PERJALANAN MENUJU SEMESTA

18.02.00



Catatan Buku Antologi Puisi 
Khotbah Renungan Tak Utuh Jarak dan Jagung
karya Muhammad Lefand

oleh: Rahman El Hakim


Memahami sajak puisi Muhammad Lefand yang terkumpul dalam buku antologi KHOTBAH RENUNGAN TAK UTUH JARAK DAN JAGUNG serupa dengan memahami keegoisan yang besarnya yang seluas semesta pikiran perempuan yang sedang menstruasi. Kenapa? Seorang perempuan yang sedang menstruasi secara psikologis menuntut dipahami, tapi dengan cara yang rumit berputar-putar.

Sajak-sajak pada buku antologi ini betapa tidak pernah selesai dimaknai walau sudah dibaca berkali-kali. Ada dua sisi yang saling bertarung secara seimbang, terang-gelap, yang berusaha saling menguasai, saling mendominasi, dan memberikan warna dalam benak pembaca ketika membaca sajak-sajak dalam antologi ini.

Budi Darma menulis sebuah kolom untuk harian Kompas pada tanggal 18 September 2000, menjelaskan bahwa sastra tidak bisa lepas dari agenda Kekuasaan, oleh karenanya ia merupakan kias jaman. Berkaitan dengan hal itu, sering terjadi pencekalan terhadap karya sastra. Bahkan ada cekal yang kadang tidak masuk akal karena ketakutan para pemegang status quo.

Pada fase menstruasi, seorang perempuan bisa sangat meledak-ledak, kritis, dan luar biasa peka dengan sekeliling, sehingga sekeliling—saudara, teman, suami, pacar—akan menjadi sasaran dari perasan-perasaan tersebut. Begitu juga beberapa sajak Muhammad Lefand yang menunjukkan kekritisannya terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di sekelilingnya—masyarakat.

Ke-kritis-an dan kepekaan ini menjadikan beberapa sajak dalam buku ini terkesan liar, nakal, dan berani untuk menegur, bahkan melakukan perlawanan serta pemberontakan terhadap ‘kekuasaan’ yang dianggapnya menjadi sumber dan penyebab keterpurukan yang terjadi di dalam masyarakat—Indonesia.



Di sisi lain, ada pandangan dan pemikiran yang menyatakan puisi adalah penamsilan atau simbolisasi dari gagasan-gagasan yang ada dalam jiwa, pikiran, dan pengalaman batin penyair. Sebab itu, konteks estetika puisi-puisi ciptaan penyair bisa dikatakan sebangun dengan kehidupan pemikiran dan pandangan hidup kerokhanian penyairnya.

Muhammad Lefand, jelas-jelas menunjukkan pandangan hidup kerokhaniannya di (hamper) semua sajaknya. Cultur budaya Madura yang identik dengan pesantren menjadi ciri khas tersendiri di dalam sajak-sajaknya. Cerdasnya adalah dia tidak menulis sajak yang bersifat menggurui atau bahkan berlagak menjadi sosok suci, tetapi dia menggiring para pembaca untuk benar-benar menghayati apa yang dirasakannya dengan perenungan dan bersama-sama menemukan keeping-kepingan kesadaran sebagai bagian dari kehidupan—beragama, bersosial, berbangsa, dan bernegara.



Pada akhirnya kita akan sampai bahwa sajak-sajak dalam buku antologi ini merupakan sebuah rekam jejak—fisik dan batin—seorang Muhammad Lefand dengan berbekal ke-Madura-annya, berbekal kesantriannya, keegoisan, dan ketaqdimannya kepada kata, sajak itu sendiri menuju semesta, menuju Ia Sang Maha Segala Nama.

Salam

Bondowoso, 17 September 2016
04.45 wib

You Might Also Like

4 komentar

  1. baru kali ini saya dhong alias nyambung dg ulasan sampean yg berkaitan dg sastra hahahaha apa karena analogi periodical syndrom ya hahahaha .. tulisan sebelumnya terasa masih berat di kepala saya u/mengenal sastra beserta kerabatnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. mator sakalangkong...

      saya masih harus banyak belajar menulis sama ajunan

      Hapus
  2. kunjungan perdana mas, main ke blog saya ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah... terima kasih mas sudah berkenan berkunjung

      monggo dishare link blognya

      Hapus

Like us on Facebook