NASKAH MONOLOG (IV)
03.21.00
KEPADA
PEREMPUANKU
(monolog)
by Rahman Hakim
Perempuanku
Apakah
kau tahu seberapa besar perasaanku padamu? Apakah sampai kepadamu segala desah
yang kuembuskan dalam angin? Dan terasa di kedalaman batinmu tentang
kerinduanku yang tak kunjung benar-benar bisa aku nyatakan?
Serupa
ulat yang ditakdirkan memakan pucuk-pucuk dedaunan di sebuah padang rumput, aku
harus melahap segala apa yang ada di depanku tanpa aku mampu memilih dan
memilahnya. Detik demi detik aku lalui dengan pengembaraan dalam wujud
peniadaan kepada segala. Menantang matahari yang tak pernah ramah, panasnya
selalu dan semakin membakar rapuhku. Mendidihkan seluruh darah dari ujung kaki
sampai ke ubun-ubun. Aku menggelegak tanpa mampu mengelak.
Berdiri
tegar menghadapi dingin dan gelap malam yang terkadang tanpa cahaya apapun.
Jangankan rembulan, lintang bahkan sangat sering dia bersembunyi di balik
kesenyapan. Kesenyapan … iya hanya kesenyapan yang melingkupi pengembaraanku.
Ketika
musim tanpa belas kasihan siramkan hujan dari langit, aku hanya terpekur
sendiri tanpa pegangan. Tiada yang peduli padaku. Ilalang dan semak tempatku
menggelantung, semuanya bertempur, berjuang agar tak koyak, tak roboh, dan
tidak terhempas terhumbalang ke bumi. Semuanya memikirkan nasibnya sendiri.
Perempuanku
Sungguh
aku sangat sering di ombang ambingkan keraguan. Aku ragu pada diriku sendiri.
Ragu pada inderaku sendiri, ragu pada keberadaanku sendiri, pun aku ragu dengan
perasaaanku sendiri.
Lalu
datang kabar dari langit, sudah waktunya ragaku masuk ke gua pertapaanku. Tapi
di mana? Tidak ada petunjuk apapun yang bisa kujadikan pedoman. Apakah aku
harus ngampung sama tikus yang membuat liang dekat batu di tepi sungai? Ataukah
aku pinjam lubang cacing yang pengab itu? Sungguh kebingungan ini mendekapku
tanpa ampun. Kegamangan menarik seluruh daya ciptaku pada titik nadir terendah.
Seperti dilempar ke dalam jurang yang teramat dalam.
Dengan
keberanian yang datangnya dari negeri antah berantah, perlahan aku bangkit dari
ketidakberdayaan. Aku mencari ranting paling tinggi. Merayap perlahan, kemudian
menggelantung, menyelimuti diriku sendiri dengan air liurku sendiri,
memintalnya menjadi benang tipis yang rapuh.
Perempuanku
Sungguh
kesakitan tak pernah memberiku jeda untuk sekedar menghela nafas. Waktu
mendesak dan membuatku seperti binatang buruan. Tak ada kata berhenti dan
istirahat.
Sisa-sisa
kepatuhan dan kepasrahan menuntun diriku menganyam benag-benang itu menjadi
rumah yangbaru dan asing. Sungguh sangat asing dan gelap. Aku terpisah dari
seluruh keindahan dunia luar. Betapa sepinya hidup. Suara-suara hanya terdengar
lirih dan lirih. Gelap perlahan mengurungku dalam wujud nyata yang tiada tara.
Pengasinganku dimulai.
Setelah
sekian lama meringkuk dalam sepi tanpa tepi, tiba-tiba cahaya menyeruak. Gua
pertapaanku robek, pecah! Sinar matahari begitu menyilaukan mataku. Aku
bertanya dalam hati: ada apa lagi? Apakah masih belum cukup pantas segala
kesakitan yang sudah aku jalani? Apakah masih kurang pertapaan dan pengasingan?
Apakah pengorbanan dengan menjalani keping demi keeping kepedihan masih belum
cukup? Semua diam, tiada jawaban yang bisa menerangkan segala duga prasangka
dalam dadaku.
Perempuanku
Begitu
lemah tubuhku setelah beribu detik menyepi, bertapa dalam kesunyian yang
teramat panjang. Masihkah ada yang peduli padaku?
Aku
kerjabkan kedua mataku, mencoba membiasakan pandangan dengan segala hal yang
baru. Ada suara-suara yang mendengung di telingaku, tetapi terlalu samar untuk
bisa aku pahami sepenuhnya. Dan aku temukan sepasang sayap tumbuh di tubuhku.
Ah, aku terpana. Mencoba mengeja siapa sebenarnya aku. Mencoba menebak dan
mencari tahu wujudku yang sebenarnya.
Lantas
angin membelai penciumanku dengan laksaan aroma yang dulu tak pernah bisa aku
tahu macamnya. Sungguh aku ingin menghirup segala wangi itu dan mengalirkannya
ke dalam tubuhku, dan berharap tubuhku mampu menerjemahkannya menjadi energy
kehidupan yang baru.
Perlahan
aku menggerakkan kedua sayapku. Mengepakkannya dengan hati-hati. Belajar
berkompromi dengan angin dan menunggangi angin. Molekul-molekul kegembiraan
berdesakan di seluruh tubuhku.
Perempuanku
Ribuan
warna dan aroma terhampar di hadapanku. Jutaan bunga mekar kelopaknya,
menawarkan seribu kesenangan dalam wujud yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya. Aku terbang menjelajahi padang luas itu. Sekarang semuanya telah
berubah. Semua tumbuhan telah mengeluarkan bunga mereka masing-masing.
Meruarkan berbagai macam aroma yang sungguh sangat menggoda.
Ah,
tidak aku tidak menginginkan mawar itu. Dia terlalu genit dandanannya.
Duri-durinya selalu saja siap sedia melukai siapa saja yang berani
mendekatinya. Kelopaknya pun terlalu rapuh untuk sekedar dipegang.
Aku
juga tidak menginginkan seruni itu. Terlalu angkuh dia berdiri. Semarak
warnanya tak pernah benar-benar sanggup sajikan keindahan. Kelopaknya selalu
saja sediakan jebakan bagi siapa saja yang berani menghisap sari hidupnya.
Kamu…
iya hanya kamu yang aku inginkan. Bunga melati di rerimbunan daun yang
menghijau. Tersembunyi dari jangkauan tangan-tangan nakal cuaca. Kelopakmu
adalah warna kesucian semesta.
Iya
kamu, tempatku memuja Sang Maha Segala.
Menuju
altar nirwana
The End
Bondowoso,
6 September 2014
22.45
wib
karena hidup adalah proses
panjang
menaklukkan diri sendiri
0 komentar