CATATAN PEMENTASAN (II)

17.04.00

CATATAN PEMENTASAN "LARAS II" UKM Kesenian TIANG FKIP UNEJ Gedung PKM, 10 Juni 2016
Setiap kali ada pementasan drama/teater, senyampang saya punya waktu dan kesempatan, saya selalu berusaha untuk hadir dan menikmati suguhan pementasan tersebut. Malam ini saya berkesempatan menikmati garapan teman-teman UKMK Tiang FKIP Unej di gedung PKM. Pementasan berdurasi kurang lebih satu jam, mengusung naskah berjudul “LARAS II” menjadi semacam obat dan vitamin bagi proses berkesenian saya. Setelah sore harinya saya menghadiri acara “NGAPUSI (Ngabuburit Puisi)” di Politekhnik Negeri Jember, yang jujur saja tidak sesuai dengan harapan dan imajinasi saya. Ada beberapa hal yang saya pelajari dari pementasan teman-teman UKMK Tiang kali ini. Sejak pertama kali melihat pementasan mereka sekitar tahun 2004/2005, yang terbiasa menggarap naskah yang cukup berat semisal Opera Sembelit, Kapai-kapai, maupuan naskah-naskah teater yang sudah dianggap standart untuk pementasan teater level mahasiswa maupun festival teater di Indonesia. Kali ini teman-teman UKMK Tiang memilih menggarap naskah dengan tema yang juga cukup berat tetapi dengan bentuk garapan komedi satir yang cukup menarik. Naskah “LARAS II” menceritakan tentang Suryo yang memiliki burung perkutut yang dinamakan Laras. Suatu hari, Laras ditemukan hilang dari tempatnya biasa digantung dan dijemur. Suryo merasa ada yang sengaja mencuri burungnya, karena alasan-alasan pribadi. Suryo kemudian menuyuruh pembantunya (Rejo) untuk melaporkan hal ini kepada Pak Lurah agar dia bisa mendapatkan bantuan penyelesaian permasalahannya, juga Laras bisa diketemukan kembali. Peristiwa ini kemudian menjadi dasar dari konflik-konflik yang terjadi dan menjadi premis (proposisi) dari alur cerita. Suryo kemudian menuduh Lasmini (mantan istrinya), Asri (mantan pacarnya), dan juga Juminto (saingannya dalam merebut hati Juminten, istrinya yang sekarang) berdasarkan isu dan perkataan orang lain, bukan berdasarkan fakta yang ada. Akhir cerita, ternyata Laras dijual oleh Juminten karena dia merasa Suryo sudah tidak bisa memelihara Laras dengan baik. Suryo akhirnya merasa menyesal telah menuduh orang-orang tersebut. Dan cerita diakhiri dengan mengambang, tidak diceritakan ending dari sikap Suryo kepada Juminten karena telah menjual Laras, burungnya.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya dalam pementasan ini, yaitu: 1. Tata panggung yang cukup menarik dengan setting yang sederhana tetapi benar-benar mencerminkan sebuah rumah seorang yang cukup kaya di desa. Hal ini menarik karena tentu saja setting panggung ini dibuat berdasarkan realitas yang ada di kehidupan nyata. 2. Properti yang digunakan tidak terlalu berbelit dan sudah umum ada di kehidupan nyata. Hal ini tentu saja memudahkan para aktor dan juga team properti dalam menyediakan properti dan mengeksplor penggunaannya di atas panggung. 3. Tata lampu yang menggunakan konsep stagnan tetapi dengan penataan warna yang tepat, menyebabkan suasana adegan demi adegan menjadi menarik. Sangat jarang ditemui tata lampu yang dibuat stagnan di sebuah pementasan yang digarap oleh teman-teman UKM di kampus. Saya merasa sutradara benar-benar memperhatikan tata lampu, dan memilih bermain aman dengan menata warna lampu dibanding menggunakan lampu secara manual menyesuaikan adegan yang ada di atas panggung. 4. Keaktoran yang cukup matang. Hal ini sangat nampak ketika aktor Juminto melakukan kesalahan mengucapkan dialog di babak akhir, dia langsung bisa merespon kesalahannya dan melakukan improvisasi sehingga penonton tidak begitu menyadari kesalahan pengucapan dialog tersebut, tetapi menyangka bahwa kesalahan tersebut sebagai bagian acting untuk menghidupkan suasana di atas panggung. Namun begitu, saya juga menemukan beberapa hal yang agak mengganjal dalam pementasan kali ini. Hal-hal detil yang mungkin luput dari perhatian sutradara maupun team produksi lainnya. 1. Vocal aktor. Ada beberapa dialog yang tidak terdengar sampai ke deretan belakang penonton, karena volume vocal aktor terlalu lemah. Hal ini menyebabkan beberapa dialog harus diraba dan diperkirakan sendiri oleh para penonton. Selain itu, kecepatan melafalkan dialog juga di beberapa dialog banyak yang terlalu cepat. Memang di kehidupan nyata, sangat sering kita mengucapkan sesuatu dengan sangat cepat karena emosi yang sedang meluap-luap, tetapi hal ini harusnya bisa diperhatikan oleh Sutradara maupun aktor bahwa keadaan di atas pentas tidak sama dengan kondisi di kehidupan nyata. Vocal seorang aktor harus memenuhi dua hal, yaitu: 1). Suara terdengar jelas sampai pada penonton paling belakang; 2). Makna huruf, kata, dan kalimat ketika diucapkan oleh aktor dengan pendengar tidak berubah dikarenakan pelafalan dan kekuatan volume suara aktor tidak terpecah ketika mengucapkan dialog. Vocal seorang aktor seharusnya seperti kita melemparkan batu, sejak dilepaskan dari tangan, batu tersebut sampai dengan utuh di tempat tujuannya. Bukan seperti orang melempar pasir atau tanah yang dikepal, sejak dilepas dari tangan mungkin dia masih utuh, tetapi di tengah perjalanannya menjadi tercerai berai. 2. Keberfungsian setting panggung, di mana ada hiasan taman dengan air mancur. Jika memang taman dan air mancur adalah sesuatu yang memang benar-benar ‘urgen’, maka taman dan air mancur bisa dibuat dan diletakkan sesuai kebutuhan panggung dan adegan dalam naskah. Tetapi jika memang tidak begitu penting, alangkaha baiknya jika properti tersebut disesuaikan porsi dan kegunaannya di atas panggung. 3. Pada beberapa dialog, suara air mancur malah terdengar lebih jelas dibandingkan dengan vocal aktor. Hal tentu saja mengganggu kenikmatan penonton dalam menikmati sajian pementasan. 4. Komposisi pemain di atas panggung. Hal ini terkadang terjadi tanpa disadari oleh aktor, maupun sutradara karena suasana di atas panggung sedang mengalami puncak emosi (klimaks) sehingga para aktor ‘kurang’ sadar dengan panggung. Maksudnya ‘sadar panggung’ adalah para aktor menyadari bahwa panggung itu cukup lebar, dan semua aktor tidak boleh berada di satu titik saja di atas panggung, tetapi harus memberikan isi agar mampu memberikan ruang yang cukup bagi terjadinya adegan demi adegan.
Beberapa hal di atas adalah hal-hal yang memang harus diperhatikan oleh seluruh komponen pementasan yang terlibat dalam produksi pementasan. Selain sebagai sebuah catatan, hal-hal tersebut di atas sekaligus bisa dijadikan bahan evaluasi dan pembelajaran untuk produksi selanjutnya.
Secara utuh, pementasan Laras II sangat menarik untuk dinikmati sebagai sebuah pertunjukan, sebagai sebuah tontonan di tengah begitu maraknya pementasan yang mengedepankan simbol (surealis dan absurd) di lingkungan teater kampus.
Salam seni dan budaya

Jember, 10 Juni 2016 23.45 wib

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook