PERJALANAN MENUJU SEMESTA
04.49.00
PERJALANAN
MENUJU SEMESTA
Catatan Buku Antologi Puisi Khotbah Renungan Tak Utuh Jarak dan Jagung
karya Muhammad Lefand
oleh: Rahman El Hakim
Memahami sajak puisi Muhammad Lefand yang terkumpul
dalam buku antologi “KHOTBAH RENUNGAN TAK UTUH JARAK DAN JAGUNG” serupa dengan
memahami keegoisan yang besarnya yang seluas semesta pikiran perempuan yang
sedang menstruasi. Kenapa? Seorang perempuan yang sedang menstruasi secara
psikologis menuntut dipahami, tapi dengan cara yang rumit berputar-putar.
Sajak-sajak pada buku antologi ini betapa tidak
pernah selesai dimaknai walau sudah dibaca berkali-kali. Ada dua sisi yang
saling bertarung secara seimbang, terang-gelap, yang berusaha saling menguasai,
saling mendominasi, dan memberikan warna dalam benak pembaca ketika membaca
sajak-sajak dalam antologi ini.
Budi Darma menulis sebuah kolom untuk harian Kompas
pada tanggal 18 September 2000 dan menjelaskan bahwa sastra tidak bisa lepas
dari agenda Kekuasaan, oleh karenanya ia merupakan kias jaman. Berkaitan dengan
hal itu, sering terjadi pencekalan terhadap karya sastra. Bahkan ada cekal yang
kadang tidak masuk akal karena ketakutan para pemegang status quo.
Pada fase menstruasi, seorang perempuan bisa sangat
meledak-ledak, kritis, dan luar biasa peka dengan sekeliling, sehingga
sekeliling—saudara, teman, suami, pacar—akan menjadi sasaran dari
perasan-perasaan tersebut. Begitu juga beberapa sajak Muhammad Lefand yang
menunjukkan kekritisannya terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di
sekelilingnya—masyarakat.
Ke kritisan dan kepekaan ini menjadikan beberapa
sajak dalam buku ini terkesan liar, nakal, dan berani untuk menegur, bahkan
melakukan perlawanan serta pemberontakan terhadap ‘kekuasaan’ yang dianggapnya
menjadi sumber dan penyebab keterpurukan yang terjadi di dalam
masyarakat—Indonesia.
Di
sisi lain, ada pandangan dan pemikiran yang menyatakan puisi adalah penamsilan
atau simbolisasi dari gagasan-gagasan yang ada dalam jiwa, pikiran, dan
pengalaman batin penyair. Sebab itu, konteks estetika puisi-puisi ciptaan
penyair bisa dikatakan sebangun dengan kehidupan pemikiran dan pandangan hidup
kerokhanian penyairnya.
Muhammad
Lefand, jelas-jelas menunjukkan pandangan hidup kerokhaniannya di (hamper)
semua sajaknya. Cultur budaya Madura yang identik dengan pesantren menjadi ciri
khas tersendiri di dalam sajak-sajaknya. Cerdasnya adalah dia tidak menulis
sajak yang bersifat menggurui atau bahkan berlagak menjadi sosok suci, tetapi
dia menggiring para pembaca untuk benar-benar menghayati apa yang dirasakannya
dengan perenungan dan bersama-sama menemukan keeping-kepingan kesadaran sebagai
bagian dari kehidupan—beragama, bersosial, berbangsa, dan bernegara.
Pada
akhirnya kita akan sampai bahwa sajak-sajak dalam buku antologi ini merupakan
sebuah rekam jejak—fisik dan batin—seorang Muhammad Lefand dengan berbekal
ke-Madura-annya, berbekal kesantriannya, keegoisan, dan ketaqdimannya kepada
kata, sajak itu sendiri menuju semesta, menuju Ia Sang Maha Segala Nama.
Salam
Bondowoso, 17
September 2016
04.45 wib
0 komentar