NASKAH MONOLOG (III)

19.46.00

SEDERHANA
by: HABIB ‘WADER’ FIRDAUS


TEMA:
Bahwa cinta itu sederhana dan tulus. Cukup memberi dan kontinu.

LAKON:
Tres        : Laki-laki, suka bercanda, sedikit pemalu, terkadang dia begitu menggebu dan cuek,
suka menyendiri dan melamun. Membaca buku komik dan novel. Tres sebenarnya cerdas tapi malas dan terkesan urakan.
Galuh     : Perempuan imaji (citraan-citraan perempuan yang pernah disukai Tres)
Lin         : Perempuan yang jadi teman hidup Tres

Sama seperti lelaki lain, Tres juga pernah menyukai perempuan, tapi kali ini sahabatnya sendiri. Namun Tres selalu ragu untuk mengungkap perasaannya. Sampai Galuh menjadi kekasih lelaki lain Tres masih saja mencintai Galuh. Sebenarnya Tres sakit hati tapi Tres selalu menyembunyikan perasaan itu dari Galuh. Menahan beban sendirian memanglah menyakitkan. Namun Tres masih bersahabat dan selalu memperhatikan Galuh. Ketika Tres mempunyai pacar baru Galuh tak pernah datang lagi. Dia pergi, tapi Tres tetap mencintainya. Selamanya.


Galuh, sering ku katakan padamu perempuan itu harus mandiri, pintar masak, dan pintar dandan. Kemana pun kau harus cantik dan rapi. Memang sih, ketika lahir kita tidak membawa apa-apa di tubuh kita. Kita dilahirkan dengan telanjang, tangan yang mengepal, dan rambut yang jarang-jarang. Kau pun begitu. Kau dilahirkan dengan suci tanpa ada embel-embel made bapak dan ibumu.

Tentu saja kau tak ingat. Begitu juga aku. Tapi paling tidak kita sama, sama-sama manusia. Kita pasti lahir telanjang. Tak mungkin kan ketika kau lahir langsung mengenakan bh, legging, spandek atau pun hijab? Apalagi memakai tusuk konde. Ah jangan menghayal!

Tapi jangan hanya fokus pada penampilan fisik saja. Penampilan rupa bagaikan perumpamaan. Terkadang kau salah menafsirkan. Kau harus tahu kecantikan wanita secara utuh dan menyeluruh. Kau harus mengalami dan kemudian mengerti. Baru kau akan berarti. Dari situlah kau akan melihat tanpa harus berlogika, tanpa harus berkata. Mungkin saat itu terjadi, kau sudah setara dewi khayangan. Tapi, di atas langit masih ada langit dan di lautan masih ada perahu-perahu yang berlayar melanjutkan perjalanan untuk bertemu dengan tanya.

Ingat Galuh, kita ini manusia. Kita harus tahu mana yang asli dan mana yang semu. Keinginan-keinginan semu, pemikiran semu, perkataan-perkataan semu, idealisme yang semu, dan kemerdekaan yang semu. Apalagi di jaman sekarang. Aku rasa kebebasan sudah menyalahi batas. Apa katamu? Bebas itu karena ada batas, bukan seenaknya. Bukan karena kau berfikir lalu kau merasa ada dan bergumam “TERSERAHLAH! AKU TAK PEDULI!”. Bukan karena engkau bisa berfikir lalu kau berkumandang “AKU HARDIK DUNIA!”
Tidak Galuh! Tidak seperti itu. Itu namanya persangkaan. Itu hanyalah jalan lewat. Itulah jalan pedang. Jalan penuh jebakan dan menyakitkan. Sesekali kau memang harus merasakan sakit agar kau tahu manisnya sebuah perjuangan.

Ah, aku jadi ingat! Ketika kau tiba-tiba datang dan menangis. Ada apa? Kenapa kau menangis? Kau kehilangan uang? Kau dimusuhi teman-temanmu lagi? Kau sedang difitnah? Atau kau diejek karena kau dekat denganku? Galuh?

Entah apa yang membuatmu bisu. Aku jadi khawatir. Lalu aku pegang tanganmu. Seketika itu aku merasakan seperti kondisi trance. Aku tak sedang berfikir. Aku tak sedang melamun. Matamu merah seperti darah. Aku seperti melihat sayatan perih. Luka yang amat dalam dan dramatis. Ini bukan luka tubuh. Ini bukan luka fikir. Ini bukan luka biasa. Ini absurd. Ah, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Kau menggigil, mengencangkan otot-otot tubuhmu. Nafasmu tak beratuan. Dan (terengah), tentu aku tak tega melihatmu sepeti itu.

Lalu dengan ekspresi orang bijak aku berkata padamu: Galuh, lihatlah burung-burung itu mereka terbang tanpa sangkar. Tentu burung terbang tak mungkin membawa sangkar. Tapi jika kau bisa mengerti maksud dari sepasang burung yang terbang. Kau akan tahu yang sedang kubicarakan ini. Bahkan lebih dari itu. Tentang kebebasan dan kehormatan. Tentang budi pekerti luhur yang anggun. Tentang kemerdekaan hati. Tentang dirimu sendiri. Dan yang paling penting tentang cinta yang ada di dalam jiwa.

Galuh, kita ini berbeda! Aku laki-laki dan kau perempuan. Kita bisa saja menjadi sepasang kekasih. Menjalani kisah cinta seperti merpati terbang tinggi. Mengitari pohon beringin di taman kota, memacu adrenalin dengan adu balap dengan pesawat. Atau bila di ijinkan kita bisa masuk taman surga di atas sana. Sungguh indah. Tapi mengapa kau masih tetap menjadi sahabatku?

Tidak aku tak pernah mengatakannya padamu. Aku hanya menulisnya di buku catatan dari halaman paling belakang. Hingga buku itu penuh. Di situlah kau bisa menemui isi rindu yang kusimpan padamu. Tulisan-tulisanku yang pernah kau tanyakan, “Ini untuk siapa?”
Dan aku jawab, “Ini untuk Lin”. “Lin itu siapa?” “Lin itu mobil kuning yang biasa membawa penumpang”. Tiba-tiba kau tersenyum kecut, memalingkan muka, kemudian pergi.

Aku tahu sebenarnya kau juga menyukaiku. Aku merasakan ada greget dan kejengkelan pada sikapmu. Kau mungkin marah. Aku paham. Tapi bagaimana lagi aku selalu tak bisa. Lidahku mungkin sudah kaku untuk mengatakan kata cinta. Kau kira aku tak tahu bahwa selama ini kau menungguku untuk merayumu? Aku tahu Galuh! Aku tahu! Tapi, kau harus mengerti bahwa ada bahasa yang paling bijak dalam mengungkap cinta, yaitu pandangan mata.

Ya aku sudah katakan padamu lewat pandangan mataku. Dan kau pun mengerti maksud tersirat. Tapi sepertinya mataku pun tak cukup untukmu. Kau butuh yang lebih. Baiklah kau boleh ambil semua dariku, waktuku, tubuhku, bahkan hidupku sekali pun. Tapi sangat sulit bagiku untuk mengatakannya dengan lugas padamu.

Lebih mudah mengatakan hal-hal yang bernuansa sejarah, politik, idealisme, kebangsaan hingga korban-korban  birokrasi dan kecacatan kebijakan atasan. Tapi tidak untuk soal cinta! Tak ada jawaban pilihan ganda atau pun essay. Yang ku butuhkan adalah keberanian. Ya, keberanian untuk mengatakan “GALUH, AKU MENCINTAIMU…”

Ah, mungkin sudah menjadi kesepakatan umum kalau wanita selalu butuh bukti. Bukan untuk sekedar harga keyakinan tapi wanita ingin ia mencintai lelaki yang tepat. Yang mau bertanggung jawab dan menjadi suaminya kelak. Ya kalau itu aku sih sudah paham. Tapi bukti tak harus lewat kata kan?

Aku tahu harapan-harapan yang kau wiridkan dari dua bola matamu. Dan jenuh yang mulai menang dari hal menungguku. Kecemasan yang mulai meloncat naik karena takut kehilanganku. Kau pikir aku tidak? Aku pun begitu. Aku akan tak menentu jika kau pergi jauh. Aku tak tahu harus kubagi pada siapa cerita hari, suka duka. Aku tak tahu apakah aku akan tenang setenang duduk bersamamu. Ya seperti ini. Sekarang apakah kau merasa bahwa sebenarnya kau itu berharga tanpa harus orang di sebelahmu ini mengatakannya langsung?

Tidak Galuh, kau itu manusia. Kau memang punya telinga. Tapi tak hanya telinga yang kau punyai. Kau punya mata, bibir, kulit, rambut dan komposisi keindahan dalam dirimu. Jangan kau ragukan itu. Kau anak manusia Galuh. Kau itu segalanya. Kenapa selalu kau paksakan kata untuk cinta? Toh tidak mungkin kau bercinta dengan kata. Anak manusia harus mencintai anak manusia. Sadarlah kata itu sampah. Hanya kulit Galuh.

Baik jika kau inginkan aku mengatakannya. Aku akan mengatakannya tapi tidak padamu Galuh. Jika padamu aku tak mampu. Aku akan mengatakan pada Lin. Bahwa aku mencintainya. Bahwa aku akan hidup dengannya.

Lin, tahukah engkau setelah aku mengatakan cinta kepadamu aku tak pernah lagi melihat wajah Galuh di sampingku. Mungkin ia sudah menjadi bayang-bayang masa lalu. Pun terkadang aku merasa aneh pada Galuh. Aku merasakan dia tak pernah ada. Mungkin karena luka yang menutupi keberadaannya.

Lin, sekarang aku mengerti tentang maksud Galuh untuk mengatakannya. Ya walau kutahu bahwa kata itu sampah. Tapi terkadang sampah menjadi pencerah. Aku sekarang benar-benar tahu maksud Galuh. Sama seperti yang kau rasakan saat ini.

Galuh mengatakan aku tak sendirian. Bahkan jika dunia menyebabkan aku sakit. Saat aku kesepian atau sedih Galuh akan memelukku. Galuh akan mendengarkan kata-kataku. Meskipun Galuh selalu tanpa kata. Dia akan berada di sini. Galuh akan menemani air mataku. Tapi sekarang dia tak lagi di sini. Perlu kau tahu Lin. Aku mencintai Galuh. Seperti aku mencintaimu. Jangan kau bandingkan antara dua cinta. Sebab cinta tak mengenal takaran. Sebab cinta itu sederhana.


END


Jember, 6 Juni 2015
hampir Subuh

karena cinta tak mengenal pilihan ganda
atau jawaban uraian
sebab cinta tak mengenal takaran
sebab cinta

sederhana

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook