­

MENGAJI KE DALAM DIRI

12.56.00


Catatan Idul Fitri 1435 H

Idul Fitri, sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna “kembali pada kesucian” merupakan sebuah kata yang menjadi nama dari peristiwa besar bagi umat Islam. Idul Fitri merupakan puncak dari perjalanan spiritual umat Islam setelah sebulan penuh berpuasa pada bulan Ramadlan.

Ada banyak hal yang sudah seharusnya kita telaah dan kaji bersama sehubungan dengan Idul Fitri, bukan saja sebagai hari raya tetapi sebagai peristiwa penyucian lahir dan batin. Idul Fitri dari sudut pandang budaya, kebudayaan, dengan segala fenomena sosial yang mengiringinya.

Dari sudut pandang agama, Idul Fitri dari masa ke masa secara esensinya tetap mengacu pada “kembali pada fitrah/hakikat”, tetapi secara materi telah banyak mengalami pergeseran menyesuaikan dengan perubahan jaman.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi banyak memberikan warna pada segala bidang kehidupan manusia modern. Begitu juga dalam kehidupan spiritual mengalami banyak perubahan sebagai imbas dari perkembangan tersebut. Bagaimana sekarang ini, setiap individu bisa memperoleh informasi dengan sangat cepat dan dimana saja. Misalnya untuk menentukan waktu imsak dan berbuka, semua media cetak, eletronik, internet menyediakan jasa informasi dengan sangat cepat. Hal ini tentunya memberikan kemudahan bagi seluruh umat Islam dalam menjalankan kewajiban agama.

Pertanyaan kemudian muncul ketika ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut sudah bisa di akses sampai ke setiap rumah, setiap individu bisa berkomunikasi dan berhubungan dengan dunia luar tanpa kesulitan, yaitu: Seberapa besar manfaat ilmu pengetahuan dan tekhnologi tersebut dalam perbaikan sikap, tingkah laku, dan spiritualitas masyarakat?

Ketika jaman dulu masih belum ada al qur’an digital, maka belajar membaca al quran merupakan sebuah keharusan sebagai pondasi awal dalam beragama. Tadarus di masjid dan musholla menjadi sebuah media pembelajaran untuk mempelajari ilmu tajwid serta makhorijul huruf serta memperbaiki penggunaannya kepada tiap-tiap individu. Tadarus menjadi wadah yang menyenangkan bukan karena makanan dan minuman yang diberikan kepada orang-orang yang tadarus, tetapi murni karena di dorong untuk memperbaiki kemampuan membaca al quran.

Pada saat sekarang, tadarus masih terus berlangsung (bahkan sampai akhir masa) bahkan di banyak tempat, ketika ramadlan tiba melaknakan tadarus al quran, bahkan banyak yang menggunakan loudspeaker dan waktunya sampai menjelang sahur. Hal ini tidak apa-apa bahkan bagus dari sudut pandang syiar agama, tetapi kembali kepada esensi dari tadarus, yang tercapai hanya sisi kuantitas saja, sedang kualitas (maaf) belum terjadi peningkatan yang signifikan.

Begitu juga dengan puasa ramadlan. Sejak kita di lahirkan, sudah berapa kali ramadlan kita menjalaninya? Bahkan jika ditinjau dari sisi sejarah, ramadlan sudah diperintahkan sejak abad ke XIV silam.

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 183).

Perintah pada ayat di atas sangat jelas menyebutkan bahwa tujuan utama puasa adalah “menjadi manusia yang betaqwa” dalam segala aspek. Lantas bagaimana dengan kita jika mendapat pertanyaan: Sudahkah kita bertaqwa? Pertanyaan ini jika ditujukan bukan hanya kepada individu bahkan kepada seluruh umat Islam di seluruh dunia.

Mari kita membuka pemikiran kita untuk mengingat dan merenungkan puasa ramadlan kita. Sejak manusia memasuki masa “akil balig”, maka hukum puasa menjadi wajib ‘ain kepadanya. Jika misalnya kita sekarang berusia 20 tahun dan masa akil balig pada kisaran usia 7-9 tahun, maka kita sudah menjalani ramadlan kurang lebih 11-13 kali selama hidup kita sekarang. Apa dampak positif ramadlan kepada diri kita setelah kita menjalaninya hampir 11-13 kali tersebut?

Setiap individu akan memiliki jawaban dan alasan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tentunya sesuai dengan lingkungan dan kultur budaya yang mempengaruhi tiap individu. Jika lingkungan dan kultur budayanya ‘religius” maka akan sangat jelas dampak ramadlan dalam tutur kata, sikap, tingkah laku, bahkan cara berpikir, yang pastinya akan mencerminkan energi positif sebagai bentuk pancaran iman dari dalam diri yang bersih kepada sekelilingnya.

Bagaimana jika dilihat secara global kepada kehidupan yang lebih luas, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara? Akan sangat jelas bahwa ramadlan masih belum bisa diserap menjadi saripati kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Bukan bermaksud untuk mengoreksi, menilai, atau menyalahkan siapapun, sekali lagi mari kita membuka pikiran kita agar bisa benar-benar meresapkan esensi ramadlan menjadi saripati kehidupan kita semua.

Pada masa sekarang ini, kita semakin terjebak kepada bentuk materi daripada mencari dan mengendapkan esensi dari segala hal yang kita pelajari dari luar diri. Dalam segala aspek ritual agama pun tidak lepas dari hal tersebut. Unsur materi lebih dikedepankan sebagai sesuatu yang “wajib” tanpa ada bantahan apapun. Agama menjadi aturan (dogma) yang menakutkan kepada penganutnya. Ibadah hanya menjadi ritual mewah yang dikemas dalam berbagai macam bentuk seperti halnya dagangan.

Media cetak dan eletronik bahkan menjadikannya komoditi yang sekali lagi bukannya benar-benar memberikan informasi yang obyektif, tetapi lebih kepada pencitraan diri dan demi kepentingan keuntungan mereka sendiri. Artis sinetron, film, menjadi ikon baru yang lebih dipercaya dari seorang lulusan pondok pesantren, bahkan mereka lebih banyak diikuti pendapatnya dari seorang yang memang memiliki kapasitas keilmuan dalam bidang agama. Hal ini adalah permasalahan sosial yang hampir semua orang menyadarinya. Tetapi bersamaan dengan kesadaran itu, muncul juga perasaan “pasrah” dan “penentangan yang radikal”.

Kelompok yang menganut “kepasrahan” menganggap hal itu bukan urusan mereka. Mereka menganggap sudah ada lembaga yang mengurusinya. Mereka bahkan cenderung menjadikan fenomena tersebut sebagai “kehendak jaman” yang sudah seharusnya terjadi. Lebih parahnya, mereka ikut memuja dan menjadikannya sebagai kebenaran baru yang hampir tidak bisa terbantahkan.

Kelompok yang menganut “penentangan” berkebalikan dari kelompok pertama. Mereka memilih jalur yang benar-benar berbeda. Mereka menempuh jalan yang khusus, sehingga agama menjadi sesuatu yang eksklusif dan menjadi berjarak dengan masyarakat. Semua hal yang berkaitan dengan ritual ibadah memiliki takaran yang kaku sehingga menjadikannya sebagai hukum pemaksaan yang sangat ketat.


Ketika tahun 80-an di daerah tapal kuda (Bondowoso, Situbondo, Jember, Banyuwangi, Probolinggo, dan Lumajang) ada sebuah fenomena menarik yang terjadi. Bagaimana masyarakat di wilayah ini, bahkan mungkin hampir di seluruh wilayah jawa bagian timur, melakukan silaturrahmi dengan membawa kue yang sudah dipersipakan sebelumnya. Dalam kebudayaan masyarakat Madura yang mayoritas mendiami wilayah ini, kebiasaan tersebut dinamakan “ter ater” (mengantarkan) dan menggunakan wadah bernama “tenong” (wadah terbuat dari pernekel).

Fenomena ini jika dikaitkan dengan spiritualitas masyarakat merupakan perwujudan dari anjuran menyambung tali persaudaraan (silaturrahmi) dan juga merupakan cerminan pengamalan 

“… wamimma rozaqnahum yun fikun” (QS. Al Baqarah: 3).

Budaya “ter ater” dari beberapa literatur dan cerita yang berkembang di masyarakat merupakan perilaku yang diwariskan oleh para Wali Songo pada awal penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Dan sekarang budaya ini hampir punah karena tidak adanya dukungan dari lembaga agama yang berwenang yang memberikan ruang wujud aktualisasi pelaksanaan agama secara lentur. Budaya ini menjadi sesuatu yang dianggap sia-sia, bid’ah, dan dianggap tidak sesuai dengan syar’i.

Jujur saja, penulis mengalami hari-hari yang sangat membosankan dengan Idul Fitri tahun ini. Hampir tidak ada bedanya dengan hari libur biasa. Jiwa dan ruh dari Idul Fitri seolah-olah telah disembunyikan oleh langit yang gelap dan pekat. Atau mungkin juga disembunyikan di dasar lautan yang sangat dalam. Entah karena malu kepada tingkah laku dan sikap manusia atau karena memang benar-benar marah kepada sikap manusia.

Kegembiraan Idul Fitri tidak terasa sampai ke tulang sumsum, apalagi sampai ke sanubari. Kegembiraan Idul Fitri hanya terasa di permukaan dalam wujud materi, berupa kue, camilan, dan aneka makanan lainnya. Mungkinkah Idul Fitri hanya berupa makan-makan, baju baru, perangkat meubeler, cat rumah baru saja? Sedangkan sisi batiniah kita lupa untuk disiram dan terus terbengkalai sehingga menjadi kering kerontang?

Mungkin kita terlalu lama mencari sesuatu di luar diri kita sehingga kita lupa bahwa esensi agama yang disebut sebagai iman sebenarnya berada di dalam diri. Mungkin kita terlalu lama lupa bahwa Islam yang menyeluruh adalah Islam yang dijalankan secara syariat, toriqoh, hakikat, dan ma’rifat.

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qof: 16)

Dan mungkin hanya penulis saja yang merasakan hal seperti yang dibahas dalam tulisan ini karena keterbatasan ilmu yang dimiliki penulis. Semoga.

Selamat Idul Fitri kepada seluruh pembaca. Mohon maaf lahir batin.
Salam


Bondowoso, 10 Syawal 1435 H
menjelang Maghrib

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook