ITU SAJA (monolog)
12.07.00
ITU
SAJA
karya: Rahman El Hakim
Aktor:
Minah, perempuan muda
Setting:
Teras gedung pertunjukan
(Sebuah kursi panjang kecil, beberapa pamflet
pementasan, dan botol air mineral)
Apakah
salah jadi penari? Di mana salahnya? Apakah jadi penari menyalahi undang-undang?
Atau jadi penari adalah dosa yang tak terampuni? Aneh!
Sejak
kecil aku memang tidak bercita-cita jadi penari, tapi apa salah jika saat ini
aku ingin jadi penari? Kenapa tidak ada yang menjawab? Kenapa tidak ada yang
memberikan dukungan? Semuanya malah sinis, apatis, bahkan marah-marah ketika
aku bilang aku ingin jadi penari. Aneh!
Pernah
suatu ketika ada yang ngajak aku ngobrol tentang tari dan penari. Seseorang
yang sangat berharga bagiku. Anggap saja dia kekasihku, biar nggak ribet aku menyebutnya.
Dia bertanya tentang motivasiku belajar tari, macam tari yang aku sukai, dan
segala tetek bengek tentang tari sampai pada hal yang aku sendiri juga belum
pernah berpikir tentang hal itu. Awalnya aku sangat senang, karena aku
menganggap dia begitu perhatian, peduli, bahkan mau mengerti dengan
keinginanku. Tapi lama-kelamaan aku jadi bosan, jenuh, bahkan marah di dalam
hati karena dia perlahan-lahan memojokkan dan menyalahkanku. Aku diam saja
mendengarkannya. Bukan meresapi tapi mengumpulkan seluruh keberanian untuk
menampar mukanya. Tahu apa dia tentang tari dan penari? Tahu apa dia tentang
semua hal yang dia tanyakan itu? Orang yang belum pernah menari kok membahas
tentang hal-hal yang hanya diketahui oleh penari itu sendiri? Aneh!
Kau
sebut penari tidak mendapat tempat dalam masyarakat? Iya memang benar, lalu kau
juga melarangku jadi penari? Kau mengarahkan dan mau memanfaatkan kedekatanmu
untuk menghentikanku?
Sekarang,
ijinkan aku bertanya padamu: Ketika ada seorang perempuan berjalan dengan banyak
laki-laki, apa pendapat masyarakat? Sudah pasti perempuan itu langsung mendapat
sertifikat ‘perempuan murahan, gampangan, bahkan dianggap sebagai pelacur’. Coba
jika ada seorang laki-laki yang berjalan dengan banyak perempuan, di mana-mana
banyak perempuan yang antri untuk berjalan, bertemu, ngobrol, atau bahkan
sekedar menyapanya? Apa anggapan masyarakat? Dia seolah-olah telah menjadi
dewa, bahkan telah melebihi seorang dewa. Dia dianggap sebagai sosok panutan,
bintang cemerlang, bahkan diimpi-impikan untuk dijadikan menantu dan suami.
Ketika
ada seorang perempuan sering keluar malam bahkan pulang pagi. Apa celoteh dan
gunjingan masyarakat? Apalagi jelas jika perempuan itu diketahui bekerja
sebagai penari. Tanpa bertanya, masyakarat mencap dirinya sebagai sampah.
Sampah! Kau tahu itu?!
Ah,
sebenarnya aku sedikit menyesal menceramahinya dan melontarkan kata-kata itu.
Bukan menyesal dengan pernyataanku, tapi menyesal karena aku melibatkan emosi
pribadiku dengan sedikit—ingat sedikit—membentaknya.
Anehnya
dia diam saja. Dan itu jelas membuatku semakin ingin muntah. Aku jadi
terpancing untuk benar-benar marah. Aku tahu, diamnya bukan meresapi ucapanku,
tapi dia masih menunggu dan mencari cela untuk menyalahkanku.
Katanya
sekarang ini sudah jaman modern, jaman maju, abad millennium, jaman reformasi,
jaman di mana kesetaraan gender telah mendapatkan pengakuan dari seluruh dunia.
Tapi mana buktinya? Mana?! Semuanya hanya omong kosong. Semuanya hanya
retorika, orasi, debat kusir layaknya tayangan sinetron murahan di tv-tv.
Apanya
yang reformasi, jika pengakuan itu hanya ada di selembar kertas belaka? Apanya
yang abad millennium, jika perempuan tidak pernah benar-benar dihargai, diberi
tempat, dan diberi kesempatan sebagaimana adanya dia telah diciptakan Tuhan sebagai
penyeimbang dunia.
Tahukah
kau, undang-undang perkawinan tidak pernah memberikan porsi seimbang kepada
perempuan untuk memiliki hak yang sama. Laki-laki boleh melakukan poligami,
tapi perempuan kenapa tidak boleh melakukan poliandri? Ketika perempuan diputuskan
secara medis tidak bisa memberikan keturunan, lantas laki-laki berhak untuk kawin
lagi? Bagaimana jika laki-laki yang tidak bisa memberikan keturunan, mandul? Apakah
perempuan juga punya hak dan boleh menikah lagi? Di mana hukum perkawinan menempatkan
perempuan sebenarnya?
Coba
lihat semua iklan di koran dan televisi—iklan makanan, sabun, elektronik,
pakaian dalam, obat datang bulan, sampai obat panu—semuanya memakai perempuan
sebagai obyeknya. Kalian kaum laki-laki yang disebut makhluk yang kuat yang
seharusnya jadi pembimbing dan penuntun perempuan pada eksistensinya malah
menjadikan perempuan sebagai bahan penelitian, bahan jajahan. Kalian perkosa
perempuan bukan hanya tubuhnya, tapi kalian telanjangi dari atas kertas,
kanvas, kalian perkosa haknya, emosinya, bahkan airmatanya!
Apakah
salah jadi penari? Di mana salahnya? Apakah jadi penari menyalahi
undang-undang? Atau jadi penari adalah dosa yang tak terampuni?
Pernah
aku mendengar cerita bahwa Rumi menemui Tuhannya sambil menari. Dia memuja—katakanlah
berdzikir—dengan menari sehingga mencapai derajat tertinggi dengan tariannya? Bukankah
seluruh alam semesta ini juga menari sebagai bentuk sujud taqdimnya kepada Sang
Maha Segala Nama? Inti atom bergetar dalam tarian ritmis sehingga membentuk
wujud nyata dari ketundukpatuhannya kepada yang menciptakannya? Angsa-angsa
menari di musim semi untuk menyatakan kebahagiannya dan mensyukuri kehidupan? Ikan
paus, lumba-lumba, dan burung-burung juga menari mensyukuri hakikat hidupnya. Lantas
kenapa aku—yang jelas-jelas dinamakan manusia—tidak diijinkan jadi penari?
Lalu
kau berkata: Jadilah seperti Drupadi yang setia menemani suaminya menjalani
hukuman di rimba belantara bertahun-tahun tanpa mengeluh dan menerima semuanya
dengan syukur. Atau jadilah seperti Nawang Wulan yang rela menjadi manusia
biasa demi cintanya kepada Joko Tarub. Itu ucapanmu dahulu ketika menasehatiku.
Aku hanya tertawa mendengarnya. Karena aku tahu apa yang tidak kau ketahui. Aku
tahu kisah lengkap tentang Drupadi dan Nawang Wulan, tidak seperti kau yang
hanya separuh-separuh saja.
Siapakah
Drupadi? Dia adalah perempuan yang tidak masuk nirwana karena dia berselingkuh
secara batin dengan lebih memilih memuja Arjuna dibandingkan Yudhistira
suaminya. Dia adalah perempuan yang dibiarkan menjadi hina oleh suaminya
sendiri. Bukankah harga diri, keluhuran batin, dan kemuliaan Yudhistira tidak
lebih dari segala hal yang ada pada seorang pengecut dan pecundang? Dia lebih
memilih mempertahankan harga diri dan kekuasaannya dibandingkan dengan istrinya.
Dia mempertaruhkan harga diri, kekuasaan, dan istrinya dengan berjudi dengan
Duryudana.
Nawang
Wulan, ya aku tahu dia adalah bidadari yang baik. Tapi ingatkah kau bahwa
Nawang Wulan adalah korban keserakahan seorang Joko Tarub yang telah mencuri dan
menyembunyikan selendangnya sehingga Nawang Wulan tidak bisa kembali ke
kahyangan? Lantas ketika dia tahu dan menemukan kembali selendangnya, dia
dianggap tidak setia karena meninggalkan Joko Tarub dan anaknya dengan kembali
ke Kahyangan. Coba lihat, bukankah Nawang Wulan tidak pernah berada dalam
posisi yang benar? Dan kau memintaku meniru Nawang Wulan? Tidak! Sekali lagi
tidak!
Aku
bukan Drupadi, Nawang Wulan, atau siapa pun. Aku adalah aku dengan segala
keinginan, harapan, cita-cita, kelemahan, dan segala macamnya. Aku adalah
perempuan biasa yang ingin menikmati setiap detik setiap saat kehidupanku
sehingga aku benar-benar menjadi aku. Aku adalah perempuan biasa yang ingin
jadi penari.
Aku
bukan perempuan yang tegar, tangguh, dan kuat meghadapi segala hal. Bukan
perempuan yang tahan berlama-lama dalam balutan blazer, make-up, dan harus
selalu tersenyum pada siapapun. Aku bukan perempuan yang harus selalu kelihatan
sempurna di balik meja, bedak, lipstick, parfum, dan aneka rupa ritual topeng
lainnya.
Aku
ini perempuan yang tangannya kasar karena harus mencuci baju, mencuci piring,
mengepel lantai, menyapu halaman, bahkan kadang membelah kayu bakar. Aku adalah
perempuan yang berkutat dengan lumpur, ladang, tikus, kecoak, dan kutu. Aku
adalah perempuan biasa yang sering memanjat pohon mangga, blimbing, rambutan,
dan sesekali juga membetulkan genteng yang bocor.
Aku
ini perempuan biasa. Ya, aku perempuan biasa yang ingin jadi penari. Itu saja.
(lampu meredup kemudian fade out)
Sepertinya Selesai
Bondowoso,
1 Februari 2016
03.39
wib
karena
dunia adalah padang rumput
yang
dipenuhi aneka macam bunga
surga,
airmata, dan cinta
3 komentar
tulisannya mengacak acak pikiran saya, hahaha kadang memaksa berpikir terbalik, hingga salbut hahahhaah .. nice post!
BalasHapusAnda berada pada jalan yang benar dengan menulis ini, hahaha... Ini keren, emosinya sangat terasa. Like this! 👍
BalasHapusMasyaa Allah...
BalasHapusAku seperti melihat ke dalam manik matamu dan menemukan diriku dalam kostum menariku sewaktu SMA dulu...
Dengan gaya angkuhku yg kadang seenaknya menentukan langkah tanpa kompromi pd semesta...
Memaksakan mauku hingga tiba suatu masa...dmn aku mengambil hikmah dan belajar memahami kehendak Allah dibalik segala logika dan tutur kata indah...aku menyerah...dan mmg sudah semestinyalah...agar hati ini tenang menjumpai muaranya...damai dalam dekapan mentari senja...
Dunia begitu luasnya...bagaimana kita bs berjumpa di titik ini wahai pujangga kehidupan...
Salam takzim,
Adikmu bertabir semesta