nggak tahu orang lagi capek apa?
“Siapa…?”
“Aku,
Vi… Bella…”
Dengan
malas Vivi beranjak turun dari tempat tidur. Klik!
“Kamu
kenapa? Nggak keluar sama sekali? Sudah seminggu ini, kuliah langsung pulang
kost-an…”
Mulut
nyinyir Bella melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti berondongan peluru dari
senapan serbu. Vivi nggak menjawab, malah mendorong Bella keluar kamar dan
menutup pintu.
“Eee…
malah ngusir? Kenapa sih?”
Bella
menahan daun pintu agar nggak ditutup. Akhirnya Vivi membiarkan Bella masuk ke
kamarnya. Dia memilih melemparkan tubuhnya ke kasur, mengacuhkan Bella yang
makin kebingungan.
“Nggak
mau cerita? Sudah nggak nganggap aku sahabat?”
Kembali
Bella melontarkan pertanyaan, kali ini dengan nada yang sedikit berhati-hati.
Vivi hanya melirik sebentar dan menghela nafas panjang. Pada makhluk satu ini
dia memang nggak pernah bias menyembunyikan masalahnya.
Vivi
bangun dan berdiri di dekat jendela. Menghela nafas panjang dan menatap ke
kejauhan. Melamun.
“Lihat
saja panggilan tak terjawab dan pesan di HP-ku.”
Bella
mencari-cari sebentar. Dilihatnya ada sekitar 100 panggilan tak terjawab.
Kemarin dan kemarin lusa juga sama. Ada lebih 75 pesan dari nomer yang sama
dengan nomer yang melakukan panggilan tak terjawab itu. Nomer tanpa identitas.
“Gila…!
Ini beneran? Serius?”
Dilihatnya
Vivi mengangguk.
“Siapa?
Kenapa?”
“Orang
gila, sinting, gendeng, dan kurang ajar!”
“Maksudnya?
Masak orang gila bisa nelpon dan sms berkali-kali?”
“Ah,
embuh…! Kamu malah nambahi mumet kepalaku!”
“Lho,
aku kan memang nggak ngerti. Ini cowok?”
“Iyyaaaa…”
“Ooo…
terus?”
“Iya
nggak terus-terus!”
Bella
melongo mendengar jawaban itu. Tidak biasanya Vivi uring-uringan, bahkan marah seperti
ini.
“Dia
itu anak teater, ketemu di PKM pas pementasan teater malam Minggu kemarin.”
“Terus…?”
“Nggak
terus-terusan…!!!”
“Lha
kan ceritamu belum selesai?”
“Makanya
dengarkan saja, nggak usah koment!”
“Iya…
iya… aku dengarkan…”
“Sebenarnya
aku ketemu dia sore sebelumnya. Waktu itu dia lagi nyetting pintu masuk ruang
pementasan…”
Vivi
menghela nafas sebentar. Perlahan dia mendekati dan membuka jendela. Matanya
memandang ke luar jendela.
“E…
eee…”
“Kalau
kamu masih menyela, aku nggak jadi cerita!”
Bella
terdiam. Wah gawat nih. Urgen banget sepertinya. Empat semester berteman, baru
kali ini Vivi jadi galak macam macan betina seperti sekarang.
“Malam
pementasan, tiba-tiba dia baca sajak yang ditujukan padaku. Dia nembak aku…”
“Whaaaaattt…?”
Vivi
menoleh mendelik ke arah Bella.
“Sorry…
sorry…”
Bella
menahan kekagetannya sambil mendekap mulutnya. Seulas senyum mengembang di
bibir Vivi melihat sikap Bella.
“Aku
ya kaget, dan pura-pura nggak tahu. Lha wong aku nggak kenal dia…”
Kebisuan
menjalar di antara mereka berdua. Vivi melirik sebentar ke arah Bella yang
masih mendekap mulutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, menahan hasrat
untuk berkomentar.
“Selesai
baca sajak, dia mendatangiku, bertanya segala hal. Aku jadi risih dan
mengingatkannya bahwa saat itu pementasan masih berlangsung. Dia kaget dan
meninggalkanku. Ketika acara selesai, aku mencarinya untuk minta maaf. Aku
bertanya pada panitia. Dia duduk di tempat parkir sendirian…”
Vivi
menghentikan ceritanya, mengambil nafas dan berjalan ke arah Bella.
“Tahukah
kau, apa yang terjadi setelah selanjutnya?”
Bella
hanya menggelengkan kepalanya. Vivi mengerutkan kening melihat hal itu, dan
tiba-tiba tertawa.
“Hahaha…
kau boleh koment, tapi setelah aku selesai cerita.”
Bella
menghela nafas lega. Dia tahu cerita Vivi benar-benar aneh, dan mirip cerita
sinetron.
“Aku
menamparnya!”
“Whaaaat…!
Beneran? Suer?”
Vivi
menganggukkan kepala. Bella kaget setengah mati. Diraihnya kedua tangan Vivi dan
dilihatnya berkali-kali.
“Beneran
kamu menamparnya?”
“Iyyyaaaaa,
Beelll…”
“Kenapa?”
“Dia
kurang ajar kok! Gila, sinting bin edan!”
“Kok…?”
“Ketika
aku duduk di sampingnya, tiba-tiba dia bilang begini: Boleh aku menciummu? Aku kaget mendengarnya, dan spontan tanganku
menampar wajahnya. Memangnya dia siapa? Kenal saja nggak! Eh, malah ngomong kayak
gitu. Gila kan?”
Bella
terdiam tidak menjawab pertanyaan itu. Benaknya sibuk merangkai dan mengaitkan
cerita Vivi dengan sikap Vivi selama seminggu ini.
“Jadi
yang nelpon dan sms kamu berkali-kali itu dia?”
“Ya…”
“Kenapa
nggak kamu angkat atau baca sms-nya?”
“Apa
untungnya buatku?!”
Bella
mengendikkan bahunya. Susah juga. Dia tahu Vivi merasa dilecehkan dan dihina,
dan Bella yakin cowok itu ingin minta maaf. Bella jadi penasaran seperti apa
sih cowok yang telah membuat Vivi marah?
“Ganteng
nggak?”
Vivi
berbalik mendengar pertanyaan Bella. Dahinya mengernyit berusaha mencerna ke
mana arah pertanyaan Bella.
“Kalau
ganteng, kenalkan aku saja. Siapa tahu…”
“Ya
sudah sana kamu temui dia! Pergi sana…”
“Hahaha…”
“Malah
ketawa. Sana pergi…”
“Ikut
aku yuk…! Malam ini aku mau ke Macapat, ngerjakan tugas kelompok sambil
refreshing…”
“Capek
aku…”
“Aku
jemput jam tujuh ya…”
Bella
berdiri dan berjalan ke luar. Sesaat sebelum benar-benar keluar kamar dia masih
menoleh pada Vivi.
“Kasihkan
aku saja kalau kau memang nggak mau. Sepertinya menarik punya pacar anak
teater…”
“Ahhh…
Pergi! Pergi!”
***
“Boleh
aku duduk?”
Suara
itu membuyarkan lamunan Vivi. Dia seperti pernah tahu dengan suara itu, tapi di
mana? Perlahan diliriknya pemilik suara itu. Deg! Laki-laki kurang ajar, gila,
sinting bin edan itu yang sekarang berdiri di depannya dan meminta ijin duduk
di sampingnya.
“Aaaaahhhh…!!!”
“Ada
apa, Vi?”
Bella
mendatanginya dengan cemas. Dia memegang tangan Vivi, kemudian beralih pada
laki-laki yang berdiri di depan tempat duduk Vivi.
“Vi…?
Ada apa?”
Bella
mengguncang bahu Vivi, sedang wajahnya melihat pada laki-laki itu.
“Maaf,
aku tidak bermaksud jelek. Aku hanya ingin minta maaf…”
Laki-laki
itu tampak gugup melihat reaksi Vivi. Wajahnya dipenuhi rasa malu dan bersalah.
“Mas
siapa?”
“Seseorang
yang pernah berbuat salah dan ingin minta maaf…”
Bella
mengerutkan dahi, bingung dengan jawaban tersebut.
“Bell…
antarkan aku pulang!”
Laki-laki
itu terkejut, wajahnya tampak putus asa. Dia menatap Bella seakan minta tolong
untuk membantunya.
“Bell…
antarkan aku pulang sekarang!”
Bella
menatap wajah Vivi. Dilihatnya rona kemarahan berpijar seperti bara api yang
akan membakar apa saja yang menghalanginya.
“Ah,
aku benar-benar mau minta maaf untuk kekurangajaranku waktu itu…”
Spontan
Bella menatap laki-laki itu. Jangan-jangan laki-laki ini yang diceritakan Vivi
tadi sore? Kalau memang benar, dia harus memberikan kesempatan agar
permasalahan di antara mereka terselesaikan.
“Aku
belum selesai, Vi…”
“Oke,
aku pulang sendiri!”
“Kamu
kenapa sih? Aku tidak mau mencampuri privasimu, tapi masalah itu ada untuk
diselesaikan bukan untuk dibiarkan begitu saja. Ada baiknya kau dengarkan dulu
apa yang mau disampaikan sama…”
“El…
El namaku…”
“Nah,
kau dengarkan dulu apa yang mau disampaikan El…”
Vivi
tidak mengacuhkan semua uraian Bella. Dia bergegas pergi meninggalkan Macapat.
Bella kaget dan kebingungan melihatnya. Dia menoleh pada El. Dia khawatir Vivi
makin marah kepadanya, tetapi tugas kelompoknya juga belum selesai.
“Kamu
percaya aku nggak akan macam-macam sama temanmu?”
Bella
diam saja. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertimbangan.
“Biar
aku yang menyusulnya. Kamu tenang saja. Kalau ada apa-apa, kamu tanya sama
anak-anak dekat kasir itu.”
Bella
akhirnya mengangguk.
“Tapi…”
“Tenang
saja. Beri aku 15-30 menit untuk menyelesaikan permasalahan ini. Setelah itu
kamu boleh menyusul. Ini nomer HP-ku…”
El
menyebutkan nomer HP-nya dan segera menyusul Vivi. Dilihatnya Vivi berjalan
sambil menunduk. Terburu-buru dijajarinya langkah Vivi.
“Siapa
yang menyuruhmu mengejarku? Bella?”
“Tidak
ada. Malah aku menyusuh Bella menunggu di Macapat…”
Vivi
menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam wajah El. Pandang mata mereka
bertumbukan. Ada bahasa yang tidak terucapkan dalam kata-kata. Vivi menunduk
dan mengalihkan pandangannya.
“Apa
maumu?”
“Minta
maaf untuk semua sikapku pada malam Minggu kemarin. Aku tahu, aku telah
melakukan kesalahan besar yang membuatmu sangat marah…”
El
menghentikan ucapannya sejenak, menunggu reaksi Vivi. Ketika dilihatnya Vivi
diam saja, dilanjutkannya perkataannya.
“E…
eee… gimana kalau kita duduk dulu di pinggir situ. Nggak enak bicara sambil
berdiri, lagian ganggu pemakai jalan lainnya…”
“Oke…”
El
tersenyum samar mendengar jawaban itu. Dilangkahkannya kakinya ke pelataran tempat
parkir PKM.
“Kau
tahu, di tempat ini malam Minggu kemarin aku melakukan hal paling bodoh dalam
hidupku. Dan di tempat ini pula kau menamparku…”
Vivi
kaget mendengar kalimat itu. Baru disadarinya, El membawanya ke pelataran
tempat parkir PKM.
“Aku
sungguh-sungguh minta maaf. Kalau kau masih belum puas, kau boleh menamparku
lagi…”
Hhh…!
Vivi menghela nafas panjang. Pandang matanya mengarah ke kejauhan.
“Aku
seharusnya tidak menamparmu, walaupun kata-katamu waktu itu memang sangat
kurang ajar…”
El
diam menunggu kelanjutan kalimat yang belum selesai itu.
“Aku
memang sakit hati dengan ucapanmu. Tapi tidak seharusnya aku melakukan hal itu.
Aku ini seperti anak kecil saja…”
“E…
eee… namamu Nurina ya? Nurina Vidya Utami. Mahasiswi FKM semester 4…”
“Tahu
dari mana?”
“Seminggu
ini aku benar-benar seperti orang gila. Aku mencari dan mengumpulkan semua
informasi tentangmu berdasarkan daftar hadir penonton pementasan.”
Vivi
tersenyum dan hampir saja ia tertawa mendengarnya.
“Terus…?”
“Aku
baru tahu nama panggilanmu Vivi, ya tadi itu ketika temanmu memanggil. Aku
berkali-kali menelpon dan sms, tapi nggak pernah diangkat dan dibalas…”
“Aku
memang sengaja. Aku benar-benar marah dan sakit hati padamu…”
“Maafkan
aku. Kau mengingatkanku pada seseorang yang telah begitu lama aku lupakan…”
“Ooo…
jadi kau membandingkan dan menyamakanku dengan masa lalumu?”
“Dengarkan
dulu ceritaku sampai selesai, setelah itu terserah kamu…”
Vivi
diam saja.
“Sepuluh
tahun lalu, aku dekat dengan seorang perempuan. Sangat dekat bahkan. Kami teman
satu SMP. Selepas SMA, dia kuliah di Malang dan aku diterima di Jember. Tahun
ketiga kuliah, hubungan kami kandas bukan karena kehendak kami sendiri. Dia
berasal dari keluarga campuran. Ibunya Jawa, dan ayahnya, maaf, Cina. Dia
ditunangkan dan kemudian dinikahkan atas paksaan ayahnya. Kuliahnya
terbengkalai dan putus ditengah jalan.
El
berhenti sejenak, menghela nafas.
“Terus…?”
“Aku
boleh roko’an?”
“Kalau
aku nggak ngijinin?”
“Kalau
nggak boleh, ya nggak ngerokok aku. Tapi…”
“Iya,
boleh…”
El
mengambil rokok dari tas kecil yang dicangklongnya. Menyalakan dan menyesapnya
perlahan. Mengembuskan asapnya menjadi bulatan-bulatan kecil.
“Ketika
mengetahui dia dipaksa menikah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak
berani mengajaknya kawin lari seperti dalam cerita sinetron atau film. Hidupku
saja masih morat-marit. Aku merelakannya dengan terpaksa, dan sejak itu aku
hampir tidak peduli dengan kuliahku. Aku melampiaskan kepedihanku di teater,
menulis naskah drama, sajak, dan mabuk…”
“Mabuk?”
“Iya…
Aku mabuk-mabukan hampir setiap hari.”
“Sekarang?”
“Kalau
aku bilang sudah berhenti, aku memang sudah berhenti. Kalau dibilang belum, aku
masih sering menemani teman-teman mabuk. Sekedar menemani dan kadang ikut
nyumbang buat beli minuman…”
“Terus,
kenapa cerita semuanya sama aku?”
Vivi
memandang El dengan tajam. Dia mencari kebenaran di telaga matanya. Ada
kerapuhan yang coba disembunyikan di sana. Ada kesunyian yang teramat sangat di
sana.
“Entahlah….
Hanya Udheng dan Wader yang tahu kisahku. Mereka berdua yang mengerti
keadaanku, dan merekalah yang selalu mengingatkanku…”
El
menoleh, melihat Vivi yang menatapnya. El tersenyum, sesuatu yang sudah hampir
dia lupa caranya.
“Jadi,
sajak itu sebenarnya kau tujukan sama kekasihmu yang dulu?”
El
kaget bukan kepalang. Dia seperti dihantam dengan batu yang sangat besar. Dia
tidak menyangka Vivi akan bertanya seperti itu.
“Sajak
itu benar-benar aku tulis malam hari setelah aku bertemu kamu sore harinya.
Sajak itu benar-benar ungkapan perasaanku kepadamu, walaupun mungkin didasari
oleh kenanganku pada dia…”
“Kau
kan nggak tahu aku? Bagaimana bisa kau memiliki perasaan seperti isi sajakmu?”
El
terdiam. Tuhanku…!
“Vi…
aku nggak perduli kau akan menganggapku pembohong atau apapun. Tetapi aku
benar-benar suka sama kamu.”
“Aku
suka sajaknya, tetapi tidak dengan ceritamu!”
“Terima
kasih. Aku juga tidak berharap banyak kok…”
“Maksudmu?”
“Aku
tahu, sangat sulit mempercayai ceritaku. Apalagi sikapku kemarin makin
memberikan kesan buruk padamu. Tidak apa-apa. Aku paham kok! Aku sudah senang
bisa ngobrol denganmu seperti sekarang ini. Aku sudah gembira kau mau
mendengarkan ceritaku.”
“Beneran?”
“Iya.
Buatku, mengenalmu saja sudah anugerah. Apalagi bisa ngobrol dan jadi temanmu,
itu sudah luar biasa. Tentang isi sajakku, itu benar-benar jujur. Aku mengerti
bahwa semuanya tidak bisa dipaksakan. Aku ingin belajar jujur kepada hatiku
sendiri, dan menikmati perasaanku kepadamu dengan gembira…”
El
tersenyum dan membuang kretek yang sudah mati ke bawah kakinya.
“Kau
mau membalas atau tidak itu urusanmu, dan sepenuhnya menjadi hakmu. Yang pasti
aku menempatkan Nurina Vidya Utami di dalam ruang khusus hatiku…”
“Maafkan
aku…”
“Tidak
perlu, karena kamu nggak bersalah. Biarkan waktu yang mengajarkan kepada kita,
apakah kita memang diperkenankan menjalin hubungan atau tidak…”
“Iya…”
Mereka
berdua terdiam menikmati bahasa tanpa kata yang bermain di dalam hati dan
perasaan mereka masing-masing. Sementara dari sebuah warung lesehan terdengar
Once melantunkan ‘Risalah Hati’…
…
Aku bisa membuatmu,
Jatuh cinta kepadaku,
Meski kau tak cinta kepadaku,
Beri sedikit waktu,
Biar cinta datang,
Karena telah terbiasa
…
Ya,
biarkan cinta datang karena telah terbiasa. Biarkan waktu yang menuntun dan
mengajarkan kepada hati tentang segalanya.
Sepertinya selesai
Bondowoso, 27 Desember
2016
04.45 wib