CATATAN PEMENTASAN NASKAH 'KAMIT'
UKM-K DOLANAN 2017
UKM-K DOLANAN 2017
Setelah menikmati sajian monolog, saya
berusaha memfokuskan perhatian pada sajian berikutnya. Pementasan teater
kelompok yang memilih naskah berjudul “KAMIT”. Naskah drama berbahasa daerah
Jawa yang ditulis oleh Gusmel Riyadh.
Sebuah harapan muncul dalam kepala saya,
pementasan kali ini akan memberikan sesuatu yang menarik secara tampilan dan
secara pesan. Harapan ini muncul ketika melihat tata panggung yang terlihat
berbeda dari pementasan-pementasan teater yang dilakukan oleh teman-teman UKM-K
Dolanan. Dua buah rumah, toko kelontong, kandang kambing menuntun imajinasi
saya untuk menduga-duga tentang penampilan kali ini.
Harapan dan imajinasi yang sudah saya
bangun dari awal pada akhirnya menjadi sebuah perjalanan yang cukup melelahkan.
Mungkin merupakan sebuah kesalahan ketika seorang penonton memiliki harapan dan
imajinasi terhadap sajian pementasan yang ditontonnya.
Panggung gedung serbaguna PKM,
sebagaimana gedung-gedung serbaguna lainnya dengan ukuran kurang lebih 12 meter
kali 4 meter seolah-olah menjadi dinding kasat mata yang membatasi keutuhan
pementasan. Ukuran property yang terlalu besar menyebabkan panggung disesaki
oleh property. Tidak ada ruang untuk mengambil nafas bagi actor untuk
berdialog, ngobrol (njagongan), berinteraksi, dan menunjukkan kualitas acting
masing-masing aktor.
Musik pembuka (opening) yang terlalu
panjang menyebabkan hilangnya momentum pada fokus saya sebagai penonton. Selain
itu, pada beberapa adegan yang kurang pas pemberian musik ilustrasinya. Naskah ‘Kamit’
merupakan naskah berbahasa Jawa, anehnya pada beberapa adegan diberikan musik ilustrasi
menggunakan seruling bernada Sunda.
Tata lampu juga hampir sama dengan
pementasan-pementasan sebelumnya, kurang tergarap dengan baik. Entah ini sebuah
‘masalah’ yang disengaja atau memang belum selesai? Tidak ada perbedaan suasana—pagi, siang,
sore, malam, sedih, gembira, mencekam, damai, dll—yang seharusnya mampu diberikan
oleh tata lampu untuk mendukung pementasan.
Para pemain (aktor) juga kurang
mengeksplorasi karakter yang dibebankan kepada mereka. Aktor utama, Kamit,
kurang mampu menunjukkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang sudah memiliki
istri dan anak. Latar belakang kehidupan Kamit sebagai seorang Tukang Batu
belum berhasil diperankan oleh si aktor. Dia tetap menjadi seorang mahasiswa yang
sekedar melafalkan dialog di atas
panggung saja.
Begitu juga dengan pemeran Nenek (mbah)
Jebrak yang seharusnya lebih bisa ditonjolkan karakter pribadinya. Seorang perempuan
tua tentu saja berbeda dengan perempuan muda dari sisi karakter suara, cara melafalkan
kata, dan juga sikap tubuhnya. Latar belakang kehidupannya yang menjanda
seharusnya menuntun sutradara untuk mengarahkan aktor untuk mengeksplorasi
karakter dan perwatakan Mbah Jebrak.
Aktor Kedut yang menurut saya memberikan
totalitas dalam penampilan kali ini. Gesture, mimic, cara melafalkan dialog,
dan volume suara yang tetap stabil dari awal pementasan sampai akhir menjadikan
naskah ini menjadi hidup.
Karakter orang gila sangat mudah
dibayangkan tetapi sulit untuk dilakukan pada kenyataannya. Karakter orang gila
adalah karakter yang bebas tetapi terbatas.
Bebas dalam arti kata seorang aktor
yang berperan sebagai orang gila memiliki kebebasan untuk mengeksplor apa saja
yang disediakan di atas panggung—property, aktor lain, dan dirinya sendiri. Terbatas
dalam arti seorang aktor yang memerankan karakter orang gila tidak boleh
melampaui porsi yang ada sehingga aktingnya berlebihan (over acting). Jika hal
ini terjadi, maka keseimbangan cerita akan terganggu. Fokus utama pementasan
menjadi tersentral hanya kepada dirinya sendiri, kecuali memang dari awal
naskah membahas tentang orang gila secara menyeluruh.
Saya bingung dengan akting aktor yang
memerankan Pardi. Saya bertanya-tanya dalam hati:
“Pardi ini pekerjaannya apa?
Tinggal di mana?”
Karena setahu saya, di dalam naskah ada sebuah keterangan
yang menjelaskan Pardi merupakan seorang pemuda berusia 22 tahun dan tukang
ngarit.
Saya mencoba untuk berpikir positif
dengan menganggap tempat kejadian dalam adegan pementasan adalah daerah urban,
daerah yang berada di antara kota dan desa yang banyak terdapat di Indonesia. Daerah
di mana orang-orang yang tinggal di dalamnya mengalami benturan-benturan secara
batin antara mempertahankan tradisi dengan kemajuan jaman.
Tetapi kembali pikiran saya belum
menemukan benang merah antara Pardi yang tukang ngarit (pencari rumput) dengan
tampilan kostumnya yang menggunakan sepatu, celana kain, dan batik. Apa iya di
daerah urban—misalnya pinggiran kota Surabaya, Jogya, Semarang, dan Jakarta—masih
ada tukang ngarit rumput? Mungkin saja iya, tetapi apakah mereka mampu
mengikuti trend mode pakaian yang mewah sebagaimana yang dikenakan actor Pardi?
Setahu saya orang-orang di daerah pinggiran merupakan individu dan masyarakat
yang terpinggirkan, berjuang untuk mempertahankan hidup, dan hamper tidak
berpakaian ‘mewah’ sebagaimana aktor Pardi.
Naskah drama ini memilih judul ‘Kamit’
tentu saja memiliki tujuan pokok yang ingin disampaikan oleh si penulis naskah.
Kamit merupakan gambaran umum dari masyarakat pedesaan di Jawa yang harus
berjuang untuk menghidupi dirinya, istri, dan anaknya dengan bekerja sebagai
tukang batu.
Kamit merupakan sosok utama yang
menjadikan cerita berjalan dan menemukan terminal bernama kesadaran baik kepada
para aktor, sutradara, team produksi, maupun kepada penonton. Hal penting yang
ingin disampaikan daari naskah ini adalah hal besar berupa adat kebiasaan
menyumbang di masyarakat yang pada saat ini mengalami pergeseran menjadi
semacam hutang piutang.
Jujur saja saya tidak mendapatkannya
dari pementasan kali ini karena hal besar tersebut disampaikan dengan
biasa-biasa saja. Hal penting tersebut kehilangan moment, kalau tidak mau
disebut kehilangan tempat di dalam pementasan karena tertutupi oleh suasana
komedi yang dibangun oleh aktor Kedut.
Pementasan Kamit sebagai sebuah hiburan,
sangat sukses membuat penonton tertawa, dan bergembira, semacam refreshing dari
kejenuhan rutinitas sehari-hari. Tetapi sebagai sebuah pementasan yang utuh, yang
memiliki pesan begitu penting bagi semua yang terlibat—aktor, sutradara, team
produksi, dan penonton—saya rasa masih banyak yang harus diperbaiki.
Seorang sutradara teater adalah orang
yang telah menyelesaikan tafsir, memiliki imajinasi, sudut pandang, dan
keinginan untuk menyampaikan pesan yang terdapat di dalam naskah yang telah
dipilihnya untuk dipentaskan. Sutradara merupakan orang yang mampu menentukan
tujuan, mengarahkan semua komponen yang terlibat, dan mampu mengeluarkan
kemampuan masing-masing actor untuk mewujudkan serta meraih tujuan yang ada di
dalam naskah dalam bentuk pementasan.
Apa yang diberikan sebuah pentas teater
kepada bagi batin penontonnya selain sebuah hiburan? Apakah pementasan teater
tidak mampu menjadi satu dari berbagai macam sarana bagi siapa saja yang
terlibat—aktor, sutradara, pemain music ilustrasi, tata lampu, kru
perlengkapan, make-up, dan penonton—untuk menemukan ruang-ruang kesadaran dan
ruang-ruang perenungan baru?
Mari terus berproses dan belajar karena
jawabannya tidak akan pernah selesai dalam satu kali proses pementasan saja.
Selamat kepada UKM-K Dolanan yang telah
selesai melaksanakan acara ‘SENYUM DOLANAN 7’
Salam Budaya…
Jember, 20 Desember 2017
13.35 wib