NASI PECEL BUKAN GADO-GADO

01.10.00



SEBUAH APRESIASI
(Catatan Pementasan UKM-K ESENSI Fak. Farmasi Univ. Jember)
oleh: Mai Dwi Rahayu, S.TP*

Sabtu 4 November 2017 mulai pukul 19.00 WIB, digelar sebuah pementasan seni oleh UKM Esensi Fakultas Farmasi-Univ. Jember. Pementasan yang berbentuk kolaborasi teater, tari dan musik akustik ini disajikan dalam nuansa Bali sesuai dengan tema yang diusung yaitu "Liuna Pelih".
Liuna pelih dapat diartikan siapa yang salah, dalam pementasan ini pesan tersebut disampaikan dalam bentuk konflik antara manusia dan setan yang saling menyalahkan. Sebagaimana jargon yang mereka sematkan "Surga memang terbuka buat setan selamanya".

Teater yang dipentaskan diselingi dengan pementasan tari atau musik akustik di tiap jedanya. Seperti tayangan di televisi yang diselingi dengan iklan, pementasan ini pun agak kurang nyambung dengan selingannya. Kalau tayangan di televisi kan wajar, memang iklan yang bayar. Nah, kalau pementasan ini bagaimana?

Secara keseluruhan sebenarnya konflik yang diusung dalam naskah cukup bagus, hanya saja selingan ini membuat pemahaman jadi agak morat-marit. Belum diketahui pasti apa tujuan penyajian yang seperti ini. Mungkin agar tidak monoton, agar penonton tidak bosan, agar lebih praktis, dll. Apa pun alasannya, sebaiknya dipikirkan juga bagaimana penerimaan penonton terhadap penyajian yang seperti itu. Apalagi kalau selingan yang dimasukkan tidak sinkron dengan isi naskah.

Bidang musik memang mencoba menampilkan lagu yang sesuai dengan isi naskah, salah satunya lagu dari Utophia "Antara Ada dan Tiada". Lagu ini ditampilkan setelah peran setan muncul. Namun penampilan dari bidang tari nampaknya melenceng cukup jauh dari naskah.

Penampilan bidang musik agak susah diapresiasi karena banyak kendala teknis, terutama karena pengeras suaranya bermasalah, sehingga kualitas dari penyanyi maupun alat musiknya tidak jelas terdengar.

Sebagai suatu pementasan dengan nuansa Bali, musik yang ditampilkan sama sekali tidak terasa nuansa Bali-nya. Malahan di kira-kira 3/4 akhir penampilan ada seorang perempuan dengan kostum serba Jawa menyanyikan satu bait tembang Jawa yang lagi-lagi tidak sinkron dengan naskah dan tema.

Sebaiknya untuk penampilan musik, masalah teknis harus benar-benar diperhatikan, sayang kan kalau penampilan yang seharusnya bagus jadi kurang berkesan hanya karena kendala teknis. Kemudian harus juga diperhatikan kesesuaian lagu yang dibawakan dengan tema yang diusung, karena tema bukan hanya sekedar sampul yang tak berarti apa-apa melainkan kemasan khusus yang merangkul seluruh pementasan. Jika penampilannya saja sudah tidak sesuai dengan tema, lebih baik tidak usah diberi tema.

Bidang tari menyajikan penampilan yang cukup rapi. Penari-penarinya luwes, terlihat sekali memiliki basic tari yang baik. Kalau pun ada yang  kurang baik penampilannya itu biasa, karena kemampuan tiap orang pasti berbeda tergantung pengalamannya.

Penampilan tari pada pementasan ini kental sekali dengan nuansa Bali, bahkan bisa dikatakan penampilan tari inilah yang paling sesuai dengan tema malam itu. Namun pesan yang disampaikan melalui tarian-tarian tersebut kurang sinkron dengan isi naskah dan tema Liuna Pelih.

Misalnya saja pada penampilan tari yang pertama. Tarian kontemporer ini dilakukan oleh tiga orang perempuan. Tarian ini mereka bawakan dengan cukup baik, meski kadang blocking-nya kurang rapi. Masalah seperti ini bisa diatasi dengan cara berlatih di depan kaca atau merekam penampilan saat latihan, lalu di evaluasi dan diperbaiki kekurangannya.

Penampilan yang baik ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa tarian ini kurang lebih 50% koreografinya meniru dari tari kontemporer berjudul Entrapment karya Made Dyah Agustina, dkk. Bukan hanya koreo tetapi musik pengiringnya pun sama, nampaknya memang diunduh langsung dari youtube. Selain itu kostum yang dikenakan para penari UKM Esensi malam itu pun modelnya hampir sama, yaitu rok panjang berwarna crem pastel.

Mengadaptasi koreo dari karya orang lain sebenarnya sah-sah saja, memang perbendaharaan gerak penari biasanya diperkaya dari mempelajari gerak orang lain, tetapi mengadaptasi suatu karya juga ada batasannya. Jika mulai dari musik latar, koreo bahkan kostum saja diborong semua, ini sudah merupakan tindak plagiarisme. Jika tidak ingin dikatakan begitu, maka nama pemilik karya harus disebutkan. Sayangnya hal itu tidak dilakukan pada pementasan tersebut. Nama sang pemilik karya tidak disebutkan, pun dituliskan dalam media publikasi.

Tapi dari semua itu, tari kontemporer tersebut adalah  penampilan yang paling sinkron dengan naskah dan tema. Sedangkan penampilan tari selanjutnya kelebihan dan kekurangannya cenderung sama. Ada penari yang detail geraknya bagus, ada pula yang kurang. Ada yang mantap, ada pula yang masih lirik sana lirik sini. Ada yang tampilannya total, ada pula yang setengah-setengah, ada yang senyum ceria ada yang cemberut. Bahkan ada salah satu tarian yang membawa properti kipas ke sana ke mari tapi ternyata kipasnya hanya di buka di akhir tarian. Semua memang butuh proses yang cukup panjang dan latihan yang cukup berat agar penampilan jadi lebih baik.

Terakhir, pementasan teater yang jadi penampilan utama malam itu. Dari naskah yang dimainkan dapat diambil kesimpulan alasan penyelenggara mengusung tema Liuna Pelih berikut dengan jargonnya. Naskah tersebut dimulai dengan perselisihan antara dua aktor yang menggambarkan manusia dan yang menggambarkan setan. Kedua aktor menyampaikan dialog panjang yang isinya saling menuntut satu sama lain. Di sini yang menarik perhatian adalah intonasi aktor yang menggambarkan manusia. Intonasinya lucu, seperti Dedy Corbuzier yang hendak menghipnotis. Nadanya selalu turun dan diseret di akhir kata atau kalimat. Mungkin dia aktor yang masih baru. Intonasi seperti ini biasanya digunakan oleh aktor baru yang memang pengalaman teaternya kurang. Maksudnya mungkin untuk menstabilkan suara agar tetap terdengar jelas oleh penonton.

Jalan cerita naskah ini cukup menarik. Ada pun hal-hal yang lucu adalah bentuk penyajiannya. Selain karena dijeda oleh penampilan tari dan musik yang membuat penonton susah paham, kostum para aktor juga menarik perhatian.

Mulai dari kostum peran setan yang kata penonton mirip unicorn, stylis--seperti kucing anggora, imut, go green, dll--sampai kemunculan aktor yang misterius.

Scene pertama yang memunculkan dua orang aktor yang menggambarkan manusia dan setan tadi seperti sebuah prolog, karena cerita utamanya baru dimulai di scene kedua, ketika tokoh 4 setan yang berada di panggung gelap tiba-tiba disorot lampu senter oleh aktor yang berperan menjadi nenek-nenek. Nenek ini berdiri di tengah penonton sambil memaki-maki para setan.

Sepertinya aktor nenek ini tidak bisa menyembunyikan kemudaannya. Sebagai seorang nenek-nenek, langkahnya begitu lincah, suaranya ringan seperti gadis belia sesuai kenyataan. Berperan sebagai orang tua dalam teater memang tidak mudah. Karena aktor harus berlatih keras agar suaranya terdengar berat dan bergetar, bahkan agak merintih sebagaimana orang tua yang menahan sakit karena usia. Selain suaranya harus mirip orang tua, volume vokal harus tetap stabil. Maka wajar jika banyak aktor yang kurang berhasil memainkan tokoh orang tua.

Setelah adegan ini, lampu panggung mulai menyorot para setan. Dengan suara yang dibuat menakutkan, para setan menyatakan pembelaan atas gugatan si nenek tadi. Ada 4 toko setan disini, namun yang terlihat dominan hanya satu, yaitu seorang aktor laki-laki yang memakai riasan warna merah dengan dua tanduk. Aktor ini vokalnya cukup lantang, artikulasinya pun jelas.

Setelah adegan ini muncul dua orang pemabuk, yang menurut pemaparan para setan mereka banyak berbuat kriminal. Para setan telah berhasil menyesatkan orang-orang ini.

Ada hal yang menarik perhatian lagi di sini, yaitu setting panggung. Para setan berdiri di belakang sebuah sterofoam yang digambar abstrak namun dominan warna hijau. Mungkin ini maksudnya khayangan,atau gunung-gunung, pokoknya tempat yang tinggi.

Adegan selanjutnya memunculkan dua orang dalam penjara dan seorang perempuan gila. Pria dalam penjara ini ceritanya ditangkap karena telah memperkosa si perempuan, sehingga si perempuan jadi gila.

Dua pria di dalam penjara berdialog dulu, menerangkan alasan mereka dipenjara. Adegan di scene ini berakhir dengan teriakan sipir dan light off. Kemudian di jeda dengan tarian.
Scene selanjutnya dimulai, tapi anehnya salah satu pria di penjara menghilang secara misterius, tanpa keterangan. Mungkin ceritanya dia dibebaskan.

Sekarang di panggung hanya ada dua orang, lelaki dalam penjara dan perempuan gila yang saling menyalahkan satu sama lain hingga akhir cerita ditutup dengan sebuah lagu pop yang menceritakan kisah cinta. Beginilah keseluruhan pementasan malam itu. Sesuai tema Liuna Pelih, isi ceritanya adalah saling menyalahkan.


Tanggul, 12 November 2017

00.35 wib


*) Mai Dwi Rahayu, S.TP merupakan alumni UKM-K Dolanan FTP Unej, lebih dikenal dengan nama panggung "ANGET". 

You Might Also Like

2 komentar

  1. merindukan suasana pentas seni jaman kuliah, semoga segera ada "keramaian seni" di Bondowoso, mengingat UNEJ cab. Bwso mulai bergeliat

    BalasHapus
  2. Semoga saja demikian. Kesenian bisa semakin menggeliat, tumbuh, dan besar di Bondowoso

    Terima kasih mbak Ericka sudah berkunjung...

    BalasHapus

Like us on Facebook