NASKAH TEATER (IV)

12.51.00

JUNGKIR BALIK
Rahman El Hakim


Prolog:

ِبسْمِ الله الرَّ حْمن ِالرَّ حِيْمِ

وَلاَ تَمَْشِ فِى اْلاَرْضِِِ مَرَحًا اِنَّكَ لَنْ تَخِْرقَ اْلاَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ اْلجِبَالَ طُوْلاً
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak sampai setinggi gunung”
(Q.S. Al - Israa : 37)


Aktor I :
Angin kembara …
Adakah serunai musim ‘kan terus berdendang?
Adakah kelepak sayap-sayap pipit masih terus berayun
Di batang-batang padi?
Terdiam …
Renungku terpasung mimpi-mimpi ilalang

Aktor II :
Ha ……. Ha …. Ha ….. siapakah kau yang begitu pedih menangisi angan-angan! Ha … ha … ha …
Cukup air mata      
memandikan kesunyian ini
bukan mendung yang bercerita tentang hujan
juga iramanya yang bertetes luka

Aktor I :
Apakah manusia tidak ingin mengambil hikmah dari burung-burung?
Apakah manusia tidak mau berguru pada makhluq lainnya?
Pada siapakah seharusnya kita berkaca?
Bukankah tiap detik tiap menit dosa-dosa terus bertambah?

Aktor III :
Aku terbang di antara gerimis
Melintasi jenuh bosanku
Butir-butir air menyerpih dalam pangkuan acuhku
Dan bayangmu pucat di batas khayalku
Kenapakah hati harus di iris perih
Duhai …… Indonesiaku ………..
Sajakku berkabung di tengah udara

Aktor II
Ha ...... ha ……... ha …….
Saat kata kehilangan fitrahnya
Kala  kalimat menghablur dalam maya
Kemana huruf  harus bersandar?
Kemana bait-bait sajak doa akan dikiblatkan?
Ha … ha … ha …

Aktor III :
Sepi bertabur air mata
Sunyi di ikat duka nestapa
Lirih terdengar luka-luka mayapada
Rintihan menghiba para Pengelana ………
Di puncak Mahameru terukir do’a-do’a
Di tengah hening rimba Arjuna terpahat dzikir rahasia
Di damai sabana Argopuro berkumandang wirid Semesta

Aktor I :
Hidup …….
Sebenarnya apakah sejatinya ?????
Bagaimanakah bertemu HIDUP ???????
Lapar inikah?
Haus inikah ?
Dengan secuil harap luruh dalam tetes-tetes air mata …….

Aktor II :
Ha … ha …. ha … bukankah manusia di berikan hak sepenuhnya memanfaatkan bumi, alam semesta seisinya? Apakah kau iri padaku yang punya kekuatan menentang badai, menggenggam belantara, meremuk redamkan laut dan langit? Ha ……… ha …….. ha ………


Aktor I :
Sakitkah bila tawa tak lagi punya suara?
Perihkah bila tangis telaga tak lagi punya air mata?
Pedihkah saat kata terikat ruksa?
Mengapa jendela itu di paksa berwarna?
Sedang udara terdiam dalam puja!
Mengapa helai-helai estetika di peluk rengsa?
Sedang Jingga lafadzkan semerbak Makna!

Aktor II :
Phuah ………. !!!!!
Tidak kau dengarkah jerit tangis mereka! Tidak kau dengarkah tangis bisu korban-korban itu! Bukan kata-kata ! Bukan kalimat yang dibutuhkan dada-dada tipis papan kerempeng itu! Bukan kepasrahan! Bukan kepengecutan saling menyalahkan! Dengar … dengar …. Dengarkanlah dengan tegak!!!!

Aktor I :
Bukankah kau yang telah jungkir balikkan hijau rimba belantara itu? Bukankah kau yang telah porak-porandakan hamparan sabana zamrud khatulistiwa … Mengapa sembunyi di balik bencana?!!! Mengapa sembunyi di balik mayat-mayat yang membusuk itu? Kenapa ….. ? Kenapa …… ? Kenapa ……… ?


Aktor III :
Duduk di tempat yang datar bersama seluruh Semesta
Sebenarnya siapakah makhluq yang diberi nama Manusia?
Seonggok daging dan tulangkah?
Tumpukan sel dan darahkah?
Ataukah hanya timbunan sampah belaka?
Air mataku mengerut dalam badai peradaban
Air mataku memuai di tengah rimba kebudayaan …


Aktor II :
Argh …….. aaarrrrgggghhhhh ………. Dalam tiap batang kayu yang ku tebang telah pula ku bagi nimati bersama-sama! Setiap hektar rimba yang musnah telah pula kusedekahkan pada wajah-wajah berdasi itu kenikmatan duniawi!
Haruskah aku yang dipersalahkan saat banjir banding datang? Haruskah aku yang dipersalahkan saat longsor menerjang? Lalu dimanakah keadilan dan kebijaksaan bertahta? Bangsat ….. bangsatlah ……… kalian semua ………..




Epilog :

“AMENANGI JAMAN EDAN
SWUHAYA ING PAMBUDI
MELU EDAN NORA TAHAN
YEN TAN MELU ANGLAKONI
BOYA KEDUMAN MELIK
KALIREN WEKASANIPUN
DILALAH KERSA ALLAH
BEGJA-BEGJA WONG KANG LALI
LUWIH BEGJA WONG KANG ELING LAN WAN WASPODO”
(Syair R. M. Ng. Ronggo Warsito; 1802 – 1873 M; “SERAT KALATIDHA”)







Bondowoso, 9 Oktober 2009
10. 24 WIB
renungan panjang jungkir baliknya jiwaku

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook