NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KARYA (III)

14.32.00

(lanjutan)

B.            NILAI LUHUR BUDAYA LOKAL
Harus diakui bahwa bahwa sistem pendidikan, metode berpikir, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia sekarang adalah warisan kolonial yang berdasarkan peresepsi Eropa-Barat, walaupun materinya berbeda. Secara tidak disadari hampir keseluruhan ‘budaya’ manusia Indonesia modern adalah budaya yang kehilangan akar bahkan tercerabut dari nilai-nilai luhur budaya aslinya.
Akibatnya jelas, budaya yang ada adalah budaya yang mengambang tanpa bentuk, budaya pop, dan suka meniru (budaya konsumtif dan imitative). Dasar budaya lokal Indonesia yang berakar pada kenyataan di lapangan—daerah masing-masing, tipografi alam, dan kultur sosial masyarakat—merupakan kebalikan dari budaya Eropa-Barat yang mengedepankan logika.
Seni merupakan produk dari budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan diterapkan dalam masyarakat. Seni yang demikian tidak mungkin sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, serupa mungkin iya. Hal inilah yang seharusnya disadari dan digali oleh siapa saja yang mengaku sebagai bagian dari masyarakat. Budaya-budaya lokal dengan nilai-nilai luhurnya adalah sumber yang sangat kaya dan menunggu untuk dieksplorasi oleh kita.
Mitos, legenda, cerita rakyat, dongeng, upacara adat, petuah, pitutur, dan ritual-ritual lainnya yang ada di sekeliling kita, yang ada di lingkungan kita, yang ada di tiap-tiap desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota adalah samudera ide yang tidak akan ada habisnya untuk digali, ditelaah, dikaji, dan dieksplorasi untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk karya—tulis/sastra, gerak, suara, rupa, musik,drama, dll—yang tentu saja diberikan sentuhan kreatifitas dari tiap masing-masing penulisnya, sehingga karya-karya tersebut tetap mencerminkan kekuatan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing dan sesuai dengan alam serta budaya saat ini.

C.            AMATI, ANALISIS, dan ADAPTASI
Ada banyak metode dan cara untuk menulis dan menuangkan ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local. Satu rumusan yang paling mudah adalah prinsip 3A, yaitu:
1.             Amati
Tiap daerah, lingkungan, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan suku memiliki nilai-nilai luhur budayanya sendiri yang terkadang lepas dari pandangan kita. Amati dengan seksama apa yang disediakan lingkungan, daerah, dan tempat kita tinggal. Tampung semua informasi yang dilihat dan didengar tanpa harus memberikan penilaian apapun. Cari segala bentuk budaya yang pernah ada, ada, tumbuh berkembang, dan menjadi ciri khas—legenda, cerita rakyat, mitos, sejarah, upacara adat, petuah, pitutur, dll—yang seringnya tidak kita sadari keberadaannya.
Kumpulkan informasi-informasi tersebut, dan lakukan pencatatan untuk memudahkan kita menyusunnya kembali menjadi tulisan yang lebih rinci.
2.             Analisis
Setelah semua informasi tersebut kita dapatkan, pilah dan pilih informasi-informasi tersebut ke dalam beberapa tema dan subtema. Misalnya: Legenda, Mitos, Upacara adat, dll.
Lakukan analisis dengan merenungkan semua informasi tersebut dengan hati dan pikiran yang terbuka, tanpa harus memberikan penilaian baik buruk. Berikan apresiasi dengan wajar tanpa melibatkan ego dan kepentingan pribadi terhadap informasi-informasi tersebut.
Kita harus berani mengakui dan memberikan penghargaan pada informasi-informasi tersebut karena kita sendiri belum tentu bisa menciptakan hal yang sama seperti halnya apa yang telah kita dapat dari informasi tersebut. Keberanian untuk memberikan apresiasi dengan terbuka, dengan wajar, tentu saja membutuhkan keluasan wawasan, keluasan cara berpikir, dan sudut pandang yang fleksibel, sehingga informasi-informasi tersebut akan memberikan banyak hal baru yang siap untuk dituangkan menjadi karya.
Proses menganalisa merupakan proses pematangan dan ‘kehamilan’ dari ide yang telah didapatkan dari informasi-informasi yang telah didapatkan sebelum ide tersebut dilahirkan dalam bentuk karya.
3.             Adaptasi
“Menulis merupakan sebuah proses yang jujur, yang tidak direkayasa, sesuai dengan pengalaman batin, pengalaman hidup, tingkat intelektual si penulis, walaupun pada prosesnya dia akan bersentuhan dengan simbol, bentuk, dan kata sebagai alat menyampaikannya.” (Rendra dikutip Soni Farid Maulana: Apresiasi Menulis Puisi, 2008).

Senada dengan hal tersebut, Emha Ainun Najib menyatakan bahwa: “Menulis sajak merupakan sesuatu yang jujur dan tidak bisa dibuat-buat.” (Emha Ainun Najib: Slilit Sang Kyai, Cetakan VI, 1992).

Sedangkan dalam Subagio Satrowardoyo menyatakan bahwa:
“Pada akhir hidupnya, Chairil baru mencapai kesatuan iramanya dengan gerak alam semesta. Setelah menjadi 'bocah cilik berkejaran dengan bayangan' di dalam angan-angan negeri dan budaya asing, ia kembali kepada realitas dunia sekelilingnya yang memberinya penglihatan yang hening. Kesatuan irama dengan alam semesta itu mendekatkan Chairil pada sikap hidup masyarakat sekelilingnya, yang menentukan ciri dirinya sebagai homo religiosus.” (Subagio Sastrowardoyo: Sosok Pribadi Dalam Sajak, 2000).

Semua pendapat tersebut memberikan sebuah garis besar tentang ‘mengadaptasi’ yang merupakan proses berkelanjutan dari mengamati, mendengarkan, mengumpulkan, mencatat→menganalisis→merenungkan→menuliskan kembali.
Proses akhir inilah yang menuntut kreatifitas penulis dalam mengadaptasi semua informasi dari nilai-nilai luhur budaya lokal yang telah didapatkannya dalam bentuk karya—sastra, gerak, suara, musik, rupa, dan drama—yang memiliki nilai-nilai baru/terbarukan tanpa melepaskan diri dari akar budayanya sendiri.
Nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut dituangkan ulang dalam bentuk karya baru yang disesuaikan dengan kondisi jaman dan sosial masyarakat yang ada sekarang, sehingga nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut tetap dan terus mendapatkan tempat sebagaimana ia telah diwariskan oleh para leluhur.

III.        PENUTUP
Seorang penulis dan manusia yang berkecimpung di dalam dunia seni adalah manusia-manusia yang memiliki kreatifitas, daya renung, imajinasi, pola pikir, wawasan, dan kemauan belajar yang tinggi. Tidak ada yang namanya ‘bad mood’ maupun kering ide bagi seorang penulis dan pelaku seni, karena mereka memiliki sumber ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local yang berserakan di sekelilingnya.
Seorang penulis dan pelaku seni memiliki kemampuan dan kecakapan hidup (life skill) berdasarkan pengalaman pribadi, budi pekerti, dan kemampuan berpikir kritis dalam tiap waktu dan kesempatan.
Semua proses tersebut merupakan ‘pengalaman’ yang dapat dijadikan sebagai sumber dan bahan untuk melahirkan karya. Pengalaman-pengalaman ini, tentu saja tidak pernah terlepas dari nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai budaya lokal yang didapatkan setiap manusia sejak ia masih kecil.
Menulislah, karena siapa saja bisa menulis. Setiap orang memiliki harta karun bernama pengalaman pribadi, masa kanak-kanak, dan nilai-nilai budaya yang tertanam sejak ia dilahirkan ke dunia. Menulis adalah satu dari berbagai cara untuk mengabadikan dan meninggalkan jejak keberadaan manusia, sebagaimana yang disampaikan oleh Bung Karno: Jas Merah yaitu Jangan melupakan sejarah.




DAFTAR RUJUKAN

Soemardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni, —
Rilke, Reiner Maria, Letters To A Young Poet, terjemahan Sutardji Calzoum Bachri: Surat Kepada Penyair Muda
AAM Jelantik, Estetika, Sebuah Pengantar, 1999, Masyarakat Seni Pertunjukan, Bandung
Sutjipto, Katjik, 1973, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, IKIP Malang
Maulana, Soni Farid, 2008, Apresiasi Dan Proses Kreatif Menulis Puisi, Bandung
Sastrowardoyo, Subagio, 2000, Sosok Pribadi Dalam Sajak, Balai Pustaka, Jakarta
Najib, Emha Ainun, 1992, Slilit Sang Kyai, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Garrison & Archer, 2004, Model Hubungan Berpikir Reflektif dan Kegiatan Inkuiri, —
Undang-Undang No 20, tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Akhudiat, 2014, Materi Penulisan Naskah Drama Fragmen Budi Pekerti, Malang
Hidajat, Arif, 2015, Bimbingan Teknis Seni Teater Tradisi Jenjang Pendidikan Menengah, UPT Dikbangkes Jatim, Malang 

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook