SUDAH TERLALU KIKIRKAH KITA
00.04.00
Catatan Perjalanan
Sedekah,
dan zakat merupakan satu dari lima perintah Allah Ta’ala kepada umat Islam.
Setiap manusia diwajibkan untuk bersedekah, berinfaq, bershodaqoh, berzakat,
dan berkurban sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jaman sekarang ini, di
tengah serbuan berbagai budaya asing yang kebanyakan tidak berkesesuaian dengan
nilai-nilai budaya warisan leluhur, banyak sekali terdapat lembaga-lembaga amil,
zakat, infaq, dan shodaqoh.
Lembaga-lembaga tersebut berusaha menjadi
jembatan antara masyarakat yang ingin menafkahkan sebagian rezekinya kepada
pihak lain yang memang berhak menerimanya. Lembaga-lembaga tersebut lebih
banyak berkutat dengan kebutuhan pokok manusia, terutama kebutuhan dasar berupa
makan. Lembaga-lembaga tersebut hampir jarang yang memfokuskan diri pada
pembangunan, perbaikan, serta perawatan tempat ibadah—masjid—sebagai pusat
kegiatan umat Islam.
Masjid
merupakan pusat dari seluruh kegiatan umat Islam, baik yang berurusan dengan
ibadah wajib maupun sosial kemasyarakatan, bahkan jaman Nabi Muhammad SAW,
keputusan perang pun ditetapkan dan diputuskan di masjid. Hal ini jelas
menunjukkan betapa pentingnya peran masjid dalam Islam.
Ada
kegelisahan besar yang menghantui pikiran saya sepanjang perjalanan dari
Probolinggo sampai Bondowoso. Saya
menghitung ada banyak sekali pos-pos amal di sepanjang jalan. Pos-pos amal
seperti ini hanya ada di wilayah Probolinggo sampai ke Timur (Banyuwangi). Di
daerah Pasuruan ke Barat hampir tidak saya temui pos-pos amal seperti ini.
Apakah kita sudah terlalu kikir?
Benak
saya semakin bertanya-tanya tentang sebab musabab banyaknya pos-pos amal di
sepanjang jalan Probolinggo-Lumajang-Jember-Banuwangi-Situbondo-Bondowoso. Semakin
bertanya, saya semakin bingung menemukan jawaban pastinya.
Ada
satu dugaan yang muncul begitu saja dalam benak saya. Jangan-jangan sekarang
ini, kita semua—umat Islam—sudah terlalu kikir, sehingga harus dipaksa untuk
beramal, berinfaq, dan bershodaqoh? Melihat sulitnya penghidupan di jaman
sekarang ini, mungkin memang benar bahwa kita membutuhkan pos-pos amal tersebut
untuk mengingatkan bahkan memaksa kita untuk beramal, berinfaq, dan bershodaqoh
walaupun sekedar uang receh kembalian uang rokok maupun camilan.
“Jangankan beramal, untuk makan sendiri saja
susah!”
Ini
kalimat memprihatinkan yang saya dengar dari seorang penumpang bus jurusan
Probolinggo-Jember, yang kebetulan bersebelahan tempat duduknya dengan saya.
Ini sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri dan ada di masyarakat. Betapa nilai-nilai
luhur yang diwariskan oleh leluhur kita telah bergeser bahkan tenggelam ditimbun
oleh nilai-nilai baru bernama kebutuhan dan ekonomi.
Budaya gotong royong, saling tolong menolong, tepo
sliro, dan harga menghargai
menjadi sesuatu yang hanya bisa diucapkan saja. Hanya bisa dituliskan dalam
buku pelajaran, dan menjadi prasasti bisu tanpa adanya praktik langsung dalam
kehidupan sehari.
Jangan-jangan
kita memang telah terlalu kikir, karena kita telah dibuat lupa dengan
nilai-nilai luhur budaya leluhur dan digantikan dengan budaya menabung,
menumpuk kekayaan, rumah gedung, dan jenis kesenangan lainnya. Kita sengaja
dibuat lupa dengan tempat kita untuk mengisi bahan bakar ruhani bernama tempat
ibdah, yaitu masjid.
Jika
saya memperhatikan diri saya sendiri, yang kebetulan merokok, dalam satu hari
menghabiskan satu dua bungkus rokok dengan harga sekitar 10-15 ribu rupiah.
Ketika saya tidak punya rokok, betapa bingungnya saya, seolah-olah saya menjadi
orang paling kere di dunia. Tetapi
jarang sekali saya mau member dan mengisi kotak amal yang ada di
masjid—kalaupun ngisi ya uang receh saja. Budaya
konsumtif seperti ini juga menjadi satu dari berbagai sebab timbulnya pos-pos
amal di sepanjang jalan.
Contoh lainnya adalah pulsa. Dari anak SD sampai orang
tua, di kampung apalagi di kota, pulsa sudah menjadi kebutuhan pokok baru yang
setara dengan kebutuhan pokok lainnya. Hal ini tentu saja mendorong semua orang
untuk ‘eman’ dengan uang yang
dimilikinya, sehingga kesadaran untuk beramal, infaq, shodakoh, zakat, dan
kurban menjadi hal nomer kesekian.
Setiap
individu tanpa disadari dibentuk dan dipaksa untuk menyimpan setiap receh uang
yang dimilikinya rapat-rapat di kantong masing-masing. Lalu, satu dari
kewajiban agama diusahakan untuk ditunda bahkan tidak perlu dilakukan.
Kebiasaan ini semakin lama semakin menjadi budaya dan ‘seolah-olah’ benar di masyarakat.
Beramal, infaq, shodakoh, zakat, dan kurban bergeser perintahnya menjadi ‘hanya
wajib bagi orang kaya dan mampu’ saja.
Bermegah-megah tanpa ukuran
Di
sisi lain, pos-pos amal selain sebagai alat baru untuk mengingatkan bahkan
memaksa umat Islam agar mau beramal, infaq, shodaqoh, zakat, dan berkurban,
tentu saja memiliki kejelekan yang harus kita renungkan bersama.
Pos-pos
amal banyak yang menggunakan bangunan dari bambu maupun kayu sebagai pos
pangkalan. Para relawan berdiri di garis marka jalan sambil memegang kaleng
ataupun wadah lainnya. Hal ini jelas sangat mengganggu kelancaran arus lalu
lintas. Jalan di sepanjang Probolinggo-Lumajang-Jember-Bondowoso hampir tidak
ada yang lebar. Ruas-ruas jalan tersebut lebih banyak yang ‘hanya cukup’ untuk
salipan kendaraan angkutan umum—bus—saja. Ketika ada pos-pos amal, bisa
dipastikan ruas jalan tersebut sedikit bahkan macet total.
Belum
lagi tentang keamanan dan keselamatan para relawan pos amal tersebut, yang
seringnya karena ada penumpang yang melemparkan uang mereka langsung saja
memungut tanpa memperhatikan kendaraan yang lewat.
Saya
juga menduga, jangan-jangan pos-pos amal ini merupakan cara baru terselubung
untuk mendapatkan—maaf—penghasilan bagi para relawan dan petugas yang berjaga
di pos amal tersebut. Hal ini timbul ketika saya mengamati—hampir setiap saya
bepergian ke luar Bondowoso—waktu aktif pos-pos amal ini hampir satu hari
penuh.
Lantas, bagaimana dengan makan mereka dan keluarga mereka? Apa mereka
jadi relawan benar-benar rela dan ikhlash atau karena ada janji atau semacam
bagi hasil dari nominal yang didapatkan setiap harinya?
Begitu
banyaknya pos-pos amal yang mengatasnamakan pembangunan maupun renovasi masjid
sekarang ini, tetapi sangat disayangkan tidak diimbangi dengan pembangunan dan
renovasi sisi ruhaniahnya. Masjid-masjid yang dibangun, direnovasi tampak
sangat megah dari segi bangunannya, tetapi sangat sepi jamaahnya. Apalagi pada
waktu sholat Maghrib, Isya’, dan Subuh, jamaahnya rata-rata sudah tua dan
sepuh.
Lantas bangunan masjid yang megah seolah-olah menjadi prasasti tanda
kemegahan saja. Masjid megah hanya menjadi symbol bahwa daerah tempat masjid
berdiri tidak kalah dari tempat lain dari sisi kemegahan bangunannya.
Apakah
masjid megah, mentereng, dan kokoh bangunannya itu salah? Apakah meminta dan
mendirikan pos amal di jalan raya itu salah? Tidak! Sekali lagi tidak. Masjid
megah, mentereng, kokoh, pos-pos amal adalah wadah untuk mengingatkan diri tiap
umat agar menengok kembali ke dalam dirinya sendiri. Sudahkah kita benar-benar
berakhlaq dengan benar seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW? Jika belum,
mari kita kembali merenungkannya dengan hati yang lapang, luas, terbuka, penuh
kesadaran dengan apa yang telah kita kerjakan, agar pos-pos amal, bangunan
megah, mentereng, dan kokoh tidak hanya menjadi hiasan luar yang tidak
menyentuh sisi nurani dan kehambaan kita.
Semoga
Bondowoso, Maret 2017
sepulangnya dari Jogyakarta
2 komentar
Seharusnya pemerintah jg berperan lebih dalam pada tatanan negeri ini. ada banyak masjid sudah sperti Indomart di setiap perempatan, tp sayangnya masjid dijadikan ajang "kelompok" tertentu, kalo ga segaris alirannya ga mau sholat di masjid.
BalasHapusjangankan masjid, urusan adzan saya ga beres, hahaha
adakah alokasi dana pemerintah u/pembangunan tempat ibadah?
dan seandainya satu kampung 1 masjid, 7 musholla/langgar .. agar lebih efisien dan katanya orang beribadah semakin jauh melangkah ke masjid maka semakin banyak pahalanya ..
masjid rame cuma hari Jumat dan itupun dipilih mana yg khotbahnya cepat ... kalau ke masjid hanya u/menggugurkan kewajiban .. ya entahlah
setahu saya ada alokasi dana untuk perbaikan dan renovasi rumah ibadah yang berasal dari pemerintah. tetapi mungkin kurang sosialisasi atau ada banyak kendala lainnya.
BalasHapusterima kasih sudah berkunjung mbak Ericka Abdullah