MEMBACA DIRI (II)
18.39.00
Mari merenung dan belajar...
Point 1:
Memang tidak mungkin untuk mengetahui tentang keberadaan Allah Ta'ala sebagai Dzat Mutlaq, sebagai Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. "Being is being our being own being" (kalimat yang diucapkan oleh Santo Antonio, sufi Katolik abad 8) begitu dalam bahasa Inggrisnya. Dalam Al Qur'an juga disebutkan begitu, pada surah al Ikhlash, al Baqarah (ayat kursi), dan ayat-ayat lainnya yang mengajarkan tentang tauhid.
Ketika pengertiannya sudah benar, maka syahadatnya juga akan benar. Syahadat itu ada tiga level, yaitu:
Level 1: "La ila ha illa Allah"
Syahadat ini adalah syahadat paling bawah, paling dasar, dan merupakan syahadat yang umum bagi seluruh manusia. Syahadat ini menunjukkan pengakuan terhadap Allah Ta'ala sebagai Dzat Mutlaq (Tuhan) yang sebenar-benarnya Tuhan, tetapi pada posisi ini manusia berada jauh dan berjarak dengan Tuhan itu sendiri. "Tidak ada Tuhan selain Allah", adalah bentuk keberjarakan antara seorang hamba dengan sesuatu yang diakui, diyakini, dan dipercaya sebagai Tuhan, yaitu Allah.
Level 2:
"La ila ha illa anta", syahadat yang diucapkan oleh Nabi Yunus a.s ketika berada di dalam perut ikan Nun (paus); yang diucapkan oleh Nabi Ibrohim a.s ketika berada di atas nyala kobaran api kala dibakar; yang diucapkan oleh Adam a.s; Musa a.s, dan Nabi-nabi lainnya selain Rasulullah Muhammad SAW
Syahadat ini sudah menunjukkan bahwa si hamba (makluq) telah memasuki tahapan (maqom) kenal akrab, sudah menjadi teman dekat, sudah menjadi sahabat.
"Tiada Tuhan selain Engkau..." merupakan pernyataan kedekatan dan ketulusan seorang hamba kepada Allah Ta'ala dan sudah tidak ada halangan bernama hukum syariat di antara keduanya. Pada posisi ini hamba sudah menjadi teman, sahabat, dan sangat karib dengan Allah Ta'ala.
Level 3:
"La ila ha illa Ana" (Q.S. Thaha: 14)
Inilah syahadat tertinggi yang harus ditempuh dan diproses oleh seluruh manusia. "Tiada Tuhan selain Aku" adalah pernyataan seorang hamba terhadap Allah Ta'ala. Inilah pengakuan sekaligus pencapaian terhadap maqom (derajat) ke-SADAR-an, di mana seorang hamba menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa dirinya adalah bagian dari Allah Ta'ala (lihat terjemah Q.S. Shod: 29 dan Q.S. Al Hijr: 72).
Ketika seorang hamba sudah mencapai pada pelataran istana ke-SADAR-an ini maka dia akan dituntun untuk bertemu dengan Cahaya di Atas Cahaya (nuurun 'ala nuur), untuk kemudian bersyahadat secara haqiqi. Syahadat haqiqi ini adalah syahadat sejati yang harus dicari oleh setiap manusia. Inilah syahadat yang diberi nama dengan berbagai nama. Syahadat inilah yang menyebabkan Kanjeng Syekh Ali Hasan/Syekh Abdul Jalil/Syekh Siti Jenar kemudian diminta untuk menghentikan dakwahnya karena memang masyarakatnya belum siap. Syahadat ini pula yang menyebabkan Syekh Abdur Rauf Singkil kemudian juga dibunuh dengan alasan yang mirip dengan Syekh Siti Jenar. Syahadat ini juga yang menyebabkan Abu Mansyur Husein Al Hallaj, sufi besar asal Persia, dipenggal dan dianggap sesat.
Hubungannya dengan empat tingkatan ibadah adalah:
1. Syariat itu seperti halnya kamu berniat menanam jagung di ladang/sawah, dll, maka kamu harus punya bibit jagungnya, harus ada tempat untuk menanam, dan punya alat untuk menanam bibit jagung tersebut.
2. Thoriqoh (Tarekat) merupakan kelanjutan dari Syariat. Thoriqoh adalah jalan, jadi setelah kamu punya bibit jagung, ada tempat untuk menanam, dan punya alatnya, maka kamu harus berjalan menuju ke tempat yang ingin kamu tanami bibit jagung tersebut--ladang, sawah, kebun, dll. Sesampainya di tempat itu kamu mulai mencangkul, membuat lubang/bedengan tempat untuk menanam benih jagung.
3. Haqiqat adalah intisari dan buah. Haqiqat merupakan kelanjutan dari Syariat dan Thoriqoh. Haqiqat itu seumpama bibit jagung yang kamu punya sudah kamu tanam, dan sekarang sudah berbuah. Maka Haqiqat adalah buah jagung tersebut. Haqiqat adalah buah hasil panenmu. Baik atau tidaknya, semua itu sesuai dengan jenis bibit, proses menanam, dan perawatannnya.
4. Ma'rifat adalah proses pasca panen. Ketika jagung yang kamu tanam sudah dipanen, kamu bisa menjualnya ke mana saja--ke toko, pasar, dijual seluruhnya, dijual sebagian, atau kamu simpan sendiri.
Syariat tanpa haqiqat itu sia-sia, seperti manusia yang menanam jagung, tetapi tidak pernah dirawat, tidak pernah dipupuk, dan tidak pernah dijarangkan. Tanaman jagungnya bertumpuk-tumpuk tanpa ada jarak yang tepat. Akhirnya buah jagungnya malah kerdil, tidak berbuah, dan kalah sama rumputnya.
Haqiqat tanpa syariat itu bayang-bayang, seperti hantu yang tidak punya jasad.
Lantas yang mana yang harus dikerjakan? Tidak ada pilihan di dalamnya, semuanya harus dilakukan dan dilaksanakan bersama-sama seiring sejalan.
Jember, 9 Juni 2016
18.38 wib
0 komentar