CATATAN PEMENTASAN SAM PEK ENG TAY UKMK DKK 2015
09.06.00
CATATAN PEMENTASAN
LAKON SAM PEK ENG TAY
UNIT KEGIATAN MAHASISWA
(UKM) KESENIAN DKK
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS JEMBER
by: Rahman El Hakim*
Pementasan teater
selalu saja ada dua kutub besar yang akan saling tarik menarik. Dua kutub yang
akan memunculkan ruang apresiasi. Dua kutub besar bernama pro dan kontra. Dua
kutub ini bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi harus diberikan tempat
yang layak sebagai sebuah masukan, vitamin, dan asupan berharga untuk
mengevaluasi dan memperbaiki proses selanjutnya.
Lakon Sam Pek Eng Tay
adalah lakon sudah sangat terkenal karena dibuat berdasarkan kisah legendaris
dari negeri China. Lakon ini sudah berpuluh bahkan ratusan kali dipentaskan
oleh banyak kelompok teater, baik dari kalangan pelajar (SD, SMP, SMA, dan
Mahasiswa) maupun dari komunitas-komunitas teater yang ada di seluruh
Indonesia.
Pada pemetasan tanggal
7 – 8 Juni 2015 kemarin, teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian DKK
Fakultas Sastra mengangkat lakon Sam Pek Eng Tay dengan versi yang baru. Saya
sebagai penikmat tentu saja dipenuhi harapan-harapan tentang sebuah garapan
pementasan teater. Bukan untuk apa, lebih kepada keinginan belajar dan
mengobati kerinduan dengan pentas teater.
Pentas berdurasi kurang
lebih 2,5 jam – 3 jam bertempat di halaman Fakultas Sastra Universitas Jember
ternyata tidak begitu diminti oleh teman-teman penggiat dan penikmat seni di
Jember. Tempat yang disediakan hanya berisi sekitar sepertiga dari
kapasitasnya. Hal tentu saja melahirkan banyak pertanyaan di benak saya. Ada
apakah dengan pementasan teater di kampus? Apakah memang sudah tidak menarik
atau ada hal lain yang menyebabkan teman-teman penggiat seni tidak menghadiri
pementasan? Apakah teman-teman lainnya sedang melakukan proses penggarapan
naskah, berlatih, atau sedang ada kegiatan lainnya yang tentu saja masih
berhubungan dengan kesenian?
Hal pertama yang ingin
saya cermati, di tiket pementasan dicantumkan bahwa pementasa dimulai dari jam
19.00 sampai dengan selesai. Saya sangat respek dengan waktu karena memang
durasi pementasan teater akan menyita waktu yang cukup panjang, dan saya merasa
hal itu sangat wajar. Apalagi jika di akhir pementasan ada semacam ramah tamah
dan apresiasi dari penonton dengan para aktor, sutradara, dan seluruh kru
pementasan, tentunya waktunya akan luamyan lama.
Sayangnya saya harus
menelan kekecewaan seperti biasanya jika ada sebuah pementasan teater di
kampus. Pementasan baru dimulai jam 20.00 atau satu jam lebih lama dari jadwal
yang tertera di tiket dan spanduk pemberitahuan. Saya tidak paham apa yang
menyebabkan hal ini terjadi. Apakah memang jadwal aslinya adalah jam 20.00 atau
ada permasalahan tekhnis sehingga pementasan “molor” sampai satu jam.
Sebuah pementasan sama
nilainya dengan pemutaran film atau pertandingan sepakbola. Jadwal yang sudah
ditetapkan haruslah benar-benar tepat.Ada atau tidak penonton harusnya
pementasan dimulai sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan tersebut.15 menit
saya rasa cukup sebagai batas toleransi mempersiapkan dan menanti penonton
untuk berkumpul.
Sebuah kebiasaan
menunda waktu haruslah dipangkas dari sejak sekarang.Sebuah pementasan adalah
mutlak milik sutradara, actor, dan para kru yang terlibat.Penonton adalah
penikmat. Pimpinan produksi harus sudah menetapkan dan memperkirakan apa yang
akan terjadi dan menjadi permasalahan ketika akan mengadakan pementasan, bahkan
jika terjadi hal paling fatal, misalnya listrik padam atau penonton hanya
beberapa gelintir orang saja.
Sebuah pementasan
harusnya memanggil penonton, bukannya menunggu penonton berkumpul baru
pementasan dimulai.Bagaimana jika penonton-penonton yang sudah datang belum mau
masuk ke tempat pementasan karena alasan pementasan belum dimulai?
Hal kedua yang ingin
saya soroti adalah konsep pementasan itu sendiri. Tidak perduli bentuk garapan
yang dipilih dan dipergunakan sutradara apakah teater tradisional, realis,
surealis, absurd, drama situasi, komedi, atau apa, satu hal yang perlu diingat
adalah arah dan tujuan pementasan itu sendiri. Arah dan tujuan sebuah
pementasan merupakan satu dari beberapa hal yang perlu ditetapkan, dicermati,
dan direnungkan dengan sebaik-baiknya sejak awal proses pemilihan naskah,
casting actor, latihan, tentu saja saat pementasan berlangsung dan sesudahnya.
Seorang sutradara
memiliki hak mutlak dalam memilih, menentukan, dan menetapkan konsep garapan
sebuah pementasan. Sutradara adalah orang pertama yang memainkan seluruh dialog
dan adegan-adegan di dalam imajinasinya. Dia memainkan seluruh lakon secara
utuh sebelum disampaikan kepada para aktor yang terlibat. Keinginan, imajinasi,
dan impiannya tentang pementasan tersebut merupakan bentuk abstrak yang ingin
dia wujudkan dan diterjemahkan oleh para actor di atas pentas.
Sekarang, mari kita
masuk pada bagian-bagian pementasan. Sebuah pementasan secara umutm memiliki
elemen-elemen meliputi: 1). Naskah; 2). Aktor; 3). Sutradara; 4). Musik
pengiring (ilustrasi); 5). Artistik panggung (dekorasi dan property);
6).Costum; dan 7).Penonton.
Naskah Sam Pek Eng Tay
seperti telah saya sampaikan di awal tulisan ini, merupakan naskah yang sangat
familiar bagi pelaku dan penggiat teater. Sudah sangat banyak pementasan
dilakukan dengan menggunakan dan mengeksplorasi naskah ini, tentu saja dengan
berbagai macam tafsir dan konsep bentuk garapan.
Pementasan kali ini
sangat menarik. Naskah Sam Pek Eng Tay diberikan pembaruan-pembaruan yang
disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan kultur budaya yang terbangun di
wilayah tapal kuda (Probolinggo. Situbondo, Banyuwangi, Jember, dan Lumajang).
Bagaimana penulis naskah berani mengambil daerah-daerah lokal sebagai setting
tempat. Keluarga Sam Pek dikatakan berasal dari Probolinggo, keluarga Eng Tay
berasal dari Situbondo, keluarga Ma Chun tunangan Eng Tay berasal dari Besuki,
dan sekolah putra bangsa—tempat Eng Tay berkenalan dan menjalin hubungan dengan
Sam Pek—berada di Jember. Pemunculan dan penggunaan tempat-tempat lokal ini
tentu saja memudahkan untuk proses eksplorasi dari para aktor.
Aktor sebagai alat
utama menyampaikan pesan, ide, dan bahan-bahan perenungan bagi penonton harus
memiliki beberapa kemampuan yang harus dimiliki, di antaranya:Vocal, Imajinasi,
Stamina, Konsentrasi.
Pada awal pementasan
kali ini, vocal actor yang harusnya kuat karena stamina masih fresh ternyata
kalah dengan music pengiring. Ada banyak
kemungkinan untuk menjelaskan hal ini. Pertama para actor tidak sadar dengan
keberadaan microfon yang ditempatkan menggantung ketika mereka berbicara. Kedua
vocal para actor memang lemah sehingga ketika berdialog tetap saja tidak sampai
kepada penonton walaupun sudah dibantu oleh microfon. Ketiga, para pemusik
terlalu bersemangat sehingga kehilangan kontrol ketika mereka memainkan alat
musiknya untuk mengiringi adegan.
Vocal seorang actor
harus memenuhi sedikitnya dua hal penting, yaitu: power dan kejelasan. Power
dimaksud adalah keras tidaknya suara seorang actor sehingga suara tersebut bisa
terdengar sampai pada penonton yang berada paling belakang. Kejelasan maksudnya
kata-kata yang dikeluarkan oleh seorang actor ketika berdialog harus tetap
jelas pengucapan dan maknanya sejak kata itu terlontar keluar dari mulut si
actor sampai kata itu membentur telinga pendengar. (Akhudiat, Workshop
Penulisan Naskah dan Keaktoran, Kota Malang, 2014). Hal ini sangat penting,
mengingat bahwa dialog—kata dan kalimat—merupakan alat komunikasi seorang actor
dengan penonton.
Sangat banyak saya
temui dialog-dialog yang tidak tersampaikan dengan baik. Dialog antara Eng Tay
dengan kedua orang tuanya, dialog Sam Pek Eng Tay belajar, terutama
dialog-dialog yang dinyanyikan. Bagaimana musik ilustrasi sangat keras dan
mengalahkan vocal para actor. Sungguh hal ini mengganggu kenyamanan penonton
dalam menikmati pementasan.
Stamina para actor juga
sangat berpengaruh bagi penampilan para actor di atas pentas. Durasi pementasan
yang cukup lama, sekitar 3 jam, tentu saja sangat menguras stamina dari para
aktor. Ketika stamina para actor tetap terjaga dari sejak awal sampai akhir
pementasan, maka emosi, konsentrasi, dan pelafalan dialog akan tetap terjaga
dengan baik pula.
Pada waktu pertengahan
pementasan, terlihat jelas stamina para actor sudah mulai kedodoran. Hal ini
bisa dilihat dari para penari pada adegan di sekolah, adegan Eng Tay ketika
menyampaikan bahwa dia akan pulang ke Situbondo, bahkan pada adegan ini Eng Tay
melakukan kesalahan dialog, yaitu menyebut Ma Chun padahal dia sedang berdialog
dengan Sam Pek.
Hal paling menarik yang
saya cermati dari para actor yang terlibat dalam pementasan kali adalah actor
pemeran Dalang dan pemeran Sukio (bujang Sam Pek) yang sangat focus dan
memberikan daya tarik tersendiri bagi pementasan. Mereka berdua berhasil
memberikan penyegaran-penyegaran dengan joke-joke konyol tetapi cerdas ketika
alur pementasan mulai menjenuhkan. Selain itu, mereka berdua tetap mampu
menjaga konsentrasi, stamina, dan kualitas keaktoran mereka sampai akhir
pementasan.
Kesadaran panggung,
sesuatu yang harus diingat dan dipahami oleh para actor ketika mereka berada di
atas pentas. Seorang actor yang baik harus menyadari bahwa dirinya sedang
memerankan tokoh tertentu, sedang melakukan pentas, dan tentu saja dia harus
bisa dengan cepat merespon dengan segala apa yang ada dan terjadi di atas
pentas ketika pementasan sedang berlangsung.
Pada beberapa adegan
Sam Pek Eng Tay, ada beberapa actor yang kurang sadar dengan posisi mereka
ketika di atas pentas. Mereka tidak cepat merespon ketika mereka berdialog dan
tidak berada di bawah cahaya yang tepat. Saya yakin bahwa lighting sudah di
setting dengan teliti mengikuti keinginan sutradara. Hal ini menyebabkan
beberapa actor ketika sedang berdialog tidak kelihatan wajah dan make-upnya. Efeknya
adalah ekspresi dari para actor tersebut tidak tersampaikan secara maksimal
kepada penonton.
Secara umum, saya
mengucapkan selamat kepada teman-teman UKM Kesenian DKK Fakultas Sastra yang
telah mementaskan lakon Sam Pek Eng Tay di tengah keterbatasan fasilitas yang
ada. Saya banyak belajar dari pementasan kali ini. Banyak hal yang saya timba
dari pementasan lakon Sam Pek Eng Tay, dari segala aspeknya.
Saya memahami bagaimana
sulitnya untuk melakukan pementasan teater di kampus. Ada banyak kendala dan
permasalahan yang harus dilalui, diselesaikan, serta dicarikan solusi oleh
teman-teman UKM Kesenian yang ada di kampus. Kondisi seperti ini tidak saja
terjadi di Fakultas Sastra saja, tetapi meliputi hampir seluruh UKM-UKM lain di
hampir seluruh Fakultas yang ada di Universitas. Mulai dari hal paling klise,
yaitu pendanaan sampai pada fasilitas berupa tempat dan ijin untuk melakukan
kegiatan di kampus.
Tulisan ini bukan untuk
menjatuhkan ataupun mencela pementasan yang telah dilakukan oleh teman-teman
UKM Kesenian DKK Fakultas Sastra UNEJ.Tulisan ini lebih kepada sebuah apresiasi
dan bentuk kepedulian kepada keberadaan UKM-UKM Kesenian yang ada.
Salam seni dan budaya
Jember, 9 Juni 2015
04.45 wib
0 komentar