DETIK JAM DI TAMAN KOTA (cerpen)
21.56.00
DETIK
JAM DI TAMAN KOTA
Rahman El Hakim
“Anak pertamamu akan
aku ambil! Anak keturunanmu pasti akan mengalami dan menjalani seperti apa yang
aku alami.Camkan itu!”
Laki-laki itu meremas
lengan bangku taman kota yang di dudukinya. Wajahnya dipenuhi amarah,
kekecewaan, duka, dan kepedihan yang dalam.Alun-alun Bandung telah disiram
cahaya lampu.Malam telah memeluk bumi dengan riuh pedagang asongan dan
warung-warung lesehan. Laki-laki itu bergegas melangkah melanjutkan
perjalanannya yang ternyata dipenuhi duka lara.
***
“Kamu yakin mau ke
rumahku?Yakin mau nemui orang tuaku?”
Suara Arga dipenuhi
ketidakpercayaan dan keraguan.Aku hanya diam saja sambil terus menghisap kretek
yang sudah sisa separuh.Sesekali aku melirik wajahnya yang campur aduk antara
bingung, tidak percaya, dan ragu.
“Mending kau ajak aku
ngopi. Aku di sini dari jam limapagi tadi. Apa di Solo memang nggak ada warung
kopi?”
Aku lihat senyum samar
menghiasai bibirnya. Perlahan wajah yang tadinya dipenuhi perasaan yang campur
aduk kembali seperti biasanya—ceria.Dia memang tidak menjawab ucapanku dengan
kata, tapi langsung beranjak setengah menyeret tanganku ke luar dari ruang
tunggu penumpang terminal Tirtonadi.
Jam masih cukup pagi,
jam tujuh kurang seperempat tepatnya. Warung-warung di luar terminal masih
banyak yang tutup.Hanya beberapa kios rokok saja yang tampak terus jaga.Aku
ikut saja di ajak ke manapun.Aku jelas tidak paham dengan daerah ini. Beda
dengan Arga yang hampir lima tahun menempuh pendidikan di kota ini.
“Aku sebenarnya sama
denganmu, nggak begitu paham daerah ini. Entah apa ada warung kopi yang buka
sepagi ini.danrasa kopinya sesuai dengan seleramu yang jelas-jelas penikmat dan
berasal dari daerah penghasil kopi.”
“Terus?”
“Ya berdoa saja semoga
ada warung kopi yang sudah buka. Hahaha…”
Tawanya terlontar
begitu saja tanpa ditutup-tutupi.Dia adalah perempuan yang jujur dengan
perasaannya tanpa memanipulasinya, setidaknya menurut penilaianku.
“Kalau nggak ada?”
“Kamu ngopi di
rumahku…”
Tiba-tiba dia tidak
melanjutkan ucapannya.Diam dengan sangat kejam menyelimuti kami
berdua.Kebungkaman serupa dengan jaman es yang menyelubungi bumi.Kesenyapan itu
menuntun pikiranku dan aku rasa pikirannya juga, pada topik awal yang kami
bicarakan di dalam terminal.
“Solo-Purwodadi berapa
jam?”
Aku menatap wajahnya
dengan serius. Mencermati dan berusaha mengira-ngira apa jawabannya. Apakah dia
tetap dalam keraguannya atau ada pikiran lainnya?
“Enam jam… Itupun kalau
lancar.”
“Sekarang sudah ada bus
jurusan Solo-Purwodadi?”
Dia diam saja.Aku liriknya
dari sudut mataku.Dia seperti sedang berpikir mempertimbangkan jawaban bagi
pertanyaanku.Aku yakin dia paham ke mana arah pertanyaanku. Aku pun diam
memberinya kesempatan untuk memutuskan apakah akan mengijinkan aku pergi ke
rumahnya atau tidak.
“Ayolah…”
***
Daun-daun jati telah
menumbuhkan tunas-tunas baru.Sejauh mata memandang warna hijau
mendominasi.Rerumputan dan semak-semak juga sudah mulai meninggi.Di beberapa
tempat tampak bunga ilalang berayun ditiup angin.Jalanan yang berliku serupa
dengan ular yang melenggak lenggok dengan tenang.Aroma tanah masih bersisa di
tengah udara.Mungkin sisa hujan kemarin sore atau bahkan malam tadi.
Matahari tak kelihatan
wajahnya.Sinarnya saja yang menerobos sela dedaunan serupa selendang para
bidadari di dalam dongeng atau selendang sutra milik para putri di
cerita-cerita klasik China.Panasnya teredam bebukitan sehingga melahirkan
kesejukan yang menggoda.
Aku menikmati
perjalanan Solo-Purwodadi dengan penuh ketakjuban.Bus yang kami tumpangi tak
seperti yang aku bayangkan.Kursi-kursinya sudah banyak berlubang, dan juga
kondisi interiornya menyiratkan usianya yang sudah tua.Aku senyum-senyum
sendiri menyadari keadaan itu.Arga yang duduk di sampingku dekat jendela,
sesekali kulihat memandangku.Ada senyum, ragu, tidak percaya dan mungkin
perasaan-perasaan lainnya yang aku rasa berkecamuk di dalam pikirannya.
“Berapa jam lagi?”
“Kenapa?Bosan?”
“Nggak… ngantuk, pengen
ngopi, dan roko’an.”
“Hmm… kenapa nggak
ngerokok?”
“Aku nggak pernah
merokok ketika di atas kendaraan umum.Iya… walaupun aku ini perokok,tapi aku tetap
menghormati para penumpang lainnya.”
“Lima menit lagi kita
turun.”
“Sudah sampai?”
Tak ada jawaban. Arga
hanya melihatku sekilas sambil mengambil tas kecil dan kresek yang dibawanya.
***
“Selamat datang di Poh
Ijo…”
Senyum mengiringi suaranya
yang terdengar begitu gembira.Aku terdiam melihat sekeliling.Rumah-rumah khas
Jawa Tengah yang masih terawat, sawah-sawah yang menghampar dengan padi-padi
yang mulai berbunga, jalan tanah yang dipagari dengan tanaman hidup—bluntas,
ketu, pohon pisang, ketela—dan halaman yang teduh dengan tanaman
buah-buahan.Betapa damai dan tenangnya daerah ini.Suasana pedesaan yang tidak
jauh berbeda dengan daerahku sendiri.Sesekali aku temukan rumah tembok yang
jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Aku menghirup udara
segar itu, berusaha mengenali dan menikmati sentuhannya di dalam batinku. Ada
banyak hal yang tiba-tiba mengisi kepalaku.Apa yang akan aku lakukan di rumah
Arga? Apa yang harus aku sampaikan kepada kedua orang tuanya? Apakah aku harus
langsung blak-blakan menyampaikan bahwa aku berniat serius dengan putri
mereka?Ataukah aku harus basa-basi sebagai bagian dari sopan santun? Ah, aku
pasrah saja pada apa yang terjadi. Aku percaya ketika aku benar-benar berniat
baik, pasti seluruh alam akan membantuku.
“Maaf Nak… tempatnya
sederhana.Biasa desa ya seperti ini suasananya. Pasti tidak sama dengan
tempatnya Nak El…”
Aku tersenyum mendengar
sambutan yang hangat dari perempuan baya, yang dikenalkan sebagai ibunya Arga.
“Sama saja, Bu. Saya
juga orang desa kok.Saya menikmati suasana yang tidak terlalu ramai seperti di
kota,” sahutku sambil melirik Arga yang duduk di seberangku.
“Anggap saja di rumah
sendiri.Ar… suruh mandi Nak El, terus makan.Agak sorean kalau mau jalan-jalan,
kebetulan di Balai Desa sedang ada persiapan Bersih Desa.Nak El… ibu ke
belakang dulu.”
Aku mengangguk sambil
tersenyum menjawab ucapannya.
“Aku pengen kopi…”
“Yo adus disik to. Kan barusan sudah diomongi sama Ibuk, suruh
mandi, makan, dan jalan-jalan. Eh… tapi aneh ya? Ibuku itu nggak pernah lho
langsung akrab dengan teman-temanku, apalagi teman cowok, baru pertama kali ke
sini lagi.”
Hampir saja aku tertawa
keras mendengarnya, untungnya aku masih sempat menutup mulutkku.Arga mendelik
ke arahku, dan aku makin tidak kuat menahan tawa.
“Ayahmu ke mana?Kok aku
belum dikenalkan dengan Beliau?” tanyaku.
“Bapak sedang mengawasi
persiapan Bersih Desa di balai desa.Sore mungkin baru pulang.Ayo kamu mandi
dulu, kemudian makan, baru setelah itu aku buatkan kopi.”
***
“Mohon maaf sebelumnya,
Pak. Saya El dari Bondowoso.Tujuan saya berkunjung ke sini, yang pertama niat
bersilaturrahmi kepada panjenengan dan ibu.Yang kedua, saya ingin menyampaikan
bahwa saya berniat serius dengan putri panjenengan, Arga. Sekali lagi saya
mohon maaf karena telah lancang berbicara langsung kepada panjenengan tanpa
melalui tata cara adat istiadat yang ada di sini.”
Sungguh kalimat itu
adalah kalimat yang paling sulit aku ucapkan.Butuh waktu berpuluh-puluh tahun
rasanya untuk menyelesaikan kalimat itu.Mulut dan lidahku sepertinya sudah
berada di luar kendaliku sendiri.Walaupun akhirnya aku berhasil mengucapkannya,
tentu saja dengan keringat yang menghiasi seluruh tubuhku.
Laki-laki setengah baya
di depanku ini tersenyum mendengar kalimat-kalimat yang aku ucapkan.Wajahnya
sedikit membuatku bernafas lega untuk sementara.
“Kenal di mana dengan
Arga?Sudah berapa lama?” tanyanya mengejutkanku.
“Kami kenal di sebuah
acara kepenulisan dua tahun lalu.Kebetulan saya dan Arga menjadi peserta dan
karyanya dibukukan dalam satu buku.Baru awal tahun kemarin kami intens saling
berkumunikasi.”
“Keluarga sudah tahu
kalau Nak El ke mari?”
“Saya hanya pamit
kepada ibu, sedang ayah saya sudah meninggal setahun yang lalu.”
“Oh… maafkan pertanyaan
saya, Nak El… Terus apa yang Nak El harapkan? Apakah jawaban langsung hari ini
atau bagaimana?”
Aku terdiam, berusaha
mengumpulkan kekuatan batin dan ketenangan.Pertanyaan itu begitu luar biasa.
Langsung menuju titik permasalahan dan tanpa tedeng aling-aling!
“Saya sudah siap
menerima jawaban apapun, Pak. Karena niat saya bukan untuk main-main. Jika
panjenengan dan ibu merestui, saya akan sangat berterima kasih. Jika memang
panjenengan dan ibu belum merestuinya, saya juga sangat berterima kasih karena
saya sudah diterima di keluarga ini dengan sangt baik sebagai seorang teman,
sahabat, bahkan saya sudah menganggap panjenengan dan ibu seperti orang tua
saya sendiri.Saya tidak pernah berniat memaksa siapapun, dan saya sadar dengan
semua itu.”
Entah kekekuatan dari
mana yang membuatku sanggup mengatakan semua itu.Aku pun tidak percaya dengan
ketenanganku sendiri ketika menyampaikannya.Ada semacam kelegaan dan
kepuasaan—jika boleh aku gambarkan demikian—yang aku rasakan di dalam
hatiku.Tidak ada keinginan apa-apa di dalam hatiku saat ini. Aku memasrahkannya
saja kepada apa yang akan terjadi. Aku melirik sekilas dan aku lihat senyumnya
menghiasai bibirnya.Aku kaget dan menatap wajahnya langsung. Aku ingin tahu apa
yang sebenarnya dia inginkan dari pertanyaannya kepadaku. Kejujuranku?Keterusteranganku?Atau
hanya sekedar mencari tahu alasanku telah berani melamar anaknya secara
langsung tanpa perantara sebagaimana adat istiadat yang ada?
“Nak El… saya ini bukan
orang yang suka memaksakan kehendak
kepada orang lain, apalagi kepada anak-anak saya. Saya menerima dan berterima
kasih kepada kejujuran dan ketulusan Nak El yang telah menyampaikan langsung
keinginan dan tujuan Nak El ke mari. Saya tidak bisa memberikan jawaban
langsung hari ini. Saya pribadi saya menerimanya, tetapi yang mau menjalani dan
melaksanakannya kan Arga to? Maka saya menyerahkan sepenuhnya kepada Arga.Jika
kalian memang berjodoh, Tuhan pasti akan memberikan jalan yang terbaik dan
paling baik bagi kalian berdua.”
***
Malam sudah menyapa
bumi. Rembulan setengah bundar telah menghias langit di atas sana. Alun-alun
Bandung dipenuhi cahaya lampu terang benderang.Wajah-wajah yang dipenuhi
berbagai macam perasaan, pikiran, dan keinginan memadati alun-alun yang
berumput sintetis.Tempat yang sangat nyaman dan aman bagi siapa saja untuk
refreshing melepaskan penat setelah seharian bekerja maupun belajar di ruang
kelas.
Seorang laki-laki paruh
bayaduduk di bangku taman di sisi selatan alun-alun, dekat pertigaan yang
disesaki oleh kendaraan roda dua yang diparkir. Dua bungkus rokok tergeletak di
sampingnya.Jarum panjang jam di depan masjid agung Baiturrahman sudah
menunjukkan angka delapan. Sesekali lelaki itu menghela nafas panjang sambil
melihat sekeliling.Mencari sesuatu—wajah seseorang atau mungkin sekedar
mengamati keadaan.Sinar matanya meredup seperti dipenuhi oleh beban duka
berkepanjangan.
“Maafkan aku… Sebenarnya…”
Suara itu masih sama
dengan sepuluh tahun yang lalu. Lembut, walaupun ada kepedihan yang bergetar di
dalamnya.Angin seperti berhenti, dan benak menyebrangi lautan yang sangat luas
yang dipenuhi segala macam adegan.Kenangan.
“Sepuluh tahun lalu,
tepat pada hari yang sama dengan hari ini, seorang laki-laki duduk di bangku
ini menunggu seorang perempuan dari jam tiga sore.Duduk seperti orang asing bahkan
gila dengan dipenuhi berbagai harapan.Tidak berbicara dengan siapapun karena
dia memang tidak kenal dengan siapapun di tempat ini. Menghabiskan
berbatang-batang rokok, dan ternyata…”
“Sudah!Jangan kau ulang
lagi cerita itu.Aku… aku…” suaranya terbata-bata bercampur isak dan airmata
yang mulai tumpah di pipinya.
“Laki-laki itu terus
dan tetap harap pesan yang dikirimkannya dibalas.Laki-laki itu terus berusaha
menjaga harapan yang serupa nyala lilin di tengah tiupan angin agar terus
menyala.Di tunggunya sampai Maghrib datang menyapa seluruh pengunjung.Hatinya
terus saja memberinya kekuatan agar laki-laki itu terus menuggu.Isya’,
perempuan yang ditunggunya belum juga memberi kabar.Kejengkelan, kemarahan, dan
kekhawatiran perlahan tumbuh di sela-sela pikirannya.”
“Aku tahu! Aku tahu,
tapi…!”
“Lima jam dia duduk
sendiri di tempat ini, taman kota Bandung. Hatinya berperang dengan logika dan
pikiran yang semakin kuat merongrong kesadarannya.Cintanya seperti seekor
kelinci di tengah kawanan anjing liar yang kelaparan—menggigil ketakutan!”
“Anak pertamaku sudah
kau ambil! Anak pertamaku mati seperti kutukan yang kau ucapkan dulu! Dan kau
lihat aku! Lihat…!”
Perempuan itu menatap
laki-laki di depannya.Di biarkannya airmata mengalir di pipinya. Dia tidak
peduli dengan para pengunjung lainnya yang menatap penuh tanya pada mereka
berdua. Dia tahu, semua yang ucapkan laki-laki di depannya adalah kebenaran
yang tak dapat disangkalnya. Dia pun tahu bahwa dia telah menerima hukuman dari
apa yang telah dilakukannya sepuluh tahun yang lalu. Dan laki-laki itu masih
juga tidak mau memaafkannya.
“Aku tahu bahwa apa
yang aku ucapkan dulu, di tempat ini pada hari yang sama dengan hari ini telah
terjadi.Dan itu pula yang menuntun langkahku kembali tempat ini.Aku berhutang
banyak hal kepadamu. Aku benar-benar menyesal dengan apa yang telah aku ucapkan
dahulu. Sungguh aku tidak pernah berniat membuatmu menumpahkan airmata, dahulu
maupun saat ini.”
Helaan nafasnya
menjadikan udara seperti disesaki ribuan kabut dan kedukaan yang tiada batasnya.Nasib
atau mungkin takdir yang tidak berpihak kepadanya.Dan laki-laki itu tahu bahwa
perempuan di sampingnya ini telah mengalami dan menjalani kehidupannya dengan
genangan airmata.
“Di mana suamimu?Kenapa
kau datang sendiri?Aku ingin bertemu dengan suamimu dan meminta maaf padanya.”
Perempuan itu terkejut
bukan mendengarnya.Emosinya yang sudah mulai reda kembali terguncang dan
meledak kembali. Tapi dia sudah capek denngan semua ini. Dia merasa dia memang
pantas menerimanya. Dan sekarang dia berharap kehidupan akan berpihak kepadanya
walaupun hanya setetes saja kebahagiaan di tengah gersang kerontangnya nasib
yang dijalaninya.
“Sudah lima tahun aku
bercerai darinya.Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang.Aku juga tidak
pernah pulang ke kampung lebih dari tiga tahun.”
Begitu datar suaranya
menjawab pertanyaan laki-laki itu.Keputusasaan jelas telah menggerogoti hatinya
yang dulu begitu tegar menghadapi berbagai macam ujian.Mungkin waktu telah
memberinya banyak sudut pandang sehingga dia memilih untuk berdiri di pojok
gelap harapannya sendiri.
“Maafkan aku, Ga…”
laki-laki itu menyebut nama perempuan setengah baya itu sambil menggenggam
tangannya.
“Tidak El… aku yang
harusnya meminta maaf kepadamu.Aku yang telah menghancurkan impian dan janjiku
sendiri kepadamu.Saat ini aku sudah pasrah.Aku sudah belajar menerima semua ini
sebagai bagian dari hukuman yang harus aku terima.”
Arga menghentikan
perkataannya dan balas menatap wajah El. Wajah yang tidak berubah sejak dahulu
dia mengenalnya—sepuluh tahun lalu.
“Kau sudah menikah,
El?”
Pertanyaan itu begitu
menghunjam ke dalam relung hati.El terdongak menatap langit, menatap rembulan,
dan menatap ke dalam jiwanya sendiri.
“Sejak kejadian sepuluh
tahun lalu, lelaki penunggang elang itu memilih untuk bertapa di keramaian
hiruk pikuk dunia.Dia mengembara seorang diri, tanpa rumah, tanpa kawan,
apalagi teman hidup.Separuh hatinya telah dia kubur di dalam tebing di atas
gunung bernama Arga.”
“El…”
Arga tiba-tiba
menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan El. Airmatanya berderai di dada El yang
terlihat begitu rapuh itu.Dada yang telah mengembara menjelajahi kepahitan demi
kepahitan, telah berkawan dengan kesakitan demi kesakitan.Dada yang begitu
lapang menerima warna warni kehidupan.
Angin berembus semilir
membawa aroma bunga tanjung yang berguguran di trotoar jalan.Bulan setengah
bundar tetap bergulir di langit.Menulis huruf demi huruf dari sajak-sajak
malam. Nasib, apakah benar ia akan berpihak kepada para pejuang? Takdir, apakah
memang diperuntukkan bagi manusia yang tidak berputus asa? Atau memang nasib
dan takdir ditentukan oleh manusia sendiri? Hanya hati yang mampu menjawab
segala tanya.
Sepertinya
Selesai
Jember,
7 Desember 2015
20.24
wib
angin adalah karib bagi
pengembara
tempat menumpahkan segala cerita
airmata
1 komentar
Selamat berpulang ke alam keabadian Mas Rahman. 15 Agustus 2019. Kamis malam jumat. Terimakasih telah memilih pulang di hari kelahiranku, Jumat Pon. Sampai bertemu di alam abadi. Sampai bertemu di tempat yang bernama “Suwung”.
BalasHapus