BATIN YANG MENGGERAKKAN TUBUH ATAU TUBUH YANG MENGGERAKKAN BATIN?

12.31.00



CATATAN PEMENTASAN TARI UKM-K DOLANAN
FTP UNEJ 2017



Perhelatan besar UKM-K Dolanan Fakultas Tekhnologi Pertanian Universitas Jember akhirnya dimulai. Acara tahunan yang diberi nama ‘Senyum Dolanan’ sudah memasuki periode 7. Di awali dengan acara pameran seni rupa pada tanggal 13 Desember 2017, pementasan tari pada tanggal 16 Desember 2017, dan akan dipuncaki pentas music pada tanggal 19 Desember 2017.

Kebetulan saya diberikan kesempatan menikmati rangkaian acara tersebut pada hari kedua, yaitu pentas tari. Ada lima penampil dalam acara pentas tari yang dilaksanakan di Gedung Serbaguna PKM Univ. Jember tersebut. Ijinkan saya hanya memfokuskan pada dua penampilan saja.


1.   Godril
Saya berharap ada semacam penawar atau penyeimbang pada penyajian kali ini, tetapi harapan tidak pernah (jarang) yang sesuai dengan kenyataan. Penyajian yang lebih mementingkan kemegaha fisik—costum, make-up, property—tidak diimbangi dengan megahnya sisi batin. 

Kesalahan-kesalahan mendasar berupa: kurang hafal gerak, kekuan gerak, gerak hafalan, sound yang kurang baik—bass terlalu mendominasi—sehingga fokus penonton terpecah antara mendengarkan musik ilustrasi dan gerakan tari menjadikan ‘Godril’ kehilangan ruh utamanya.

Pemahaman tentang konsep pembagian panggung menjadi Sembilan kotak imajiner menjadi sesuatu yang harusnya sudah selesai ketika proses latihan. Penataan komposisi penari juga harus memikirkan luas panggung pementasan.

Ada semacam keragu-raguan yang saya dapati dari para penari laki-laki (Godril ditarikan dengan berpasangan) ketika mereka bergerak. Takut salah, takut tidak sama, dan hal-hal lain yang seharusnya diselesaikan sebelum pementasan, tampak jelas terlihat ketika pementasan. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan di dalam diri saya pribadi sebagai penonton. 
Apakah mereka belum siap untuk pentas tetapi dipaksa dan terpaksa untuk pentas? Apakah mereka belum menyelesaikan hal-hal dasar tari yang seharusnya menjadi bekal utama ketika mereka mau mementaskan sebuah tarian? Ataukah memang kemampuan mereka hanya seperti itu saja? 
Saya belum menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.




2.   Mirror
Seni Gerak Tanpa Vocal (SGTV) yang sebenarnya, bukan sebuah konsep baru, tetapi mengadopsi dari seni tari pada umumnya (bukankah tari memang sebuah seni yang menyampaikan pesan melalui gerak?), dan kemudian diberikan bumbu berupa alur cerita seperti sajian ‘Sendra Tari’ dan ‘Pantomime’.

Menariknya adalah konsep ‘Seni Gerak Tanpa Vocal (SGTV)’ menjadi sebuah identitas bagi UKM-K Dolanan selama beberapa tahun terakhir ini. Konsistensi dan intensitas yang dibangun dalamnya menjadikan SGTV menjadi semacam wadah bagi teman-teman mahasiswa anggota UKM-K Dolanan yang malas berproses di teater dan tari murni tetapi ingin terlibat di dalam sebuah pementasan.

SGTV menjadi sebuah jembatan yang berusaha merangkul dua sisi berbeda yaitu tari dan teater. Hal ini sangat menarik pada tataran ide dan konsep. Keberanian untuk mendobrak pola pikir, pakem standart, dan mengusung tema-tema yang terjadi dan dialami oleh mahasiswa pada umumnya merupakan nilai lebih dari SGTV.

Ada satu babak atau satu plot adegan yang membuat saya fokus dan bertanya kelanjutan adegannya. Keberanian untuk mengeksplorasi seksualitas yang dialami dan terjadi di kalangan mahasiswa. 

Tema ini merupakan tema yang sangat rawan tergelincir ke arah pornografi ketika tidak digarap dengan baik. Tema yang merupakan ‘dunia gelap’ atau ‘abu-abu’ yang ada di kalangan mahasiswa baik di kota kecil seperti Jember maupun di kota-kota besar semisal Malang, Surabaya, Jogya, Semarang, Bandung, dan Jakarta, maupun kota-kota besar lainnya.

Begitu juga dengan masalah minuman keras, narkotika, dan psikotropika, yang juga menjadi permasalahan yang saling kait mengait dengan seksualitas. Hal-hal khusus yang sudah menjadi umum karena menjadi isu nasional bahkan dunia. Ada banyak ruang dan sudut pandang untuk dieksplorasi untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk kemasan sajian pementasan. Dua hal besar ini cukup mampu dikemas dan diangkat menjadi sesuatu yang cukup menarik di dalam pementasan yang diberi judul ‘Mirror’.

Kegelisahan dan kemarahan yang dirasakan teman-teman UKM-K Dolanan tentang sikap, tingkah laku serta pola kehidupan mahasiswa yang seharusnya menjadi ‘Agent of Change’ tetapi kemudian terjebak pada dua hal besar tersebut. 

Kehidupan mahasiswa yang rata-rata nge-kost dan jauh dari pengawasan keluarga—orang tua—menjadi sorotan khusus di tengah gejolak perkembangan jaman yang begitu pesat. Seperti menyaksikan pertempuran besar tetapi tanpa senjata fisik—pistol, senapan, maupun bom—menempatkan mahasiswa menjadi obyek sekaligus subyek.

Pertarungan antara idealisme untuk mempertahankan identitas ‘orang Timur’ dengan modernitas, hedonisme, dan free life yang coba disajikan dalam kemasan utuh SGTV. Sesuatu yang patut mendapatkan penghargaan dan applous.

Di sisi lain, muncul banyak celah yang muncul di dalamnya. Stamina, pemahaman, dan psikologi actor yang terlibat merupakan beberapa hal yang perlu dibenahi. Ada tahapan-tahapan yang harus dipunyai dan dimiliki oleh seorang actor. 

Kesiapan jiwa untuk merelakan dirinya menjadi actor, kesiapan mental ketika berhadapan dengan panggung dan penonton, dan kesiapan fisik untuk melakukan serangkaian proses latihan.

Pertanyaannya kemudian adalah: “Apakah tubuh (gerakan tangan, kaki, dan wajah) yang menggerakkan batin actor? Ataukah batin yang seharusnya menggerakkan (menuntun) tubuh actor untuk bergrak?”

Jawabannya akan sangat beragam sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing actor. Jika diibaratkan seorang pendekar, maka gerak tubuh sangat mungkin mampu menuntun batin si actor untuk menemukan pemahaman baru yang kemudian dia transfer kepada penonton. Hal ini menjadi semacam gerak reflek tanpa melalui akal pikiran terlebih dahulu.

Berbeda ketika seorang actor mampu menjadikan gerak batinnya sebagai sarana ekspresi dan menyampaikannya melalui gerak. Hal ini tentu saja membutuhkan latihan dan proses yang cukup lama serta intens. Ketika gerak batin yang menjadi dasar dari gerak tubuh seorang actor maka gerakan yang dilakukannya tidak akan pernah sia-sia, tidak akan mubadzir, dan akan mampu menyentuh batin penonton.

Setiap kali saya menonton pementasan di lingkungan kampus (baca: teater kampus) dari waktu ke waktu masalah yang timbul sama saja. Permasalahan-permasalahan klasik yang menjadi gangguan atau semacam sebutir pasir di dalam sepiring nasi sehingga mengurangi kenyamanan penonton dalam menikmati secara utuh sajian pementasan.

Tata lampu yang kurang maksimal, ilustrasi musik yang tidak stabil, kehilangan moment, dan kurang mampu mendukung pensuasanaan adegan, serta penggunaan property yang juga kurang maksimal, merupakan permasalahan-permasalahan lain yang muncul ke permukaan selama pementasan berlangsung.

Satu hal yang ingin saya sampaikan sekaligus sebagai penutup adalah:
“Teruslah berproses, teruslah belajar, bukan untuk menjadi siapa tetapi untuk mengenal diri dan menjadi diri sendiri.”

Selamat kepada UKM-K Dolanan yang telah melaksanakan pementasan tari sebagai rangakaian dari acara ‘SENYUM DOLANAN 7’.

Salam budaya…


Jember, 18 Desember 2017
12.25 wib

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook