PENTAS, KRETEK, DAN WAJAHMU

00.59.00


Langit mulai dihiasi mendung, angin berembus semakin kencang. Dingin. Aku mulai menyalakan sebatang kretek untuk mengusir kejengkelan yang perlahan tumbuh di kepalaku.
Ke mana anak-anak ini? Dekorasi masih belum selesai, mereka malah belum muncul juga. Ingin aku memaki mereka jika sudah muncul. Aku sudah hampir satu jam lamanya menunggu dan mereka belum muncul juga. Mau melanjutkan nyetting panggung, perkakas dan kawat untuk trek keber malah nggak jelas ditaruh di mana. Ruang serba guna PKM semrawut oleh barang-barang persiapan pentas besok malam. Tidak ada sebatang hidungpun yang menjaganya. Jancuk…!
“Sudah tadi, El? Maaf, aku baru datang ngambil perlengkapan di Gesek. Aku kira anak-anak masih di sini…”
Suara berat Udheng menyerbu gendang telingaku. Lamunan yang berisi caci maki buyar seperti asap kretek di tanganku. Aku hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
Hujan akhirnya tumpah dengan derasnya, aku beranjak masuk ke ruangan PKM. Kulihat Udheng sedang mencari-cari sesuatu. Aku yakin dia juga mencari perkakas untuk melanjutkan nyetting panggung. Waktunya makin mendesak.
“Nyari perkakas? Aku sudah sejam nyari, hampr gila, nggak ketemu. Jancuk ancene!
Udheng menghentikan usahanya, dan berbalik menatapku.
Opo’o kon? Tumben misuh?
“Harusnya setting panggung ini sudah selesai kemarin. Mosok nyetting PKM ae telung dino ra mari-mari! Wes ngono, awa’e dewe isih kudu turun tangan! Bah! Kapan mereka mau benar-benar belajar?”
“Hahahaha…”
Udheng malah tertawa keras mendegar makianku.
“Ayo nggolek kopi…”
***
“Ada banyak hal yang kita lupakan dalam proses kita selama ini. Kita hanya mengedepankan diskusi dan segala macamnya, tetapi lupa mewariskan tentang bagaimana melakukan proses itu sendiri.”
Aku mendengarkan saja omongannya tanpa berusaha menyela. Kusesap kopi yang masih mengepul degan separuh kejengkelan yang masih bergemuruh di dadaku.
Jancuk…!
Lidahku mati rasa terkena kopi panas. Udheng melirikku dan melanjutkan perkataannya.
“Aku tahu kenapa kau ingin merubah semua itu, tapi kalau kau muring-muring, opo yo dadi?
“Aku tahu! Semua itu harus disampaikan dengan perlahan dan pada waktu yang pas. Tapi iki wes darurat, wes mendesak! Sesuk wes acara, setting sik durung mari! Mosok kate dijarno?
Udheng menghela nafas panjang. Terdiam dan merenung. Kebisuan meraja di antara kami. Kebisuan yang serupa tali gaib dan mencekik leher kami berdua.
“Ayo balek nang PKM. Aku kate ngumpulno arek-arek!
***
“Maaf, Mas… ini acaranya kapan ya? Gratis atau ada tiket masuknya?”
Aku tergagap mendengar pertanyaan itu. Keasyikanku menata instalasi reranting, serbuk gergajian, dan dedaunan jadi berantakan. Sial! Aku menoleh, dan hampir saja menumpahkan sebuk gergajian ke muka oval itu.
Tuhanku…!
Ingin aku berteriak sekuat yang aku mampu. Wajah itu, wajah yang mengingatkan aku pada wajah yang sepuluh tahun lalu aku pendam di ruang rahasia batinku. Wajah oval dengan dekik di pipi yang segar merona. Tuhanku…!
“Mas…?”
Suara bernada heran itu mengembalikanku ke alam nyata. Jelas aku salah tingkah dan aku yakin cewek di depanku sekarang setengah tersenyum setengah ingin tertawa melihat sikapku.
Mbok ya dijawab to? Jo mung di delok raine tok! Engkok blayu lho, ngiro awakmu kesurupan utowo edan…
Udheng tiba-tiba nyletuk dari balik keber. Dia menepuk punggungku dengan senyum menggoda dan wajah tanpa dosa. Jancuk…! Aku benar-benar salah tingkah. Kerongkonganku tercekat tak mampu bersuara.
“Acaranya besok malam, Mbak. Tiketnya… cukup Mbak-nya senyum saja sama temen saya ini.”
Jancuk…! Cangkemmu, Cok…!
“Hahahaha… lha awakmu ra wani ngomong e? Aku ae wes sing wakili. Hahaha…”
Kulihat cewek itu hanya tersenyum mendengar ocehan kami. Sepertinya dia merasa aneh dengan percakapan kami yang ngelantur.
“Gratis berarti, Mas? Atau… tiketnya memang seperti itu?
Nah, ndang dijawab. Aku ra melu-melu wes….
Bukannya meladeni guyonan itu, Udheng malah ngluyur pergi ke dalam ruang PKM. Aku jadi makin salah tingkah dan glagapan dibuatnya.
“Eeee… acaranya memang memang masih besok malam, dan gratis kok…”
Aku tak mampu melanjutkan kalimatku. Wajah oval itu memperhatikanku dan aku kehilangan konsentrasi. Pikiranku jadi ‘blank’, kosong melompong.
“Ooo…”
Jawaban disertai senyum setengah tertawa itu makin membuatku gugup.
“Iyya… kalau mau bayar tiket dengan senyuman juga boleh.”
Entah keberanian dari mana sehingga aku memberanikan diri membalas senyum setengah tertawa itu. Kulihat wajah oval itu terbelalak. Aku jadi makin berani untuk menggodanya. Aku tidak perduli akan dianggap kurang ajar. Biar saja! Siapa suruh dia membuatku gugup dan salah tingkah?
“Tapi… bayar tiket senyumnya sama aku saja. Gimana?”
Wajah oval itu makin membelalak, pipinya merona, dan tiba-tiba tertawa lepas. Tuhanku…!
“Hahaha… apa anak teater itu memang pandai acting ya?”
“Maksudnya?”
“Tadi Mas-nya salah tingkah, gugup, dan diem. Eh, tiba-tiba malah berani ngomong seperti itu”
Aku tidak menyahut. Aku malah tertawa menyembunyikan perasaanku yang berkecamuk di dalam dada. Andai saja kau tahu apa yang aku rasakan sekarang ketika pertama kali melihat wajahmu, aku tidak yakin kamu akan mau ngobrol denganku. Andai kamu tahu apa yang ada di pikiranku sekarang, aku yakin kamu akan menganggap aku laki-laki kurang ajar. Ah…
“Ya, nggak tentu. Kalau di atas pentas memang harus beracting. Ketika menghadap dosen yang lumayan killer, ya harus bias acting. Nah, kalau sama orang cantik itu yang susah…”
“Kok susah?”
“Iya, susah banget. Mau acting pasti langsung ketahuan. Nggak acting jadinya ya kayak tadi itu, gugup dan salah tingkah. Susah kan?”
“Hahaha… iya wes sak kareppe sampeyan. Makasih ya, Mas. Mungkin besok saya nonton pementasannya.”
Tanpa menunggu jawabanku, wajah oval dengan dekik di pipinya berjalan ke motornya. Pergi. Aku melongo. Ada sesuatu yang menggeliat di dalam hatiku. Perih!
***
Kon ra ngerti jenenge? Ngobrol sak mono suwine, lali ra takok jenenge? Lha terus ngomong opo ae? Jan…
Udheng geleng-geleng kepala mendengar ceritaku bahwa aku lupa menanyakan nama pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya itu. Aku tidak menjawabnya. Mau menjawab bagaimana? Kenyataannya memang begitu kok!
Yo wes, dungo ae. Mugo-mugo cewek kuwi sido nontok acarane awa’e dewe. Awakmu lak wes suwi ra tau dungo! Hahaha…”
Aku tidak tahu harus bagaimana menjawab semua ucapan Udheng. Aku benar-benar menjadi makhluk paling goblok saat ini. Diam salah, jawab malah akan tambah diejek oleh bajingan jelek satu ini.
“Kalau dia benar-benar datang, aku mau baca sajak. Aku mau nembak dia malam ini dari atas panggung.”
“Serius? Beneran?”
“Iya…”
Wani tenanan yo? Taruhane opo?
“Taruhan apanya?”
“Ya untuk memastikan kamu benar-benar berani nembak dia lah…”
“Kalau aku nggak berani, aku yang nanggung konsumsinya anak-anak panitia. Tapi kalau aku berani piye?”
“Kopi, Diplomat sak pres. Deal?”
“Deeal…!”
***
Piye? Keto’e cewek kuwi ra teko. Acara kate dimulai, paling limang menit ngkas…”
Aku tak mengacuhkan omongannya Udheng. Mataku terlalu fokus pada gerbang PKM. Aku yakin wajah oval dengan dekik di pipinya itu akan datang. Entah apa yang membuatku memiliki keyakinan itu. Sebenarnya aku juga gelisah, bolak-balik kulirik jam tanganku.
“Sudah mulai acaranya, Mas?”
Deg! Suara ini yang aku tunggu sejak tadi. Suara dari wajah oval dengan dekik di pipinya. Lampu yang temaram menyembunyikan rona merah dan kegembiraanku melihat kehadirannya.
“Belumlah… kan nunggu penonton spesial?”
“Maksudnya?”
“Ya penonton spesial lah…”
Aku tidak melanjutkan omonganku, takut keceplosan dan efeknya malah tidak mengenakkan.
“Ayo masuk. Jangan lupa isi daftar hadir dulu…”
“Sini, Mbak… isi nama, fakultas, dan dari UKM mana, tanda tangan, kalau perlu sekalian nomer HP sama pin BBm. Iya kan, Bang?”
Aku mendelik sama Bletok yang ngoceh seenaknya. Aku nggak nyangka dia akan ngomong seperti itu. Aku tahu dia berniat baik, bantuin aku, tapi bukan begitu caranya. Jangan-jangan aku disangka memanfaatkan situasi.
Wes, jo dirungukno omongane. Isi sak ene’e ae…
“Ciiieeee… Abang? Tumben baik banget? Jangan-jangan…”
Kulihat wajah oval dengan dekik dipipinya itu hanya tersenyum mendengar ocehan Bletok. Selesai mengisi daftar hadir, dia sudah mau beranjak masuk ke ruangan, suara Bletok mencegahnya.
“Lho, Mbak… nomer HP-nya mana? Kan tadi saya minta ngisi yang lengkap? Kalau nggak diisi, ya berarti nggak usah dikasih stiker pementasan.”
Aku mendelik, ingin kuremas mulutnya yang usil itu.
“Beneran harus lengkap dengan nomer HP dan pin BBm? Lainnya nggak ada kok?”
“Lho mbak ini spesial, khusus gitu…”
Wajah oval dengan dekik di pipinya itu mengerutkan kening, heran. Sedetik kemudian dia benar-benar menuliskan nomer HP dan pin BBm-nya di kolom keterangan. Bletok aku lihat senyam senyum menjengkelkan. Dia memberikan stiker pementasan dan cepat-cepat menyembunyikan daftar hadir itu dari hadapanku.
“Selamat menikmati pertunjukan kami…”
Aku berjalan di depannya, menjadi penunjuk jalan. Lampu sudah dipadamkan dan bersisa lampu fokus di panggung. Pemandangan gelap dan sunyi. Aku membawanya ke tempat yang sudah aku siapkan sore harinya. Tepat di tengah belakang penonton, jadi pemandangan dari arah itu menjadi lengkap dan luas.
“Mbak… saya tinggal dulu ya. Saya mau membantu teman-teman mempersiapkan property. Silahkan dinikmati pementasan kami…”
“Oke, Mas…”
***
Suara jimbe diselingi suara gitar akustik mengalun perlahan. Lighting perlahan menyala menyinari para aktor yang memainkan peran masing-masing di atas panggung.
Rek… aku jaluk waktune sepuluh menit yo. Aku kate moco sajak.
“Lho, Mas… kan nggak ada di susunan acara?”
“Ya, setelah pementasan naskah pertama, sebelum naskah kedua. Anggaplah selingan sambil mempersiapkan property naskah kedua…”
“Oke, Mas… sampeyan sampaikan saja sama Gasing dan Selang yang jadi MC.”
Aku segera mencari dua orang MC dengan meraba-raba. Di belakang panggung hampir tiada penerangan apapun. Gelap gulita.
“Rek… sebelum naskah kedua, aku jaluk waktu sepuluh menit gae moco sajak…”
Gasing dan Selang saling berpandangan sebentar. Mereka kebingungan karena di susunan acara tidak tercantum pembacaan sajak. Aku tersenyum pada mereka untuk meyakinkan mereka.
“Aku wes ngomong sama ketua panitia. Tenang saja aku nggak kira ngerusuh…”
Mereka mengangguk walau menyimpan seribu pertanyaan di dalam benaknya. Tidak biasanya aku membuat sesuatu di luar susunan acara yang sudah disepakati. Mereka pasti bertanya-tanya ada apa denganku? Aku cuek saja. Aku harus benar-benar memberanikan diri kali ini.
Ruang serba guna PKM bergemuruh oleh tepuk tangan penonton. Ada juga suitan dan celoteh di sela tepuk tangan itu.
“Terima kasih. Sekarang, sambil menunggu persiapan pementasan naskah kedua, ijinkan saya membacakan sajak…”
Beberapa penonton kulihat berbisik-bisik dan berteriak mendengar ucapanku.
Lek… wes tuwek, wes wayahe dadi penonton…
Kulihat Krisna dari DKK setengah berteriak mengomentariku sambil tertawa. Aku tersenyum melambaikan tangan. Aku mengambil nafas dan berkonstrasi sebelum memulai membaca sajak yang aku tulis khusus kepada pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya.
“Sebuah sajak yang saya khususkan kepada seseorang yang malam ini hadir menonton pementasan ini. Seseorang yang kemarin membuat saya salah tingkah, gugup, dan merasa menjadi makhluk paling bodoh sedunia…”
Aku menghela nafas sebentar, mataku melihat ke arah paling belakang penonton. Tempat pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya berada.
SESEORANG YANG KUPANGGIL

siapakah kau yang tancapkan gelisah
yang hunjamkan khayal dan resah
ataukah ini hanya ingatan sejenak
berenang menyusuri sekian ratus jarak

siapakah engkau yang tetaskan rindu
di ritmis nyanyian hujan
juga di embus angin
malam ini

lantas ke mana kunyalakan harapan
atau kutunggu saja sampai kau
datang bawa pelita
semesta

O…

Aku terdiam meresapi kata perkata yang aku ucapkan dari untaian sajak yang aku baca. Aku tidak peduli reaksi penonton akan seperti apa. Aku hanya ingin menyampaikan perasaanku kepada pemilik wajah itu. Aku tidak peduli apakah sajakku itu layak dan pantas disebut sajak. Aku juga tidak perduli apakah suaraku jelek atau tidak menarik. Aku hanya ingin benar-benar menyampaikan perasaanku kepada pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya. Aku ingin dia tahu bahwa hatiku telah terpaut kepadanya.
“Suuuuiiiittt… suuuiiiittt…”
Kesenyapan berganti tepuk tangan dan gemuruh suitan penonton.
Lek… kon nembak arek yo? Sing ndi are’e?
Krisna tiba-tiba berdiri dan melihat ke seluruh ruangan. Penonton lainpun mulai menduga-duga siapa orangnya yang menjadi tujuan sajakku. Aku tersenyum melihat reaksi penonton yang di luar dugaan. Mataku melihat lurus ke arah penonton paling belakang. Berharap dapat melihat reaksi pemilik wajah oval dengan wajah dekik di pipinya itu. Sayang penerangan yang terbatas tak mampu memberikan jawaban dari pertanyaanku.
“Terima kasih… terima kasih… selanjutnya kita nikmati pementasan naskah kedua…”
Hooooiii, Lek… are’e sing ndi?
Kembali Krisna berteriak dari sela-sela penonton. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan sambil berjalan ke belakang panggung.
“Piye perjanjian masih berlaku kan?”
“Masihlah. Tenang ae, wes temui are’e. aku pengen dengar kelanjutannya seperti apa? Sepertinya menarik…”
Udheng menepuk bahuku, menyuruhku menemui pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya. Aku mengacungkan jempol mengiyakan sambil berjalan kea rah penonton paling belakang.
“Sajaknya bagus. Mas sering nulis sajak ya?”
Pemilik wajah oval  itu langsung menyambutku dengan pertanyaan begitu aku duduk di sampingnya. Aku tersenyum—senyum paling manis menurutku—dan mengangguk.
Apakah dia nggak tahu kalau sajak yang aku baca tadi aku khususkan untuknya?
Aku melirik wajahnya. Pandangan matanya terlihat fokus pada pementasan. Tak ada tanda-tanda seperti yang aku harapkan. Ah, mungkinkah? Seribu duga prasangka berkelebat di benakku.
“Kenapa, Mas?”
Aku terkejut, juga malu. Apakah aku memang sudah tidak bias menyembunyikan perasaanku?
“Ah, nggak. Nggak apa-apa kok.”
Wajah oval dengan dekik di pipinya itu tersenyum mendengar jawabanku. Aku berusaha mengalihkan kegelisahanku dengan bertanya namanya. Kulihat keningnya berkerut.
“Maaf, Mas… sepertinya tadi dibacakan tata tertib menonton pementasan ya?”
Jancuk! Aku misuh dalam hati. Ini namanya senjata makan tuan. Aku yang tahu tata tertib pementasan sekarang ditegur dengan tata tertib itu. Aku benar-benar mati kutu. Aku berdiri dan melangkah keluar. Aku benar-benar malu dengan sikapku. Tuhanku…!
***
“Marah ya, Mas? Maaf ya kalau omonganku menyinggung, Mas…”
Suara itu tiba-tiba terdengar di sampingku. Mungkin pementasan sudah selesai, dan sekarang sedang persiapan apresiasi. Entah sudah berapa lama aku duduk sendiri di tempat parkir depan gedung PKM, yang kutahu ada enam tujuh punting kretek menggeletak di bawah kakiku.
“Tidak! Tidak apa-apa. Aku yang seharusnya minta maaf karena telah menyalahi tata tertib menonton pementasan, dan mengganggu keasyikanmu menonton pementasan.”
Pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya itu menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Aku menggeser dudukku, memberinya tempat untuk duduk.
“Tahu dari siapa kalau aku ada di sini? “
Dia hanya tersenyum sebagai jawaban pertanyaanku.
“Namanya aneh ya? Unik juga. El. Baru sekarang ini aku tahu ada nama yang aneh dan unik.”
Aku menoleh, menatap wajahnya. Dia tahu namaku, dan sampai saat ini aku belum tahu namanya. Harusnya tadi aku bertanya sama Bletok nama dan keterangan lainnya tentang dia. Ah, benar-benar aku ini kehilangan logikaku.
“Aku tanya sama mbak yang jaga pintu masuk tadi. Dia yang ngasih tahu kalau Mas ada di sini, juga ngasih tahu nama Mas…”
“Terus…?”
“Ya, aku ke sini. Penasaran, dan juga mau minta maaf karena sikapku tadi…”
Aku diam saja menghisap kretek yang hampir habis dalam-dalam. Mengembuskan asapnya menjadi bulatan-bulatan asap yang segera buyar diterpa angin. Pikiranku dipenuhi banyak hal. Berkecamuk!
“Boleh aku menciummu?”
Entah setan dari mana yang menuntun mulutku mengucapkan kalimat itu. Aku sendiri tidak menyadari mulutku akan mengeluarkan kalimat itu.
Plaaakk!!!
Tamparan itu mendarat di pipiku. Tanpa sepatah katapun dia bergegas meninggalkanku. Terburu-buru dia menaiki dan menyalakan motornya. Pergi membawa kemarahan kepadaku.
Aku terpaku merenungkan kebodohan yang telah aku lakukan. Tidak! Aku aku tidak marah kepadanya. Aku tahu, aku telah menyinggung dan melukai perasaannya. Aku juga tahu, aku telah melemparkan diriku ke jurang kehinaan yang tak termaafkan. Tuhanku…!
***
“Apapun yang terjadi sekarang, perjanjian kita masih berlaku. Aku sudah siapkan hadiah taruhan kita, karena aku tahu kau pasti melakukannya…”
Udheng menyerahkan satu press Diplomat, menaruhnya di sampingku.
“Suwun…”
“Ini, Bang…”
Bletok memberikan kopi yang diwadahi gelas plastic dan lembaran kertas.
“Ini apa?”
“Daftar hadir penonton. Aku rasa Abang pasti membutuhkannya. Barusan aku ambil dan bawa ke sini.”
Aku mengamati lembaran kertas itu. Mengambil dan menaruhnya di sampingku, dekat satu press Diplomat.
“Aku ambek Bletok neng jero yo. Kate barengi arek-arek apresiasi sekalian evaluasi.”
Aku hanya mengangguk. Mataku menatap ke kejauhan, entah langit atau sesuatu yang tidak jelas. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Bagaimana caranya aku meminta maaf pada pemilik wajah oval dengan dekik di pipinya? Ah…
Goblok! Kenapa aku nggak tanya sama Bletok? Bletok? Sebentar… bukankah tadi dia menyerahkan lembaran daftar hadir penonton? Buru-buru aku mengambil lembar hadir yang tergeletak di sampingku. Mataku jelalatan membaca satu persatu nama-nama penonton yang hadir. Nah, ini dia. Dapat!
“Nu…”
Blep…!
“Aaaaaa…”
Seluruh kampus tiba-tiba gelap gulita. Listrk padam.
Jancuk! Giliran sudah ketemu, eh malah mati listrik. Di dalam ruang PKM terdengar gaduh. Pasti anak-anak panitia kebingungan dengan kejadian ini. Aku meraba-raba saku celana mencari HP-ku. Plak! HP-ku ka nada di tas kecil yang biasa aku cangklong. Tadi sebelum baca sajak, aku menaruhnya di belakang panggung dan belum sempat aku ambil.
“Aaaaaaaarrrrggggg…!”
Aku berteriak sekuatnya melepaskan kejengkelan, marah, dan semua yang bercampur aduk di kepalaku.
***
Tok! Tok! Tok!
Huh…! Siapa sih? Nggak tahu orang lagi capek apa?
“Siapa…?”
“Aku, Vi… Bella…”
Dengan malas Vivi beranjak turun dari tempat tidur. Klik!
“Kamu kenapa? Nggak keluar sama sekali? Sudah seminggu ini, kuliah langsung pulang kost-an…”
Mulut nyinyir Bella melontarkan pertanyaan-pertanyaan seperti berondongan peluru dari senapan serbu. Vivi nggak menjawab, malah mendorong Bella keluar kamar dan menutup pintu.
“Eee… malah ngusir? Kenapa sih?”
Bella menahan daun pintu agar nggak ditutup. Akhirnya Vivi membiarkan Bella masuk ke kamarnya. Dia memilih melemparkan tubuhnya ke kasur, mengacuhkan Bella yang makin kebingungan.
“Nggak mau cerita? Sudah nggak nganggap aku sahabat?”
Kembali Bella melontarkan pertanyaan, kali ini dengan nada yang sedikit berhati-hati. Vivi hanya melirik sebentar dan menghela nafas panjang. Pada makhluk satu ini dia memang nggak pernah bias menyembunyikan masalahnya.
Vivi bangun dan berdiri di dekat jendela. Menghela nafas panjang dan menatap ke kejauhan. Melamun.
“Lihat saja panggilan tak terjawab dan pesan di HP-ku.”
Bella mencari-cari sebentar. Dilihatnya ada sekitar 100 panggilan tak terjawab. Kemarin dan kemarin lusa juga sama. Ada lebih 75 pesan dari nomer yang sama dengan nomer yang melakukan panggilan tak terjawab itu. Nomer tanpa identitas.
“Gila…! Ini beneran? Serius?”
Dilihatnya Vivi mengangguk.
“Siapa? Kenapa?”
“Orang gila, sinting, gendeng, dan kurang ajar!”
“Maksudnya? Masak orang gila bisa nelpon dan sms berkali-kali?”
“Ah, embuh…! Kamu malah nambahi mumet kepalaku!”
“Lho, aku kan memang nggak ngerti. Ini cowok?”
“Iyyaaaa…”
“Ooo… terus?”
“Iya nggak terus-terus!”
Bella melongo mendengar jawaban itu. Tidak biasanya Vivi uring-uringan, bahkan marah seperti ini.
“Dia itu anak teater, ketemu di PKM pas pementasan teater malam Minggu kemarin.”
“Terus…?”
“Nggak terus-terusan…!!!”
“Lha kan ceritamu belum selesai?”
“Makanya dengarkan saja, nggak usah koment!”
“Iya… iya… aku dengarkan…”
“Sebenarnya aku ketemu dia sore sebelumnya. Waktu itu dia lagi nyetting pintu masuk ruang pementasan…”
Vivi menghela nafas sebentar. Perlahan dia mendekati dan membuka jendela. Matanya memandang ke luar jendela.
“E… eee…”
“Kalau kamu masih menyela, aku nggak jadi cerita!”
Bella terdiam. Wah gawat nih. Urgen banget sepertinya. Empat semester berteman, baru kali ini Vivi jadi galak macam macan betina seperti sekarang.
“Malam pementasan, tiba-tiba dia baca sajak yang ditujukan padaku. Dia nembak aku…”
“Whaaaaattt…?”
Vivi menoleh mendelik ke arah Bella.
“Sorry… sorry…”
Bella menahan kekagetannya sambil mendekap mulutnya. Seulas senyum mengembang di bibir Vivi melihat sikap Bella.
“Aku ya kaget, dan pura-pura nggak tahu. Lha wong aku nggak kenal dia…”
Kebisuan menjalar di antara mereka berdua. Vivi melirik sebentar ke arah Bella yang masih mendekap mulutnya sambil menggeleng-gelengkan kepala, menahan hasrat untuk berkomentar.
“Selesai baca sajak, dia mendatangiku, bertanya segala hal. Aku jadi risih dan mengingatkannya bahwa saat itu pementasan masih berlangsung. Dia kaget dan meninggalkanku. Ketika acara selesai, aku mencarinya untuk minta maaf. Aku bertanya pada panitia. Dia duduk di tempat parkir sendirian…”
Vivi menghentikan ceritanya, mengambil nafas dan berjalan ke arah Bella.
“Tahukah kau, apa yang terjadi setelah selanjutnya?”
Bella hanya menggelengkan kepalanya. Vivi mengerutkan kening melihat hal itu, dan tiba-tiba tertawa.
“Hahaha… kau boleh koment, tapi setelah aku selesai cerita.”
Bella menghela nafas lega. Dia tahu cerita Vivi benar-benar aneh, dan mirip cerita sinetron.
“Aku menamparnya!”
“Whaaaat…! Beneran? Suer?”
Vivi menganggukkan kepala. Bella kaget setengah mati. Diraihnya kedua tangan Vivi dan dilihatnya berkali-kali.
“Beneran kamu menamparnya?”
“Iyyyaaaaa, Beelll…”
“Kenapa?”
“Dia kurang ajar kok! Gila, sinting bin edan!”
“Kok…?”
“Ketika aku duduk di sampingnya, tiba-tiba dia bilang begini: Boleh aku menciummu? Aku kaget mendengarnya, dan spontan tanganku menampar wajahnya. Memangnya dia siapa? Kenal saja nggak! Eh, malah ngomong kayak gitu. Gila kan?”
Bella terdiam tidak menjawab pertanyaan itu. Benaknya sibuk merangkai dan mengaitkan cerita Vivi dengan sikap Vivi selama seminggu ini.
“Jadi yang nelpon dan sms kamu berkali-kali itu dia?”
“Ya…”
“Kenapa nggak kamu angkat atau baca sms-nya?”
“Apa untungnya buatku?!”
Bella mengendikkan bahunya. Susah juga. Dia tahu Vivi merasa dilecehkan dan dihina, dan Bella yakin cowok itu ingin minta maaf. Bella jadi penasaran seperti apa sih cowok yang telah membuat Vivi marah?
“Ganteng nggak?”
Vivi berbalik mendengar pertanyaan Bella. Dahinya mengernyit berusaha mencerna ke mana arah pertanyaan Bella.
“Kalau ganteng, kenalkan aku saja. Siapa tahu…”
“Ya sudah sana kamu temui dia! Pergi sana…”
“Hahaha…”
“Malah ketawa. Sana pergi…”
“Ikut aku yuk…! Malam ini aku mau ke Macapat, ngerjakan tugas kelompok sambil refreshing…”
“Capek aku…”
“Aku jemput jam tujuh ya…”
Bella berdiri dan berjalan ke luar. Sesaat sebelum benar-benar keluar kamar dia masih menoleh pada Vivi.
“Kasihkan aku saja kalau kau memang nggak mau. Sepertinya menarik punya pacar anak teater…”
“Ahhh… Pergi! Pergi!”
***
“Boleh aku duduk?”
Suara itu membuyarkan lamunan Vivi. Dia seperti pernah tahu dengan suara itu, tapi di mana? Perlahan diliriknya pemilik suara itu. Deg! Laki-laki kurang ajar, gila, sinting bin edan itu yang sekarang berdiri di depannya dan meminta ijin duduk di sampingnya.
“Aaaaahhhh…!!!”
“Ada apa, Vi?”
Bella mendatanginya dengan cemas. Dia memegang tangan Vivi, kemudian beralih pada laki-laki yang berdiri di depan tempat duduk Vivi.
“Vi…? Ada apa?”
Bella mengguncang bahu Vivi, sedang wajahnya melihat pada laki-laki itu.
“Maaf, aku tidak bermaksud jelek. Aku hanya ingin minta maaf…”
Laki-laki itu tampak gugup melihat reaksi Vivi. Wajahnya dipenuhi rasa malu dan bersalah.
“Mas siapa?”
“Seseorang yang pernah berbuat salah dan ingin minta maaf…”
Bella mengerutkan dahi, bingung dengan jawaban tersebut.
“Bell… antarkan aku pulang!”
Laki-laki itu terkejut, wajahnya tampak putus asa. Dia menatap Bella seakan minta tolong untuk membantunya.
“Bell… antarkan aku pulang sekarang!”
Bella menatap wajah Vivi. Dilihatnya rona kemarahan berpijar seperti bara api yang akan membakar apa saja yang menghalanginya.
“Ah, aku benar-benar mau minta maaf untuk kekurangajaranku waktu itu…”
Spontan Bella menatap laki-laki itu. Jangan-jangan laki-laki ini yang diceritakan Vivi tadi sore? Kalau memang benar, dia harus memberikan kesempatan agar permasalahan di antara mereka terselesaikan.
“Aku belum selesai, Vi…”
“Oke, aku pulang sendiri!”
“Kamu kenapa sih? Aku tidak mau mencampuri privasimu, tapi masalah itu ada untuk diselesaikan bukan untuk dibiarkan begitu saja. Ada baiknya kau dengarkan dulu apa yang mau disampaikan sama…”
“El… El namaku…”
“Nah, kau dengarkan dulu apa yang mau disampaikan El…”
Vivi tidak mengacuhkan semua uraian Bella. Dia bergegas pergi meninggalkan Macapat. Bella kaget dan kebingungan melihatnya. Dia menoleh pada El. Dia khawatir Vivi makin marah kepadanya, tetapi tugas kelompoknya juga belum selesai.
“Kamu percaya aku nggak akan macam-macam sama temanmu?”
Bella diam saja. Benaknya dipenuhi berbagai macam pertimbangan.
“Biar aku yang menyusulnya. Kamu tenang saja. Kalau ada apa-apa, kamu tanya sama anak-anak dekat kasir itu.”
Bella akhirnya mengangguk.
“Tapi…”
“Tenang saja. Beri aku 15-30 menit untuk menyelesaikan permasalahan ini. Setelah itu kamu boleh menyusul. Ini nomer HP-ku…”
El menyebutkan nomer HP-nya dan segera menyusul Vivi. Dilihatnya Vivi berjalan sambil menunduk. Terburu-buru dijajarinya langkah Vivi.
“Siapa yang menyuruhmu mengejarku? Bella?”
“Tidak ada. Malah aku menyusuh Bella menunggu di Macapat…”
Vivi menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam wajah El. Pandang mata mereka bertumbukan. Ada bahasa yang tidak terucapkan dalam kata-kata. Vivi menunduk dan mengalihkan pandangannya.
“Apa maumu?”
“Minta maaf untuk semua sikapku pada malam Minggu kemarin. Aku tahu, aku telah melakukan kesalahan besar yang membuatmu sangat marah…”
El menghentikan ucapannya sejenak, menunggu reaksi Vivi. Ketika dilihatnya Vivi diam saja, dilanjutkannya perkataannya.
“E… eee… gimana kalau kita duduk dulu di pinggir situ. Nggak enak bicara sambil berdiri, lagian ganggu pemakai jalan lainnya…”
“Oke…”
El tersenyum samar mendengar jawaban itu. Dilangkahkannya kakinya ke pelataran tempat parkir PKM.
“Kau tahu, di tempat ini malam Minggu kemarin aku melakukan hal paling bodoh dalam hidupku. Dan di tempat ini pula kau menamparku…”
Vivi kaget mendengar kalimat itu. Baru disadarinya, El membawanya ke pelataran tempat parkir PKM.
“Aku sungguh-sungguh minta maaf. Kalau kau masih belum puas, kau boleh menamparku lagi…”
Hhh…! Vivi menghela nafas panjang. Pandang matanya mengarah ke kejauhan.
“Aku seharusnya tidak menamparmu, walaupun kata-katamu waktu itu memang sangat kurang ajar…”
El diam menunggu kelanjutan kalimat yang belum selesai itu.
“Aku memang sakit hati dengan ucapanmu. Tapi tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Aku ini seperti anak kecil saja…”
“E… eee… namamu Nurina ya? Nurina Vidya Utami. Mahasiswi FKM semester 4…”
“Tahu dari mana?”
“Seminggu ini aku benar-benar seperti orang gila. Aku mencari dan mengumpulkan semua informasi tentangmu berdasarkan daftar hadir penonton pementasan.”
Vivi tersenyum dan hampir saja ia tertawa mendengarnya.
“Terus…?”
“Aku baru tahu nama panggilanmu Vivi, ya tadi itu ketika temanmu memanggil. Aku berkali-kali menelpon dan sms, tapi nggak pernah diangkat dan dibalas…”
“Aku memang sengaja. Aku benar-benar marah dan sakit hati padamu…”
“Maafkan aku. Kau mengingatkanku pada seseorang yang telah begitu lama aku lupakan…”
“Ooo… jadi kau membandingkan dan menyamakanku dengan masa lalumu?”
“Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai, setelah itu terserah kamu…”
Vivi diam saja.
“Sepuluh tahun lalu, aku dekat dengan seorang perempuan. Sangat dekat bahkan. Kami teman satu SMP. Selepas SMA, dia kuliah di Malang dan aku diterima di Jember. Tahun ketiga kuliah, hubungan kami kandas bukan karena kehendak kami sendiri. Dia berasal dari keluarga campuran. Ibunya Jawa, dan ayahnya, maaf, Cina. Dia ditunangkan dan kemudian dinikahkan atas paksaan ayahnya. Kuliahnya terbengkalai dan putus ditengah jalan.
El berhenti sejenak, menghela nafas.
“Terus…?”
“Aku boleh roko’an?”
“Kalau aku nggak ngijinin?”
“Kalau nggak boleh, ya nggak ngerokok aku. Tapi…”
“Iya, boleh…”
El mengambil rokok dari tas kecil yang dicangklongnya. Menyalakan dan menyesapnya perlahan. Mengembuskan asapnya menjadi bulatan-bulatan kecil.
“Ketika mengetahui dia dipaksa menikah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak berani mengajaknya kawin lari seperti dalam cerita sinetron atau film. Hidupku saja masih morat-marit. Aku merelakannya dengan terpaksa, dan sejak itu aku hampir tidak peduli dengan kuliahku. Aku melampiaskan kepedihanku di teater, menulis naskah drama, sajak, dan mabuk…”
“Mabuk?”
“Iya… Aku mabuk-mabukan hampir setiap hari.”
“Sekarang?”
“Kalau aku bilang sudah berhenti, aku memang sudah berhenti. Kalau dibilang belum, aku masih sering menemani teman-teman mabuk. Sekedar menemani dan kadang ikut nyumbang buat beli minuman…”
“Terus, kenapa cerita semuanya sama aku?”
Vivi memandang El dengan tajam. Dia mencari kebenaran di telaga matanya. Ada kerapuhan yang coba disembunyikan di sana. Ada kesunyian yang teramat sangat di sana.
“Entahlah…. Hanya Udheng dan Wader yang tahu kisahku. Mereka berdua yang mengerti keadaanku, dan merekalah yang selalu mengingatkanku…”
El menoleh, melihat Vivi yang menatapnya. El tersenyum, sesuatu yang sudah hampir dia lupa caranya.
“Jadi, sajak itu sebenarnya kau tujukan sama kekasihmu yang dulu?”
El kaget bukan kepalang. Dia seperti dihantam dengan batu yang sangat besar. Dia tidak menyangka Vivi akan bertanya seperti itu.
“Sajak itu benar-benar aku tulis malam hari setelah aku bertemu kamu sore harinya. Sajak itu benar-benar ungkapan perasaanku kepadamu, walaupun mungkin didasari oleh kenanganku pada dia…”
“Kau kan nggak tahu aku? Bagaimana bisa kau memiliki perasaan seperti isi sajakmu?”
El terdiam. Tuhanku…!
“Vi… aku nggak perduli kau akan menganggapku pembohong atau apapun. Tetapi aku benar-benar suka sama kamu.”
“Aku suka sajaknya, tetapi tidak dengan ceritamu!”
“Terima kasih. Aku juga tidak berharap banyak kok…”
“Maksudmu?”
“Aku tahu, sangat sulit mempercayai ceritaku. Apalagi sikapku kemarin makin memberikan kesan buruk padamu. Tidak apa-apa. Aku paham kok! Aku sudah senang bisa ngobrol denganmu seperti sekarang ini. Aku sudah gembira kau mau mendengarkan ceritaku.”
“Beneran?”
“Iya. Buatku, mengenalmu saja sudah anugerah. Apalagi bisa ngobrol dan jadi temanmu, itu sudah luar biasa. Tentang isi sajakku, itu benar-benar jujur. Aku mengerti bahwa semuanya tidak bisa dipaksakan. Aku ingin belajar jujur kepada hatiku sendiri, dan menikmati perasaanku kepadamu dengan gembira…”
El tersenyum dan membuang kretek yang sudah mati ke bawah kakinya.
“Kau mau membalas atau tidak itu urusanmu, dan sepenuhnya menjadi hakmu. Yang pasti aku menempatkan Nurina Vidya Utami di dalam ruang khusus hatiku…”
“Maafkan aku…”
“Tidak perlu, karena kamu nggak bersalah. Biarkan waktu yang mengajarkan kepada kita, apakah kita memang diperkenankan menjalin hubungan atau tidak…”
“Iya…”
Mereka berdua terdiam menikmati bahasa tanpa kata yang bermain di dalam hati dan perasaan mereka masing-masing. Sementara dari sebuah warung lesehan terdengar Once melantunkan ‘Risalah Hati’
Aku bisa membuatmu,
Jatuh cinta kepadaku,
Meski kau tak cinta kepadaku,
Beri sedikit waktu,
Biar cinta datang,
Karena telah terbiasa

Ya, biarkan cinta datang karena telah terbiasa. Biarkan waktu yang menuntun dan mengajarkan kepada hati tentang segalanya.


Sepertinya selesai


Bondowoso, 27 Desember 2016

04.45 wib

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook