CATATAN PEMENTASAN MENUJU MEDAN JUANG BARU
20.06.00
CATATAN
PEMENTASAN
MENUJU
MEDAN JUANG BARU
UKM-K
DOLANAN
by:
Rahman El Hakim
Seni
sebagai perwujudan dari ekspresi tertinggi manusia merupakan jalan panjang dan
dipenuhi kerikil tajam yang harus benar-benar dihadapi oleh semua manusia yang
memilih jalan untuk menerjunkan diri ke dalamnya.
Drama
(teater) sebagai satu dari beberapa pilihan yang ada di dalam ranah seni
merupakan jalan pedang yang menuntut para pelakunya untuk terus menerus
berproses mencari, menggali, dan mengeksplorasi segala hal untuk menemukan
pembaruan-pembaruan di dalam karyanya.
Pada
tanggal 17 Februari 2017, saya berkesempatan menikmati sajian pentas teater
teman-teman UKM Kesenian Dolanan Fak. Tekhnologi Pertanian yang menampilkan
naskah berjudul “Menuju Medan Juang Baru”.
Beberapa
hal yang menjadi catatan penting dan saya merasa perlu untuk menuliskannya
sebagai wujud apresiasi saya meliputi: 1) Aktor; 2) Ilustrasi; 3) Lighting.
1.
Aktor
Aktor merupakan
elemen penting yang mencitrakan dan mewujudkan teks naskah/script yang sudah
ditulis dan/atau dipilih oleh sutradara. Karena posisi inilah maka seorang
actor tidak bisa sekedarnya saja di dalam menampilkan karakter tokoh yang
diperankannya. Seorang actor membutuhkan banyak komponen dasar yang menjadi
landasan pemerannya di atas panggung.
a.
Acting
Actor-aktor yang
terlibat dalam produksi kali ini lebih banyak diisi oleh anggota-anggota baru
UKM-K Dolanan, hanya 3 orang saja yang merupakan actor yang sudah pernah
terlibat dalam produksi sebelumnya.
Hal ini
menjadikan beban yang dimiliki oleh actor-aktor yang baru memulai langkah untuk
berproses terlihat sangat berat. Vocal yang kurang maksimal, acting yang
terburu-buru ingin cepat selesai, kemampuan membangun dan menjaga tempo
permainan dan beberapa hal dasar lainnya.
Semua kekurangan
ini walaupun tidak begitu jelas tergambar tetapi masih sangat perlu untuk terus
diasah dalam latihan-latihan dasar setelah proses kali ini selesai. Jika proses
penguasaan kemampuan-kemampuan dasar teater dan keaktoran terus dilatih
sehingga menjadi kebiasaan, saya rasa semua actor yang terlibat dalam proses
kali ini memiliki potensi luar biasa untuk menggarap naskah-naskah yang lebih
serius bobotnya.
b.
Kontrol Emosi
Emosi merupakan
anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Ada banyak definisi tentang emosi
manusia, tetapi secara garis besar bisa dirangkum menjadi 8 macam: marah,
sedih, jengkel, kecewa, senang, bahagia, iri, cinta.
Emosi-emosi yang
muncul di dalam pementasan kali ini, masih belum bisa sepenuhnya bisa dikontrol
oleh para aktornya. Para actor masih belum bisa merespon suasana yang ada di
dalam naskah dan sudah diarahkan oleh sutradara. Banyak actor yang masih
terbawa pada suasana emosi lawan main sehingga dia melupakan karakter (emosi)
dari tokoh yang diperankannya sendiri.
c.
Kesadaran
Panggung
Panggung merupakan
area paling sacral, paling bebas, dan tempat di mana seorang actor menjadi
penguasanya. Panggung seberapapun ukurannya, maka tetap harus direspon, harus
disadari sehingga peran actor menjadi benar-benar hidup dan mampu memberikan
‘sesuatu’ kepada dirinya, lawan main, dan penonton.
Seorang actor
yang sadar dengan panggung adalah actor yang mampu merespon segala hal terjadi
di atas panggung, misalnya: lupa dialog, property rusak, lompat adegan, dll.
Selain itu,
kesadaran panggung juga menentukan seberapa besar seorang actor memainkan
perannya tanpa harus berlebih maupun berkurang dari yang sudah digariskan.
Begitu juga seorang actor juga harus mampu membangun motif dan momentum untuk
aktingnya.
d.
Totalitas
Seorang actor
yang sudah diberikan kepercayaan dalam sebuah produksi teater—sejak dari proses
latihan sampai pasca pementasan—harus mencurahkan tubuh, pikiran, dan batinnya
untuk menghasilkan penokohan yang benar-benar sesuai dengan keinginan sutradara
dan naskah. Tafsir perwatakan bisa saja bermacam-macam, dan kreatifitas seorang
actor benar-benar dibutuhkan untuk memberikan tawaran kepada sutradara tentang
watak, gerak, dan acting dari tokoh yang diperankan. Hal ini jelas membutuhkan
totalitas dari seorang actor.
e.
Rasa
Hal terakhir
yang harus dicapai dalam pementasan teater adalah ‘rasa’ yang merupakan tawaran
sudut pandang baru/berbeda kepada audience. Tawaran sudut pandang ini bisa saja
berupa acting, cara berdialog, cara melafalkan, dan ciri khas-ciri khas yang
dimiliki oleh setiap actor yang terlibat dalam produksi.
Pada pementasan
naskah “Menuju Medan Juang Baru” kali ini ada beberapa hal yang harus
dicermati, dikaji ulang, dan direkkonstruksi ulang baik oleh sutradara maupun
oleh actor.
1).
Witono
Sebagai tokoh
utama, pemeran Witono masih perlu untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan dasar
teaternya—vocal, mimik wajah, gestur, respon, dan kesadaran panggung—sehingga
pada produksi selanjutnya bisa lebih mengeksplorasi watak, gerak, psikologis
peran, dan juga lebih bisa merespon panggung dan lawan main.
2). Kakek Buang
Karakter Kakek
Buang sebenarnya sudah cukup bagus. Beberapa hal yang mungkin harus lebih
digali adalah tafsir mengenai usia, perawakan fisik, kebiasaan duduk, berjalan,
dan juga cara bicara. Apakah seorang kakek harus terbungkuk-bungkuk ketika
berjalan? Buat saya tidak juga, karena usia dan daerah tempat tinggal juga
berpengaruh. Laki-laki yang tinggal di desa tentu saja tidak akan sama dengan
laki-laki yang tinggal di daerah perkotaan. Vocal tentu saja seorang
laki-laki—apalagi kakek-kakek—harus berbeda dari laki-laki setengah baya atau
orang muda.
3).
Nenek Buang
Hampir sama
dengan Kakek Buang, sosok nenek yang muncul dalam pementasan sudah cukup bagus.
Karakter ‘Jawa’ dalam sosok nenek begitu kental dan muncul, walaupun volume
vocal masih sangat perlu ditingkatkan lagi. Penafsiran terhadap karakter nenek
juga perlu dieksplorasi lebih luas sehingga bisa lebih hidup dan lebih natural.
4). Supik
Karakter ‘Supik’
yang ada dibenak saya ketika membaca naskah Menuju Medan Juang Baru adalah
seorang perempuan muda (tetangga Witono) yang ceriwis, suka gosip, cerewet, dan
sok tahu. Karakter yang muncul di atas pentas adalah karakter Supik yang
terlalu terburu-buru ingin cepat selesai beradegan, ragu-ragu ketika ingin
‘moving’, dan maaf minim improvisasi ketika di atas panggung. Satu hal yang
menarik adalah volume vocal actor Supik yang cukup kuat sehingga sedikit banyak
menutupi kekurangan-kekurangan yang dimilikinya.
5). Bu Giyah
Karakter Bu
Giyah juga serupa dengan Supik, hanya saja usianya yang berbeda. Basic sifat
keduanya hampir mirip—cerewet, suka gossip, sok tahu, dan kenes—sehingga
harapannya kedua tokoh ini mampu memberikan warna berbeda ketika di atas
panggung. Yang terjadi di atas panggung, karakter Bu Giyah seolah-olah robot
yang meng-copy paste arahan sutradara dan asisten sutradara sehingga
benar-benar minim kreativitas ketika di atas panggung.
6). Teman 1 dan/atau Warga 1 (Bengi)
Ada perbedaan
yang sangat besar antara actor yang bersungguh-sungguh, setengah
bersungguh-sungguh, dan belum bersungguh-sungguh. Karakter Teman 1 dan/atau
Warga 1 yang diperankan oleh saudara Bengi sebenarnya cukup baik. Karakter
penokohan yang muncul di atas panggung cukup mampu menghidupkan adegan yang
dibebankan kepadanya. Sayangnya lawan main kurang mampu untuk merespon karakter
tersebut sehingga adegan menjadi tidak berimbang.
7). Teman 2 dan/atau Warga 2
Karakter Teman 2
dan/atau Warga 2 belum begitu Nampak. Hal ini mungkin disebabkan
kemampuan-kemampuan dasar teater—seperti halnya actor Supik, Bu Giyah, dan
Nenek—belum begitu dikuasai. Termasuk juga waktu proses latihan yang kurang
maksimal menyebabkan perbedaan yang mencolok antara karakter Teman 1 dan/atau
Warga 1 dengan Teman 2 dan/atau Warga 2.
8). Teman 3 (Kacang)
Seperti halnya
karakter Teman 1 dan/atau Warga 1, karakter Teman 3 sudah cukup mampu
menghidupkan karakter yang dipercayakan kepadanya. Tetapi stamina dan
konsentrasi masih perlu ditingkatkan lagi. Improvisasi dan kreatifitas ketika
di atas panggung adalah tawaran seorang actor kepada sutradara dengan catatan
tidak melenceng dari frame yang sudah ditentukan naskah dan sutradara.
9). Hendra
Tokoh Hendra
kehilangan powernya ketika dia berada pada adegan yang penting sebagai awalan
untuk menuju pada klimaks cerita. Tokoh Hendra yang muncul di atas panggung
adalah tokoh Hendra yang kehilangan konsentrasi, focus, dan keyakinannya pada
karakter yang dibawakannya.
10).
Pak Giyon
Tokoh yang saya
puji sekaligus saya caci. Pak Giyon yang muncul di atas panggung adalah
karakter Pak Giyon yang memiliki power keaktoran paling baik jika dibandingkan
dengan actor lainnya. Pak Giyon yang muncul di atas panggung adalah sosok
laki-laki muda kaya, punya harta melimpah, sok modern, tidak memiliki
pendidikan yang cukup, dan suka memerintah.
Karakter ini
cukup mampu menghidupkan dan menaikkan tensi permainan ketika actor lain
terlalu lambat memainkan tempo permainan. Pak Giyon yang muncul di atas
panggung terlihat begitu kuat powernya sehingga ketika dia beradegan dengan
Kakek Buang, adegannya menjadi sebuah point tersendiri.
Satu hal yang
saya sayangkan adalah control emosi, kesadaran panggung, dan kreatifitas dari
actor Pak Giyon yang belum mampu untuk melepaskan diri dari bayang-bayang peran
sebelumnya. Hal ini membuat improvisasi actor Pak Giyon menjadi sedikit
tanggung.
2.
Ilustrasi
Perbedaan
mendasar antara pentas music dengan ilustrasi teater adalah pentas music
memainkan alat music untuk menghasilkan nada yang ditujukan untuk dirinya
sendiri. Ilustrasi Teater tentu saja berbeda karena music yang dimainkan harus
mengiringi dan menciptakan suasana yang sesuai dengan adegan demi adegan yang
ada di atas panggung.
Pembiasaan,
eksplorasi, literature, dan sering menonton pementasan besar dari
kelompok-kelompok seni lain merupakan cara untuk mengasah kepekaan seorang
illustrator music yang nantinya bisa dia kembangkan ketika mengiringi sebuah
pementasan.
Konsentrasi,
totalitas, dan sikap merupakan komponen-komponen dasar yang harus terus menerus
ditanamkan di dalam diri masing-masing pemain music yang dipercaya menjadi
illustrator sebuah pementasan.
3.
Lighting
Hampir di semua pementasan teater yang dilakukan
oleh teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian yang ada di kampus
memiliki permasalahan yang sama ketika membahas ‘lighting’, yaitu kurangnya
penguasaan terhadap alat—lampu, tabung, dan dimmer—menjadi kompenen utamanya.
Selain music ilustrasi, lighting adalah komponen
penting dalam mendukung sebuah pementasan. Pencahayaan yang baik akan mampu
menghidupkan dan memberikan dimensi suasana berbeda baik kepada actor dan juga
audience.
Berbeda dengan music ilustrasi, lighting hampir
tidak pernah berlatih untuk menguasai atau bahkan menciptakan pencahayaan yang
menarik ketika pementasan berlangsung. Pencahayaan (lighting) umumnya disetting
sebelum acara dimulai (H-1 atau H-2), sehingga lighting sangat sering kurang
sesuai dengan adegan yang sedang terjadi.
Secara
personal saya mengucapkan “Selamat” kepada teman-teman UKM-K Dolanan Fakultas
Tekhnologi Pertanian yang telah berani dan menyelesaikan pementasan “Menuju
Medan Juang Baru”.
“Bertarung melawan harimau harus menggunakan seluruh
kemampun, bertarung melawan semut pun menggunakan seluruh kemampuan,” begitu yang pernah disampaikan orang bijak jaman
dahulu. Artinya dalam setiap proses penggarapan teater, seorang actor,
sutradara, pemusik, lighting-man, dan kru harus benar-benar mengerahkan segenap
kemampuan terbaiknya untuk menghasilkan sebuah pementasan yang memuaskan.
Salam
Jember, 20 Februari 2017
18.00 wib
karena manusia
harus menulis sejarahnya
dengan kata pun bukti nyata
CINTA
0 komentar