SISA PERAYAAN
19.55.00
Malam ini menikmati keramaian yang tiba-tiba saja mengusik ketenangan kota kecilku, Bondowoso yang di dalam peta Indonesia hampir bahkan tidak tercantum dengan jelas. Keheningan yang biasanya menjadi teman dalam melewati malam, tiba-tiba saja berganti dengan hingar bingar sound system yang bergemuruh dari alun-alun. Konser Wali band dan penyanyi dangdut (semoga tidak salah tulis) Zaskia Gotik.
Alu-alun yang biasanya ramai pada malam minggu saja, dijejali ribuan manusia yang berasala dari seluruh penjuru Bondowoso. Ibu-ibu, nenek-nenek, apalagi remajanya, jangan ditanya, mereka sudah berada dibarisan paling depan sekali. Anak-anak kecil mulai bayi sampai yang baru masuk sekolah PAUD pun dengan terpaksa mengikuti "ritual" tidak lumrah tersebut. Sambil terkantuk-kantuk mereka bergandengan dengan ayah ibunya pun juga setengah terlelap dalam gendongan orang tuanya.
Aku yang tanpa sadar juga terinfeksi fenomena itu, duduk-duduk di lesehan dekat penjual kacang rebus. Bercengkrama bersama Dian Wahyu, teman lama dan juga Mas Fahmi si penjual kacang rebus. Tak ada obrolan berarti yang terjadi. Mata kami jelalatan menikmati orang-orang yang hilir mudik. Sebuah fenomena menarik menurutku menkmati manusia ketika berjalan. Gaya jalannya, pandangan matanya, sikapnya ketika berjalan, serta raut wajahnya. Ada berbagai macam ekspresi yang tersajikan dari wajah-wajah itu.
"Berapa ya kira-kira dana yang dihabiskan untuk mengadakan acara ini?"
Tiba-tiba saja mulutku melontarkan ocehan sekenanya. Dian dan Mas Fahmi hanya terdiam, kaget sepertinya mendengar pertanyaannku.
"Bulan kemarin saya mengadakan acara reuni akbar dengan mendatangkan bintang tamu dari Jakarta habis sekitar 140 juta, Ustad."
Dian yang menyahuti pertanyaanku. Aku hanya terdiam membayangkan nominal yang disebutkan Dian.
"Kenapa, Nom?"
Mas Fahmi bertanya sambil menyelidiki raut wajahku. Rasa penasaran jelas terpancar dari pandangan matanya yang lekat menatapku.
"Tidak apa-apa," sahutku sambil menolehkan pandang pada seberang jalan.
Dian dan Mas Fahmi mengikuti pandangan mataku. Dan mereka mengerti (mungkin sekedar menduga) arah dari pertanyaanku.
Di seberang jalan tempat kami ngobrol, dua orang tukang becak separuh baya terduduk di atas becaknya. Ada pendar harapan untuk mendapatkan cipratan rejeki dari keramaian ini. Berharap satu dua orang penumpang menghampiri mereka dan naik becak mereka. Tapi tak satupun manusia mendatangi mereka. Hanya sunyi disela-sela dengung raungan sound system dan bunyi knalpot sepeda motor yang menggerayangi becak-becak mereka.
"Bondowoso... kemana sebenarnya kau akan melangkah? Apakah sekedar membangun image tentang pesatnya pembangunan yang serupa bayang-bayang lampu mercuri itu? Ataukah kau memang telah tidak peduli dengan segala keprihatinan yang dibangun para pendirimu yang dahulu? Ataukah kau memang sengaja dimatikan, sengaja dipensiunkan, sengaja dihunjamkan ke dalam lembah kemelaratan agar semua kekayaan alammu bisa dinikmati beberapa gelintir orang saja?" desahku.
Tidak ada jawaban. Semuanya diam dengan alam pikiran masing-masing. Aku semakin merasa terasing dari keramaian ini. Entah aku yang terlalu kolot tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. Ataukah memang jaman yang telah sengaja membenamkan aku pada kesunyian.
"Dian, mari kita pulang," pintaku pada Dian Wahyu.
Tanpa meminta persetujuannya aku langsung bergegas meninggalkan alun-alun diiringi dengan pertanyaan yang semakin merayap dalam kepalaku.
"Bondowoso... kemana sebenarnya kau akan melangkah?"
Bondowoso, 13 Februari 2014
01. 59 wib
setelah keramaian yang membuatku sepi
0 komentar