NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KARYA (II)
14.24.00(lanjutan)
Rainer Maria Rilke dalam ‘Suratnya Kepada Penyair Muda’, yang diterjemahkan oleh Sutardji Calzoum Bachri memberikan sebuah renungan yang menarik.
……
Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk ke dalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal;
……
Penggalan surat di atas, jelas memberikan dua hal penting yang harus dipahami oleh siapa saja yang ingin dan mau menulis, yaitu:
1. Masuk ke dalam diri
Kekayaan terbesar manusia yang sebenarnya adalah kenangan dan pengalaman-pengalaman masa kecil, segala sesuatu yang dia alami ketika kecil. Semua hal yang terjadi pada masa kanak-kanak—entah bernilai baik maupun buruk—semuanya merupakan gudang tempat menggali kekayaan diri pribadi yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, dan bentuk serta rasanya berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Keadaan (kehidupan) kita saat ini bisa jadi adalah bentuk dan perwujudan kita di masa lampau, tetapi juga sangat bisa merupakan kebalikan dari apa yang kita bayangkan, impikan, dan kita inginkan di masa lalu. Semua itu adalah harta karun terpendam yang jarang sekali kita sadari, bahkan kita selalu berusaha untuk melupakannya (karena beberapa alasan tertentu).
Kenangan masa kanak-kanak, yang bernilai baik maupun buruk, merupakan sebuah bahan yang sangat luar biasa bagusnya. Kenangan baik maupun buruk itu bisa saja menjadi sebuah nasehat dan cermin bagi orang lain ketika kita menuliskannya dalam bentuk apapun—sajak, cerpen, novel, maupun naskah drama.
Semua orang pasti memiliki kenangan, pengalaman, dan hal-hal lain di masa kanak-kanak, maka sudah pasti setiap orang bisa menulis.
2. Mendekati alam, menggali ke tempat kehidupan berasal
Selama ini kita terlalu sering—sangat sering—melihat ke luar diri. Melihat ke kejauhan sehingga kita lupa dengan apa yang ada di bawah telapak kaki kita sendiri.
Kita selalu terkagum-kagum, takjub, bahkan memuja-muja segala sesuatu yang berasal dari luar diri kita, sehingga kita tidak pernah berniat untuk melakukannya sendiri. Kita terlalu silau dengan hal-hal, pencapaian, dan karya orang lain, sehingga kita lupa untuk berbuat, dan menghasilkan karya yang bisa saja menyamai atau bahkan melebihi hasil yang dicapai oleh orang lain.
Hampir semua hal yang kita lakukan saat ini merupakan hal-hal yang melupakan hakikat kedirian kita sendiri. Cara berpikir, sudut pandang pemikiran, sumber pengetahuan, metode pembelajaran, cara hidup, dan cita-cita hidup kita lebih banyak menjauh dari keberadaan diri sendiri. Kita lebih memilih untuk berpedoman pada akar nilai kehidupan yang berasal jauh dari kehidupan kita sendiri. Nilai-nilai yang ada di sekeliling kita—adat istiadat, budaya, pitutur luhur, pepatah, norma, dan hal-hal baik lainnya—yang telah diwariskan oleh leluhur kita menjadi sebuah komoditi yang ‘seolah-olah’ ketinggalan jaman, tidak modern, bahkan terbelakang.
Berapa banyak orang luar yang begitu terpesona, begitu tertarik, bahkan iri dengan kekayaan adat istiadat, budaya, dan segala hal yang diwariskan oleh leluhur kita? Sebagai misal: Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura menyediakan waktu dan jam khusus untuk kurikulum karawitan dan bahasa Indonesia dalam jenjang pendidikan dasar mereka, sedangkan di negara kita belum ada satupun yang berani menerapkan hal tersebut.
Sepanjang sejarah manusia ada tiga hal yang ingin dicapai oleh manusia, yaitu: 1) Kebenaran (truth), 2) Kebaikan (goodness), dan 3) Keindahan (beauty). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh untuk menjadikan hidup manusia bermakna.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ‘Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, serta efisiensi managemen pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan diwujudkan melalui program Wajib Belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga, agar mempunyai daya saing dalam menghadapi tantangan global.’
Hal ini jelas memberikan sebuah koridor yang menarik kepada siapa saja yang termasuk warga Negara Indonesia untuk terlibat secara aktif maupun pasif dalam turut serta menyukseskan proses ‘olah hati, olah pikir, dan olah rasa’ sehingga setiap manusia Indonesia menjadi utuh sesuai karakteristiknya masing-masing.
Olah hati, olah pikir, dan olah rasa merupakan bagian dari nilai-nilai estetika manusia, yang telah ada dan merupakan fitrah manusia. Tanpa estetika, hidup akan menjadi kering, hampa, bahkan tidak bermakna. Belajar estetika hakikatnya adalah belajar tentang nilai-nilai luhur dan menemukan nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Belajar estetika akan memberikan manfaat antara lain:
1. Memperdalam tentang rasa indah pada umumnya dan kesenian pada khususnya,
2. Memperkokoh rasa cinta pada seni dan budaya bangsa pada umumnya dan mempertajam
kemampuan mengapresiasi, menghargai kesenian dan budaya,
3. Memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia,
4. Memperkokoh keyakinan dalam masyarakat dalam kesusilaan, moralitas, peri kemanusiaan, dan
ketuhanan,
5. Melatih diri untuk berdisiplin dalam cara berpikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik,
membangkitkan potensi untuk berfalsafah, yang akan memudahkan dalam menghadapi permasalahan,
memberikan wawasan yang luas sebagai bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis.
(AAM Jelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, hal. 13-14, 1999)
Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan ekspresi estetis ialah membimbing pertumbuhan pribadi manusia, di samping membuat harmonis kepribadiannya dalam kelompok sosial. Hal ini seiring dengan hakikat pendidikan estetis yang memiliki fungsi:
1. Menjaga dan memelihara kemampuan segala macam persepsi dan sensasi,
2. Mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan,
3. Mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang dapat dikomukasikan,
4. Mengekspresikan dalam wujud bentuk dari segala macam pengalaman mental.
(Katjik Sutjipto, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, 1973)
Di tinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-sifat imajinasi dan permainan yang melekat dalam seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal dan bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau displin ketat tanpa hati nurani. Disiplin seni adalah system yang akan membawa kebanggan dan keanggunan jasmaniah dan rohaniah.
Pada perkembangan jaman global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit diakomodasikan antara seni dan kehendak umum. Di satu sisi adalah kuatnya minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya local dan nilai-nilai yang dikandungnya, dan di sisi lainnya adalah tuntutan dari system pendidikan, cara pandang, pola pikir, dan kepentingan dunia global yang menempatkan seni dan budaya sebagai hal yang terpinggirkan.
Berapa banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang mahal untuk mencetak anaknya menjadi manusia yang cerdas dalam bidang eksakta? Dan berapa banyak orang tua yang peduli ketika melihat anaknya tidak bisa berbahasa daerah dengan baik dan benar? Hal ini jelas merupakan dua sisi mata uang logam yang saling berbenturan di dalam masyakarat yang semakin terbanjiri oleh informasi dan kecanggihan tekhnologi.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan begitu banyaknya seni dan budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan memiliki ke-khasan masing-masing sesuai dengan daerah lingkungan alam dan sosialnya tercerabut dari akarnya dan tumbang satu per satu.
(bersambung)
(bersambung)
0 komentar