NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KARYA
20.09.00
MEMASUKKAN NILAI BUDAYA LOKAL (LOCAL GENIUS)
DALAM KARYA
I.
PENDAHULUAN
Definisi seni
jika ditinjau dari berbagai sudut pandang memiliki banyak makna, satu di
antaranya adalah “seni merupakan
pengekspresian cipta rasa manusia dalam suatu karya yang dapat dikatakan unik”.
Seni merupakan sinonim dari ilmu, karena pada mulanya seni merupakan sebuah
proses dari manusia. Seni merupakan inti sari dari ekspresi dan kreatifitas
manusia.
Jakob Soemardjo
menyatakan bahwa seni memiliki enam pandangan tentang apa yang seharusnya
diwujudkan dalam seni, yaitu:
1. Seni itu representasi sikap ilmiah atas
kenyataan alam dan kenyataan sosial,
2. Seni merupakan representasi general dari
alam dan manusia umumnya,
3. Seni adalah representasi karakteristik
general dalam alam dan manusia yang dilihat secara obyektif,
4. Seni adalah representasi bentuk ideal
yang melekat pada alam kenyataan dan alam pikiran manusia,
5. Seni merupakan representasi bentuk ideal
yang transcendental (homo relegius), dan
6. Seni adalah representasi dunia seni itu
sendiri (seni untuk seni).
(Jakob Soemardjo: Filsafat Seni,
2000)
Semua bentuk
seni—sastra, tari, vocal, rupa, dan drama—merupakan wujud dari pencarian dan
pengekspresian diri manusia selama berabad-abad bahkan semenjak manusia
diciptakan pertama kali. Seni merupakan sebuah puncak kebutuhan yang tidak
dapat dihindari oleh manusia dalam kehidupan di dunia.
II.
PEMBAHASAN
A.
BUDAYA
Budaya
menurut beberapa literatur berasal dari dua kata, yaitu:
1. Budhi
yang artinya akal, dan
2. Daya
yang artinya usaha
Hal ini menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki
kesempatan dan peluang yang sama dalam
mewujudkan sesuatu bernama ‘seni’ ketika
dia menjalankan akal pikirannya.
Ketika budaya
dilakukan dan berjalan terus menerus, maka akan lahirlah yang
namanya ‘kebudayaan’, yaitu kebiasaan yang ada dan dilakukan dalam suatu daerah yang
memiliki ciri
khasnya sendiri sesuai dengan kondisi alam, wilayah, serta
kondisi sosial masyarakatnya secara terus
menerus.
Kebudayaan yang
terus terpelihara dan diwariskan secara intens turun temurun akan melahirkan
yang
namanya peradaban. Peradaban memiliki makna sikap, tingkah laku, serta
tatanan masyarakat
(manusia) yang tahu, paham, mengerti, dan melaksanakan
‘adab’ tata krama kepada alam, tumbuhan,
hewan, sesama manusia, dan Tuhan.
Puncak dari seni
adalah drama. Drama memiliki unsur-unsur yang merangkum seluruh bidang seni
yang
ada, yaitu:
1) Sastra berupa naskah;
2) Gerak berupa tari dan pergerakan aktor;
3) Rupa berupa artistik panggung dan properti pementasan;
4) Suara berupa dialog aktor;
5) Musik berupa ilustrasi/musik pengiring.
Hakekatnya
setiap manusia (individu) adalah seorang seniman yang tentu saja porsinya
berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Setiap orang pasti menyukai dengan
keindahan, kerapian, serta segala sesuatu yang dapat membuat dirinya nyaman,
gembira, dan diakui keberadaannya.
Pertanyaan
terbesarnya: Kenapa tidak semua orang menjadi penulis, penyair, pelukis, maupun
bidang seni lainnya?
Akan ada banyak
jawaban untuk pertanyaan ini, tentu saja disesuaikan dengan pendapat,
pemahaman, tingkat pendidikan, serta wawasan tiap individu. Jawaban paling umum
yang dapat dan sering didengar adalah: “Saya
tidak berbakat, Saya tidak bisa, Saya tidak tahu, dan sejenisnya.”
Padahal ketika
kecil, semua orang pasti suka menggambar, menyanyi, menari, dan bercerita
dengan bebas sesuai perasaan yang dialaminya. Kebiasaan itu menghilang ketika
manusia mulai mengenal dunia luar dirinya.
Secara tidak
sadar tiap individu menggunakan alat ukur ‘kesuksesan orang lain’ dalam
mengukur dan menakar kemampuannya sendiri. Kesuksesan dan keberhasilan orang
lain menjadikan diri sendiri silau dan takjub, sehingga lupa bahwa sebenarnya
kita juga bisa. Hal ini lambat laun akan menjadi virus yang menyumbat
kreatifitas individu.
Menulis
merupakan satu dari empat keterampilan berbahasa yang tentu saja membutuhkan
pembiasaan secara terus menerus. Menulis memiliki banyak dimensi, baik bagi
diri sendiri maupun orang lain. Menulis merupakan ‘out put’ atau hasil dari
proses pengamatan, pembacaan, pendengaran, dan perenungan (berpikir). Menulis
bisa diibaratkan dengan ‘buang air besar’, yang mana tidak mungkin seorang
manusia akan buang air besar jika tidak pernah memasukkan sesuatu ke dalam
tubuhnya.
(bersambung)
1 komentar
Great, save guru 📚
BalasHapus