PERJALANAN MELELAHKAN (bagian 2)

13.51.00



CATATAN PEMENTASAN NASKAH 'KAMIT'
UKM-K DOLANAN 2017


Setelah menikmati sajian monolog, saya berusaha memfokuskan perhatian pada sajian berikutnya. Pementasan teater kelompok yang memilih naskah berjudul “KAMIT”. Naskah drama berbahasa daerah Jawa yang ditulis oleh Gusmel Riyadh.

Sebuah harapan muncul dalam kepala saya, pementasan kali ini akan memberikan sesuatu yang menarik secara tampilan dan secara pesan. Harapan ini muncul ketika melihat tata panggung yang terlihat berbeda dari pementasan-pementasan teater yang dilakukan oleh teman-teman UKM-K Dolanan. Dua buah rumah, toko kelontong, kandang kambing menuntun imajinasi saya untuk menduga-duga tentang penampilan kali ini.

Harapan dan imajinasi yang sudah saya bangun dari awal pada akhirnya menjadi sebuah perjalanan yang cukup melelahkan. Mungkin merupakan sebuah kesalahan ketika seorang penonton memiliki harapan dan imajinasi terhadap sajian pementasan yang ditontonnya.

Panggung gedung serbaguna PKM, sebagaimana gedung-gedung serbaguna lainnya dengan ukuran kurang lebih 12 meter kali 4 meter seolah-olah menjadi dinding kasat mata yang membatasi keutuhan pementasan. Ukuran property yang terlalu besar menyebabkan panggung disesaki oleh property. Tidak ada ruang untuk mengambil nafas bagi actor untuk berdialog, ngobrol (njagongan), berinteraksi, dan menunjukkan kualitas acting masing-masing aktor.

Musik pembuka (opening) yang terlalu panjang menyebabkan hilangnya momentum pada fokus saya sebagai penonton. Selain itu, pada beberapa adegan yang kurang pas pemberian musik ilustrasinya. Naskah ‘Kamit’ merupakan naskah berbahasa Jawa, anehnya pada beberapa adegan diberikan musik ilustrasi menggunakan seruling bernada Sunda.

Tata lampu juga hampir sama dengan pementasan-pementasan sebelumnya, kurang tergarap dengan baik. Entah ini sebuah ‘masalah’ yang disengaja atau memang belum selesai? Tidak ada perbedaan suasana—pagi, siang, sore, malam, sedih, gembira, mencekam, damai, dll—yang seharusnya mampu diberikan oleh tata lampu untuk mendukung pementasan.

Para pemain (aktor) juga kurang mengeksplorasi karakter yang dibebankan kepada mereka. Aktor utama, Kamit, kurang mampu menunjukkan bahwa dia adalah seorang laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak. Latar belakang kehidupan Kamit sebagai seorang Tukang Batu belum berhasil diperankan oleh si aktor. Dia tetap menjadi seorang mahasiswa yang sekedar melafalkan dialog di  atas panggung saja.

Begitu juga dengan pemeran Nenek (mbah) Jebrak yang seharusnya lebih bisa ditonjolkan karakter pribadinya. Seorang perempuan tua tentu saja berbeda dengan perempuan muda dari sisi karakter suara, cara melafalkan kata, dan juga sikap tubuhnya. Latar belakang kehidupannya yang menjanda seharusnya menuntun sutradara untuk mengarahkan aktor untuk mengeksplorasi karakter dan perwatakan Mbah Jebrak.

Aktor Kedut yang menurut saya memberikan totalitas dalam penampilan kali ini. Gesture, mimic, cara melafalkan dialog, dan volume suara yang tetap stabil dari awal pementasan sampai akhir menjadikan naskah ini menjadi hidup.

Karakter orang gila sangat mudah dibayangkan tetapi sulit untuk dilakukan pada kenyataannya. Karakter orang gila adalah karakter yang bebas tetapi terbatas. 

Bebas dalam arti kata seorang aktor yang berperan sebagai orang gila memiliki kebebasan untuk mengeksplor apa saja yang disediakan di atas panggung—property, aktor lain, dan dirinya sendiri. Terbatas dalam arti seorang aktor yang memerankan karakter orang gila tidak boleh melampaui porsi yang ada sehingga aktingnya berlebihan (over acting). Jika hal ini terjadi, maka keseimbangan cerita akan terganggu. Fokus utama pementasan menjadi tersentral hanya kepada dirinya sendiri, kecuali memang dari awal naskah membahas tentang orang gila secara menyeluruh.

Saya bingung dengan akting aktor yang memerankan Pardi. Saya bertanya-tanya dalam hati: 
“Pardi ini pekerjaannya apa? Tinggal di mana?” 
Karena setahu saya, di dalam naskah ada sebuah keterangan yang menjelaskan Pardi merupakan seorang pemuda berusia 22 tahun dan tukang ngarit.

Saya mencoba untuk berpikir positif dengan menganggap tempat kejadian dalam adegan pementasan adalah daerah urban, daerah yang berada di antara kota dan desa yang banyak terdapat di Indonesia. Daerah di mana orang-orang yang tinggal di dalamnya mengalami benturan-benturan secara batin antara mempertahankan tradisi dengan kemajuan jaman.

Tetapi kembali pikiran saya belum menemukan benang merah antara Pardi yang tukang ngarit (pencari rumput) dengan tampilan kostumnya yang menggunakan sepatu, celana kain, dan batik. Apa iya di daerah urban—misalnya pinggiran kota Surabaya, Jogya, Semarang, dan Jakarta—masih ada tukang ngarit rumput? Mungkin saja iya, tetapi apakah mereka mampu mengikuti trend mode pakaian yang mewah sebagaimana yang dikenakan actor Pardi? Setahu saya orang-orang di daerah pinggiran merupakan individu dan masyarakat yang terpinggirkan, berjuang untuk mempertahankan hidup, dan hamper tidak berpakaian ‘mewah’ sebagaimana aktor Pardi.

Naskah drama ini memilih judul ‘Kamit’ tentu saja memiliki tujuan pokok yang ingin disampaikan oleh si penulis naskah. Kamit merupakan gambaran umum dari masyarakat pedesaan di Jawa yang harus berjuang untuk menghidupi dirinya, istri, dan anaknya dengan bekerja sebagai tukang batu.

Kamit merupakan sosok utama yang menjadikan cerita berjalan dan menemukan terminal bernama kesadaran baik kepada para aktor, sutradara, team produksi, maupun kepada penonton. Hal penting yang ingin disampaikan daari naskah ini adalah hal besar berupa adat kebiasaan menyumbang di masyarakat yang pada saat ini mengalami pergeseran menjadi semacam hutang piutang.

Jujur saja saya tidak mendapatkannya dari pementasan kali ini karena hal besar tersebut disampaikan dengan biasa-biasa saja. Hal penting tersebut kehilangan moment, kalau tidak mau disebut kehilangan tempat di dalam pementasan karena tertutupi oleh suasana komedi yang dibangun oleh aktor Kedut.




Pementasan Kamit sebagai sebuah hiburan, sangat sukses membuat penonton tertawa, dan bergembira, semacam refreshing dari kejenuhan rutinitas sehari-hari. Tetapi sebagai sebuah pementasan yang utuh, yang memiliki pesan begitu penting bagi semua yang terlibat—aktor, sutradara, team produksi, dan penonton—saya rasa masih banyak yang harus diperbaiki.

Seorang sutradara teater adalah orang yang telah menyelesaikan tafsir, memiliki imajinasi, sudut pandang, dan keinginan untuk menyampaikan pesan yang terdapat di dalam naskah yang telah dipilihnya untuk dipentaskan. Sutradara merupakan orang yang mampu menentukan tujuan, mengarahkan semua komponen yang terlibat, dan mampu mengeluarkan kemampuan masing-masing actor untuk mewujudkan serta meraih tujuan yang ada di dalam naskah dalam bentuk pementasan.

Apa yang diberikan sebuah pentas teater kepada bagi batin penontonnya selain sebuah hiburan? Apakah pementasan teater tidak mampu menjadi satu dari berbagai macam sarana bagi siapa saja yang terlibat—aktor, sutradara, pemain music ilustrasi, tata lampu, kru perlengkapan, make-up, dan penonton—untuk menemukan ruang-ruang kesadaran dan ruang-ruang perenungan baru?

Mari terus berproses dan belajar karena jawabannya tidak akan pernah selesai dalam satu kali proses pementasan saja.

Selamat kepada UKM-K Dolanan yang telah selesai melaksanakan acara ‘SENYUM DOLANAN 7’

Salam Budaya…

Jember, 20 Desember 2017

13.35 wib

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook