MENGGALI POTENSI WISATA BONDOWOSO DARI SUDUT PANDANG SEJARAH DAN SENI BUDAYA

00.17.00



Berbicara tentang pariwisata tidak akan pernah lepas dari banyak hal yang saling kait mengait, saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Bukan hanya sekedar satu instansi Dinas Pariwisata saja, tetapi meliputi tentang sebuah sistem, keinginan, konsistensi, dan kerja sama untuk membangun tujuan yang ingin dicapai seperti keinginan semua pihak.

Ada dua hal besar yang bisa kita cermati sebagai dasar untuk meningkatkan semua potensi wisata yang ada di sebuah daerah. Pertama adalah obyek wisata atau hal-hal yang akan dijual kepada pengunjung, baik berupa keindahan alam, obyek wisata alam—gunung, air terjun, pemandangan alam, gua, dll—maupun seni budaya khas daerah tersebut. Kedua yang tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan seluruh lapisan masyarakat—rakyat/penduduk, pemerintah daerah, pemuda, pelajar, organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan, institusi pendidikan, dll—dalam proses pengenalan, penciptaan, pengembangan, dan pembinaan tentang pariwisata itu sendiri.

Tahun kunjungan wisata, baik di Kabupaten Bondowoso maupun kabupaten/kota lainnya atau bahkan secara nasional merupakan satu dari beberapa macam usaha pemerintah untuk meningkatkan pengunjung—dalam hal ini wisatawan dalam dan luar negeri—untuk mau dating bahkan melakukan kegiatan wisata di daerahnya.

Pertanyaan yang muncul adalah sebuah program tentu saja harus didukung oleh semua intrumen yang mendukung keberlangsungan program itu sendiri. Ketika Bondowoso menetapkan program “Tahun Kunjungan Wisata Bondowoso 2015”, saya merasa tersanjung sekaligus kaget. Tersanjung karena Bondowoso mulai menggeliat untuk menyamakan dirinya dengan daerah lainnya. Kaget karena saya hampir tidak pernah tahu apa yang ditawarkan oleh Bondowoso kepada para wisatawan-wisatawan yang akan datang dan diharapakan dating ke Bondowoso.

Obyek wisata apa saja yang telah benar-benar dikelola dan dikemas dengan baik oleh semua pihak, terutama Dinas Pariwisata dan Pemkab Bondowoso, sehingga potensi-potensi tersebut benar-benar layak ditawarkan dan dijual kepada wisatawan dalam dan luar negeri. Ketika obyek tujuan wisatanya saja masih belum jelas maka tentu saja sebuah program hanya akan mubasir dan sia-sia.
Ada banyak potensi alam dan kesenian yang dimiliki oleh Kabupaten Bondowoso. Mula
i dari situs purbakala, air terjun, pemandangan alam, sungai (rafting), gunung, budaya, dan juga kesenian khas. Dan semua potensi tersebut masih sangat tidak termanfaatkan dengan maksimal. Nilai tawarnya masih sangat rendah untuk menjadi sebuah komoditas yang akan ditawarkan kepada wisatawan.

Orang Bondowoso akan dengan bangga menyebutkan bahwa mereka memiliki Kawah Ijen sebagai obyek wisata dunia, tetapi mereka lupa bahwa Kawah Ijen sekarang ini lebih condong menjadi milik Kabupaten Banyuwangi daripada Bondowoso. Kita juga mengatakan bahwa sudah Bondowoso adalah penghasil kopi luak yang terkenal ke seluruh dunia. Mungkin benar, tetapi setelah itu apa? Hamper tidak ada tawaran lainnya yang sekiranya bisa menjadi satu paket wisata Bondowoso. Tentu saja Dinas Pariwisata lebih memahami dengan seluruh potensi dan obyek wisata yang ada di Bondowoso. Harusnya hal ini semakin memudahkan semua pihak terkait dalam mengembangkan potensi wisata tersebut.

Setiap kali ada perbincangan, diskusi, bahkan seminar yang ada kaitannya dengan wisata dan kepariwisataan, beberapa pihak cenderung untuk pesimis  bahkan apatis menyikapi kondisi dan keadaan Bondowoso. Pihak-pihak tersebut seolah-olah tidak perduli dengan Bondowoso. Padahal mereka adalah orang-orang yang lahir, tumbuh, dan hidup dari udara, tanah, dan matahari Bondowoso. Ada banyak warisan alam dan leluhur yang bisa kita manfaatkan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Bondowoso.  

A.           Peran Pemerintah (Dinas Pariwisata)
Dengan sangat yakin saya akan mengatakan bahwa pemerintah dengan instansinya didirikan untuk menjembatani antara kepentingan masyarakat dengan keinginan penguasa, yang tentu saja ingin mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dalam kaitannya dengan pariwisata, ada banyak hal yang harusnya bisa dilakukan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk mencapai tujuan tersebut. Dan saya juga sangat yakin bahwa pemerintah daerah—Dinas Pariwisata—memiliki data lengkap tentang potensi dan obyek wisata yang ada di Bondowoso. Berbagai macam program yang dicanangkan menjadi kurang sukses karena sangat jarang menyentuh langsung dengan obyeknya.

Selalu saja muncul opini bahwa daya beli masyarakat Bondowoso sangat rendah. Apakah hal ini memang benar? Saya rasa tidak benar seratus persen. Buktinya di Bondowoso setiap bulan rata-rata 500-700 sepeda motor baru yang berhasil dijual oleh dealer. Setiap ramadlan dan mendekati Iedul Fitri, masyarakat selalu berbondong-bondong untuk berbelanja. Hal ini menjadi satu bukti tidak tertulis yang menyangkal pendapat bahwa daya beli masyarakat Bondowoso rendah.

Hal yang patut dicermati adalah mengarahkan dan melibatkan masyarakat untuk memiliki kesadaran tentang pariwisata, terutama pariwisata yang ada di daerahnya sendiri. Bagaimana masyarakat akan peduli dengan segala macam program yang dicanangkan oleh pemerintah daerah, terutama yang berhubungan dengan pariwisata, jika masyarakat tidak pernah dilibatkan bahkan tidak tahu kalau ada program tersebut?

Sikap masyarakat Bondowoso yang beberapa tahun ini cenderung skeptis bahkan apatis timbul karena kejenuhan mereka dengan kondisi yang telah ada dan terus terjadi selama beberapa generasi. Masyarakat cenderung acuh dengan kondisi Bondowoso karena kurangnya kesempatan untuk bisa aktif terlibat di dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Masyarakat cenderung hanya menjadi alat untuk kepentingan segelintir orang dan kelompok-kelompok tertentu.

Sarana dan prasarana berupa transportasi dan pembenahan ke tempat wisata juga hamper tidak ada yang istimewa. Hamper semua tempat wisata yang ada di Bondowoso dalam kondisi yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung mengenaskan. Obyek wisata Arak-arak, Air Terjun Pulo Agung, bahkan ikon Bondowoso--Kawah Ijen—tidak terawat dengan baik. Kondisinya sangat memprihatinkan, dan anehnya masyarakat Bondowoso yang dikatakan rendah daya belinya masih sangat banyak yang berkunjung ke tempat-tempat tersebut.

Kesenian pun tidak jauh berbeda. Kesenian-kesenian tradisional yang harusnya mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan hamper tidak pernah benar-benar menjadi milik masyarakat. Kesenian-kesenian tersebut hanya menjadi milik Dinas Pariwisata atau menjadi milik perorangan saja.

Tari Topeng Kona, Tari Ojhung, Ronteg Singo Ulung, Tari Petik Kopi hanya menjadi sesuatu yang berharga di dalam etalase saja. Kesenian-kesenian itu sama kondisinya dengan barang antik yang ada di museum dan tidak boleh dipegang oleh khalayak umum.

Tari Remo Sutina, Kentroeng Trio Noor, Wayang Katthok, Terbhang, Mamacah, sejarah babad Bondowoso, sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI juga hanya menjadi sesuatu yang bersifat simbolis saja. Masyarakat hampir tidak pernah terlibat di dalamnya.

Sangat dibutuhkan sebuah ruang publik untuk memberikan tempat bagi masyarakat untuk mengetahui, menikmati, dan mengapresiasi keberadaan kesenian-kesenian tradisional tersebut. Termasuk juga keberadaan gedung pertunjukan yang representative serta gedung museum yang dapat menjadi tempat tujukan pertama bagi siapa saja yang ingin mengetahui seluk beluk dan informasi apa saja yang ada di Bondowoso, baik dari sisi budaya maupun sejarah.

B.            Peran Masyarakat


Masyarakat Bondowoso adalah tipikal masyarakat sub-urban, yang berada di antara kota dan desa. Bondowoso di kelilingi oleh kabupaten/kota yang memiliki pergerakan informasi, tekhnologi, dan transportasi sangat cepat. Harusnya keadaan ini akan ikut pula menyeret Bondowoso dalam pusaran yang bergerak menuju percepatan dalam segala sector yang mendukung tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat Bondowoso adalah masyarakat yang masih sangat tunduk patuh pada fatwa pemuka agama. Hal ini sesungguhnya sangat membantu dalam pencaiapan setiap tujuan program yang dirancang dan dicanangkan oleh pemerintah.

Bondowoso bukan seperti kota-kota yang beranjak besar seperti Jember, Banyuwangi, dan Probolinggo yang sangat dipengaruhi oleh modernitas. Masyarakat Bondowoso adalah masyarakat mandalungan, percampuran dari berbagai arus kebudayaan, Madura-Blambangan-Mataram. Hal ini menjadikan masyarakat Bondowoso sebenarnya memiliki kepekaan estetika yang lebih dibandingkan dengan daerah lainnya. Jika potensi ini bisa diberikan arahan, diberikan wadah, dan difasilitasi, pasti akan melahirkan sesuatu yang baru, luar biasa, dan dahsyat.

Sebuah momentum tidak akan dating berulang kali, tetapi harus diciptakan agar bisa memberikan daya kepada para pelakunya. Hal ini akan berlaku kepada bidang apa saja. Kita yang harus menciptakan moment untuk mendapatkan starting point sehingga kita bisa berdiri dengan kekuatan kita sendiri.

Bondowoso adalah kota yang sangat tua, baik dari sisi sejarah maupun secara kebudayaan. Situs purbakala di Bondowoso merupakan yang terbanyak diketemukan dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda memilih Bondowoso sebagai pusat pemerintahan yang membawahi kabupaten-kabupaten lainnya. Hal ini bukan karena kebetulan semata, tetapi pasti ada sebuah pertimbangan yang berhubungan dengan potensi yang dimiliki oleh Bondowoso.

Pasukan Damar Wulan memilih melewati Bondowoso daripada lewat Lumajang ketika akan ngluruk ke Blambangan untuk menyerang Menak Jinggo.

Fakta-fakta ini memberikan sinyal bahwa Bondowoso memiliki potensi yang sangat besar dan luar biasa, yang seharusnya bisa membawa Bondowoso ke arah kemajuan dan menjadi pemimpin bagi daerah lainnya sebagaimana sejarah telah membuktikannya kepada kita manusia-manusia modern.




Bondowoso, 5 Juli 2015
04.35 wib

semoga tak kau kutuk waktu
ia telah lahirkan rindu
pun pilu






Rahman El Hakim, seorang pelaku teater, menulis sajak, naskah teater, dan cerpen. Lahir dan bertempat tinggal di Bondowoso. Beberapa karya puisinya sudah dibukukan dalam Antologi Puisi Komunal: Sweat Pain of Love (Warung Antologi; 2012); Jejak Pertama (Penulis dan Sastra; 2013); Tapak Kedua (Penulis dan Sastra; 2013); ECA Moment 1, 2, 3 (2012, 2013, 2014); 100 Sajak Untuk Indonesia (Penulis dan Sastra; 2013); Puisi Menolak Korupsi (PMK) 4 (2014); Sepuluh September (duet dengan Niken Kinanti; 2014); Pengakuan (antologi puisi tunggal; 2015).

Pernah meraih 10 Penulis Terbaik Lomba Penulisan Naskah Kesejarahan Prov. Jatim 2012; Penulis Naskah Terbaik Fragmen Budi Pekerti Prov. Jatim 2014; Juara I Lomba Cipta Puisi Nasional dalam rangka Dies Natalis Group Penulis dan Sastra (2013). Beberapa sajaknya pernah dimuat di Radar Jember (2008); Radar Seni Jakarta (2012-2013). 

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook