NASKAH MONOLOG
03.05.00
SAJAK, SURAT, DAN TAMAN KOTA
karya: Rahman El Hakim
SETTING:
Sebuah
beranda rumah khas Jawa yang hanya ada sebuah balai-balai bambu untuk
bercengkrama ketika sore hari atau sekedar istirahat ketika cuaca sedang panas.
Sebuah
foto dalam bingkai yang cukup besar, sederhana, dan terlihat kusam di beberapa
bagiannya tergeletak di atas balai-balai itu. Di sebelah bingkai foto itu,
sebuah selendang dan beberapa lembar kertas yang sudah terlihat lecek ditumpuk
di atas sebuah amplop besar.
Lighting
menyala perlahan menyorot balai-balai bambu. Seorang perempuan duduk menunduk
menatap lantai, merenungkan sesuatu.
LAKON
El… El… El… Ah, siapa yang sebenarnya
bersalah? Aku yang tidak menepati janji atau kau yang terlalu angkuh?
(menghela
nafas, menengadah, dan melihat ke halaman)
Apa yang ada di pikiranmu sekarang?
Apakah aku masih ada dalam benak dan imajinasimu? Atau kau benar-benar sudah
lupa dan melupakan aku? Apa benci itu sudah benar-benar menguasai hatimu?
Ah, jika saja waktu itu kau tahu apa
yang ada di hatiku. Apa yang menyebabkan aku tidak mau menemuimu di Taman Kota
seperti yang sudah kita sepakati. Apa yang menyebabkan aku tidak membalas semua
pesan dan tidak menerima teleponmu.
El… aku memang sengaja berbuat seperti.
Aku memang sengaja tega kepadamu. Aku memang sengaja melukai hatimu. Aku memang
sengaja membuatmu marah. Aku memang sengaja berbuat seperti itu. Untuk apa?!
Agar kau benci kepadaku. Agar kau marah kepadaku. Agar kau… Ah, El…
(mengambil
foto dan membelainya dengan penuh perasaan)
Sebenarnya siapa yang angkuh, El? Siapa
yang telah menciptakan benih-benih duka lara ini? Siapa yang menabur
bibit-bibit duka nestapa?
Kau egois, El! Kau terlalu angkuh! Iya,
kau itu terlalu bahkan teramat sangat angkuh! Sok tahu, sok alim, dan merasa dirimu
paling benar!
(berhenti
sejenak, mengambil nafas, sinar matanya tampak berapi-api dipenuhi kemarahan)
aku bahkan tak pernah ingin kenal denganmu
tidak! sekalipun dalam detik rasaku
tak ada ruang untuk itu
aksara buatku adalah jendela
telaga dan samudera luas
di mana aku menenggelamkan sedikit kepenatan
kemarahan dan ribuan kebencian
dan aku tak pernah ingin mengenalmu
blokir dan remove sajalah aku
aku tak pernah mengenalmu
Aku masih menyimpan sajak yang pertama
kali kau kirimkan kepadaku. Aku bahkan mengingatnya di luar kepala, karena aku
penasaran dengan orang yang menulis sajak ini. Aku merasakan sebuah keangkuhan,
keegoisan, dan kebencian terselubung yang disembunyikan penulisnya di dalam
sajak itu. Sejak saat itu aku mulai mengumpulkan informasi tentangmu. Kau tahu,
El… sajak itu yang mendorongku untuk mendekati dan berusaha mengenalmu lebih
jauh! Tapi apa yang kau lakukan untukku? Apa, El? Apa…?!
Setiap hari kau terus mengirimiku sajak,
petuah, dan nasehat bijak. Aku, tentu saja gembira mendapatkan kiriman itu.
Perlahan di dalam hatiku tumbuh rasa yang berbeda kepadamu. Perlahan aku
mengagumimu. Sungguh, El… aku mengagumimu karena kau orang yang sangat aneh dan
misterius bagiku. Begitu juga ketika aku bertanya kepada teman-temanmu. Mereka berkata:
El adalah makhluk paling misterius di bumi. Dan aku tertawa mendengarnya. Bukan
hanya tersenyum, El… aku benar-benar tertawa mendengarnya.
(tersenyum,
tertawa kecil sambil memandang foto)
Kau tahu, El… aku masih menyimpan
sajak-sajak yang kau kirimkan kepadaku. Dan tahukah kau, hatiku begitu berdebar
ketika kau mengirimkan sajak ini. Mungkin kau sudah lupa…
bila bunga telah
beraroma
angin akan
mengabarkan
warna dan wangi
kelopaknya
pada dunia
lalu pada saatnya
alam sediakan tempat
bagi tumbuhnya
putik-putik makna
yang waktu menamainya
cinta
(mengambil
kertas, membacanya, dan mendekapnya di dada)
Waktu itu aku merasa menjadi perempuan
paling berarti dalam hidupmu. Setiap hari aku selalu berharap mendapat kiriman
pesan berupa sajak atau sekedar ucapan selamat pagi darimu. Hari-hariku
dipenuhi oleh gairah dan semangat yang aku pupuk di tidur terjagaku.
El… El… El…
(memanggil-manggil
dengan mesra, perih, dan pilu)
aku ingin menikahimu
dengan seribu bunga
dan rangkaian angsoka
aku akan menikahimu
di altar padma singgasana para dewa
di tengah gemulai seruling gembala
di iringi sajak prosa manusia yang gila
dan tarian ilalang rimba raya
aku menikahimu
dalam ruang cahaya
tanpa kata serta warna
aku hanya menikahi kamu
Aku
langsung meneleponmu begitu aku selesai membacanya. Dan jawabanmu membuatku
hampir pingsan. Bagaimana tidak, kau mengatakan: Aku ada di depan gang yang
menuju ke rumahmu. Ini semacam kejutan, kesungguhan niat, atau apa? Tanpa pikir
panjang aku langsung lari ke halaman. Aku lihat kau benar-benar berjalan ke
arahku.
Ah,
El… El… El…
(mengusap airmata yang
perlahan menggenang di kelopak matanya)
Tapi,
kau memang egois, angkuh, dan menjengkelkan!
(terengah-engah,
matanya kembali menyala dipenuhi bara kemarahan)
Aku
sangka sajak-sajak itu hanya kau kirimkan kepadaku saja. Ternyata… ternyata…
ternyata… Ah…!
(jeda sebentar)
Sajak-sajak
itu kau kirimkan juga pada perempuan lain. Anggi, Vivi, Zahra, dan mungkin
masih banyak lagi perempuan yang tak aku tahu namanya! Kau mengirimkannya
kepada semuanya! Mimpi yang aku rawat di dalam bingkai kencana perasaanku,
pecah berhamburan menjadi keping-keping yang menusuk hatiku sendiri!
Matahari
adalah lambang cinta yang suci murni. Dia selalu memberi kehangatan dan cahaya
terang kepada siapa saja. Dia tidak pernah meminta balasan apapun dari segala
makhluk yang mendapatkan kehangatan dan cahayanya. Begitu kau menjawab
pertanyaanku waktu itu. Aku membisu mendengar alasan dan penjelasanmu. Sungguh
aku benci kau! Benci, El…!
(setengah berteriak,
nafasnya makin tersengal)
Aku
bukan kertas yang bisa kau corat coret seenaknya. Kau tulisi sajak-sajak
murahan, kau gambari wajah-wajah imajinermu, atau kau lipat-lipat untuk kau
jadikan kapal-kapalan. Aku perempuan, El! Perempuan!
Itulah
alasanku tidak menemuimu di Taman Kota waktu itu. Lantas apakah aku salah?
Apakah aku salah, El?
(bertanya kepada foto)
Manusia
harus mengalami kesakitan-kesakitan, luka, dan kepedihan agar dia memahami
bahwa dirinya adalah makhluk berharga. Agar dia tahu, mengenal, dan memahami
dirinya sendiri, untuk kemudian dia tahu bahwa dia hanyalah seorang hamba yang
lemah tanpa daya dan kuasa.
Iya,
aku paham, El. Dan aku ingin kau mengalami kesakitan, kepedihan, dan luka itu
dengan cara berbeda! Agar kau tahu dan sadar bahwa kau itu makhluk paling
menjengkelkan, angkuh, dan egois yang ada di bumi!
(tersenyum setengah
tertawa, kepuasan terpancar di matanya)
Ah,
lima tahun ternyata sangat singkat. Engkau tidak akan percaya bahwa aku selalu
mengumpulkan informasi tentangmu. Media sosial, teman-temanmu, dan juga adikmu.
Dan aku memang meminta mereka untuk tidak menceritakannya kepadamu, karena aku
yakin kalau kau tahu kau akan melarang mereka memberikan informasi itu.
(menengadah, melihat ke
halaman)
Hati
hanya memiliki satu lubang, hanya memiliki satu tahta, hanya memiliki satu
altar, maka sucikanlah hati itu sehingga dia bisa memantulkan cahaya sejati,
untuk kemudian menuntun akal pikiran menuju kesadaran hidup. Itu pesanmu
dahulu, dan sekarang aku memahaminya.
El…
hatiku selalu memanggilmu. Sebagaimana aku menunggumu selama lima tahun.
Datanglah El… jangan biarkan aku menunggu lebih lama lagi. Datanglah ke tempat
di mana kita pernah mengikat janji. Dan kita akan memperbaruinya dengan tanpa
meminta apa-apa. Datanglah, El… ke taman kota, ke tempat lima tahun lalu kita
belajar merangkak memaknai tentang hati, cinta, dan manusia.
(berdiri, tersenyum,
dan perlahan melangkah)
Lighting
menyorot ke tengah depan di mana actor mengambil posisi tablo. Kemudian
lighting perlahan meredup dan fade out.
SEPERTINYA
SELESAI
16 Desember 2015
03.45 wib
Di sela gerimis dini hari
gerimis, langit gulita, dan
dingin di jendela
wajahmu jadi nyala pelita
nafas desahku
Catatan:
Di pentaskan pertama kali dalam acara aplikasi anggota baru teater Kotak Poltek Negeri Jember
0 komentar