MENGUPAS SAJAK-SAJAK RAHMAN EL HAKIM DALAM ANTOLOGI PENGAKUAN
06.12.00
MENGUPAS SAJAK-SAJAK RAHMAN EL HAKIM
DALAM ANTOLOGI PENGAKUAN
Catatan Terminal
Sastra #27
Oleh: Noorman
Panji
Memahami
sajak puisi adalah memahami keegoisan yang besarnya bisa seluas semesta pikiran
perempuan yang sedang menstruasi. Ia menuntut dipahami, tapi dengan cara yang
rumit berputar-putar. Keringkasan dalam seni berkomunikasinya justru adalah
semacam quasar kecil yang berusaha
mengendalikan seluruh isi galaksi. Seperti halnya quasar pula, puisi juga biasa dijelaskan oleh dua perkara:
kemampatan dan kepadatan yang mana keduanya menentukan seberapa besar daya
tarik yang dimiliki untuk mengendalikan benda-benda langit lainnya. Tapi,
bagaimanapun, di setiap galaksi selalu saja ada benda-benda yang ‘lebih egois’ lantas melawan arah orbital
dan menerjemahkan sendiri keinginan quasarnya. Benda-benda sendiri itu, bisa
jadi, di antaranya adalah anda dan penulis sendiri yang kadang-kadang—entah
dalam keadaan sadar atau tidak—menerjemahkan puisi karya orang lain atau
keinginan hakiki dari seorang perempuan yang sedang mens secara semena-mena dan membuat mereka senewen sendiri. Dalam
bahasa, peristiwa semena-mena itu biasa disebut sebagai subyektifitas.
Penulis,
dengan segala keterbatasannya, menyadari bahwa puisi bukanlah sesuatu yang bisa
dijangkau oleh ilmu pasti hingga bisa dinilai dengan skala tertentu. Dan bahkan
jika ada sebuah penggaris yang mampu mengukur nilai-nilai yang terkandung dalam
puisi, penggaris itu pun pasti masih bisa kena
tuduh sudah berlaku subyektif. Oleh sebab itulah sudah selayaknya sedari awal
penulis perlu memohon maaf apabila ke depannya dalam mengupas sajak-sajak
Pengakuan dari saudara Rahman El Hakim ini, meski telah berusaha untuk
seobyektif mungkin, tidak menutup kemungkinan penulis menggunakan
takaran-takaran yang bisa jadi terdengar semena-mena dan egois bagi sang
penyair maupun bagi beberapa pembacanya. Maafkanlah.
Sistematika
Puisi-puisi
dalam Pengakuan ditulis dan disusun dengan sistem kala yang nyaris periodik dan
memungkinkan bagi pembacanya untuk menebak bahwa ia sebenarnya merupakan
catatan harian pribadi—sebuah diary yang dicatat secara puitik hingga
melahirkan sajak-sajak penuh metafora. Puisi pertama ditulis tanggal 28 Januari
2012 dengan judul yang bernuansa interogatif: “Bagaimana”. Setelah itu
puisi-puisi yang lain dimasukkan secara berurutan sesuai dengan tanggal
penciptaan. Jika pencatatan Al Qur’an
(yang juga oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kitab sastrawi) ditulis
dengan sistematika yang sama seperti buku ini, maka ayat pertama yang ditulis
adalah “iqra’ bismikalladzi khalaq!”,
yang merupakan wahyu pertama, dan bukan “bismillahirrahmaanirraahim”.
Sistematikanya yang seperti itu tak lain dimaksudkan agar kitab tersebut mudah
dipetakan sehingga mudah pula untuk ditafsirkan visi dan misinya. Karena itulah
ketika membaca antologi Pengakuan akan terasa seperti membaca buku harian
penciptanya. Mas Rahman boleh jadi menulis apa saja yang secara aktual ia
rasakan dalam bait-bait puitik dan lalu membukukannya tanpa menyisipkan visi
dan misi politis. Bagusnya bagi pembaca adalah, ketika menikmati sajak-sajak
tersebut mereka tidak perlu khawatir dikuasai oleh doktrin-doktrin.
Budi
Darma menulis sebuah kolom untuk harian Kompas pada tanggal 18 September 2000
dan menjelaskan bahwa sastra tidak bisa lepas dari agenda Kekuasaan, oleh
karenanya ia merupakan kias jaman. Berkaitan dengan hal itu, sering terjadi
pencekalan terhadap karya sastra. Bahkan ada cekal yang kadang tidak masuk akal
karena ketakutan para pemegang status quo. Nah, dalam perkara ini penulis
memberanikan diri untuk menyatakan bahwa baik Mas Rahman maupun peminat bukunya
tidak perlu khawatir kelak dipaksa keluar “Mekah” (rumah) dan pindah ke
“Madinah” (pengasingan) oleh sebab puisi-puisi yang mereka bacakan tidak
menampakkan ancaman terhadap status quo. Tidak perlu sampai seperti Wiji Tukul
atau Cak Durasim, atau bahkan seperti Muhammad putra Abdullah dan pengikutnya
di awal-awal masa kenabian. Meski dengan begitu ia kehilangan kesempatan untuk
menjadi besar dan mendapatkan hadiah nobel sastra.
Dua Masa
Puisi-puisi
saudara Rahman adalah puisi-puisi roman dan bukan perjuangan melawan kekuasaan
tertentu. Beliau membuat dikotomi, defenisi, dan interogasi tanpa merusak
hierarki sosial yang sudah ada. Sebab itulah ia tidak perlu membuat sistematika
yang njlimet dan hanya perlu menata
sajak-sajak berdasarkan tanggal penciptaannya seolah-olah sedang menulis
otobiografi dirinya.
Lebih
dari itu, sistem penanggalan dalam puisi bisa membantu kita mereka-reka dalam
suasana apa puisi itu dibuat. Orang-orang Eropa, misalnya, kebanyakan menulis
puisi romannya berdasarkan kondisi cuaca dalam iklim empat musimnya: Panas,
Gugur, Salju, dan Semi. Mereka tidak segan menggambarkan hujan awal musim semi
untuk mengasosiasikannya dalam suasana damai dan menenangkan; musim panas yang
berasosiasi dengan keceriaan dan semangat liburan; musim gugur yang identik
dengan keindahan dan perubahan warna kehidupan; dan musim dingin yang biasa
dikaitkan dengan keheningan dan sepi. Dan Mas Rahman, sesuai dengan habitatnya,
membangun kata-katanya dengan suasana yang sangat mungkin dipengaruhi oleh dua
cuaca: hujan dan kemarau. Karena itulah pembaca tidak akan kesulitan menemukan
tema hujan, angin, dan kemarau dalam puisi-puisi Pengakuan.
Di
luar cuaca, meski tidak dipetakan secara sistematis, dalam naskah buku ini,
penulis menemukan sekurang-kurangnya ada pembagian 2 (dua) periode penting yang
sangat mempengaruhi kebatinan penyairnya. Bujang dan menikah, seolah-olah buku
ini ditulis sebagai sebuah catatan perjalanan Mas Rahman sebelum dan sesudah
menuju bahtera rumah tangganya berikut hiruk pikuknya yang ia rangkaikan pada
puisi berseri dengan judul “Kepada
Seseorang Yang Kupanggil Nduk”. Dalam tahap itu, puisi-puisi roman Mas
Rahman pelan-pelan bermetamorfosis menjadi prosa yang sedikit lebih panjang.
Seperti ia sedang ingin mengkonkritkan apa-apa yang dulu suka ia tulis degan
gaya bahasa yang mengabur dan implisit.
Kesimpulan
Secara
garis besar, penulis menyimpulkan bahwa puisi-puisi dalam buku Pengakuan ini
adalah puisi-puisi perjalanan hidup yang meskipun sebenarnya didasari oleh
pengalaman personal, mereka bersifat universal karena ditulis dengan bahasa
majasi. Misalnya saja ketika Mas Rahman mengalami jatuh cinta, dengan puisinya,
ia berhasil meyakinkan orang lain untuk merasa bahwa setiap orang yang jatuh
cinta harusnya memiliki pengalaman dan menulis puisi seperti yang ia tulis.
Begitupun ketika ia mengangkat kegelisahan, orang-orang yang membaca puisiya
akan terseret untuk ikut-ikutan gelisah pada sesuatu yang selama ini tidak
mereka perhatikan. Selain permainan rima dan pilihan kata-kata yang membuat
kita jadi tertarik membuka lagi Kamus Besar Bahasa Indonesia, sifat kesemestaan
inilah yang menjadi kekuatan inti dari sajak-sajak Pengakuan Rahman El Hakim.
Lagi-lagi, ia seperti perempuan cantik yang sedang mens: sukar, tapi memiliki gravitasi besar hingga selalu menarik
untuk dipahami.
Salam.
0 komentar